Mereview Pemikiran Denny JA tentang Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 14 April 2023 10:16 WIB
Tentu saja sikap hormat terhadap kitab suci diserahkan kepada pilihan subjektif mereka. Bagi orang percaya, kitab suci itu wahyu ilahi, tetapi bagi yang tidak percaya kitab suci sejajar dengan Illiad, The Republic, Hamlet, Il Principe, dst.
Tentu saja istilah warisan kultural itu tidak sama sekali netral. Ada muatan normatif yang bisa dikorek, yakni bahwa agama sebaiknya berperan sebagai kekuatan kultural dan spiritual dan bukan sebagai alat kepentingan politis yang memecah belah.
Kita memang mengharapkan hal itu terjadi. Namun tidak mudah “mendiskon” agama sehingga tampil dengan wajah baru yang kultural. Mengapa? Karena ia bukan sekadar pengetahuan kultural biasa, seperti seni atau sastra. Ia mengandung ‘endapan’ pengalaman iman penulisnya dan keyakinan-keyakinan suatu komunitas di masa silam terhadap yang sakral dan yang transendental.
Agama mengandung ontologi yang membuat konsep realitas tertentu diyakini sebagai real oleh para penganutnya.
Kitab suci berisi narasi-narasi yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang paling mendasar dalam kehidupan, seperti siapakah Tuhan itu, bagaimana dunia ini terjadi, apakah manusia itu, dari mana manusia berasal dan apakah tujuan sejarah.
Semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu lalu diartikulasikan dan dipentaskan dalam bentuk narasi, ritual, doa, moral, estetika, politik, dan bahkan ekonomi, sehingga menjadi sebuah pandangan komprehensif tentang realitas.
Kitab suci itu sendiri bukan sistem tertutup, melainkan sistem terbuka karena terbentuk dari berbagai pengaruh dan konteks. Namun doktrin komprehensif yang dibangun darinya bisa merupakan sistem tertutup.
Dari situ, berbeda dari sastra dan seni, agama tampil sebagai sebuah wawasan dunia menyeluruh (totale Weltanschauung). Orang percaya melihat segala sesuatu–dunia, masyarakat, dan manusia--dari wawasan dunia religius itu.
Dahulu, dalam masyarakat pra-sains, kitab suci berlaku sebagai satu-satunya wawasan dunia. Akan tetapi dengan modernisasi dan demokratisasi, terjadi bukan hanya pluralisasi cara-cara hidup, melainkan juga pluralisasi wawasan-wawasan dunia.
Sulit disangkal bahwa sains dan rasionalisme modern merupakan lokomotif proses pluralisasi itu. Dalam modernitas muncul wawasan-wawasan dunia alternatif terhadap agama, seperti wawasan dunia ilmiah, wawasan dunia sekuler, wawasan dunia etnis, dst.