DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Mereview Pemikiran Denny JA tentang Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama

image
F. Budi Hadiman.

Temuan bahwa tiap agama punya potensi untuk direinterpretasi lebih berciri persuasif daripada deskriptif. Literalisme adalah kecemasan untuk mengaktualisasi potensi itu.

Argumen kedua sangat sentral. Denny memberi kita petunjuk yang jelas bahwa agama lebih menyangkut dunia subjektif dan intersubjektif daripada dunia objektif.

Dari perspektif pengamat, memang perbedaan keyakinan akan peristiwa historis, seperti pengorbanan Ishak versus Ismail atau keyakinan bahwa yang disalib itu Yesus versus yang disalib bukan Yesus, bisa saja direlatifkan.

Namun dari perspektif peserta, perbedaan keyakinan itu polemis dan agonistik.

Tentu saja kita ingin tiap agamawan bisa merelatifkan perbedaan itu dan melihatnya sebagai perbedaan pemaknaan saja.

Namun jangan lupa, dibutuhkan pencapaian tingkat keadaban tertentu untuk mampu memandang agama sebagai persoalan dunia makna dan bukan persoalan dunia fakta.

Sungguhkah kemampuan itu telah populer? Bukankah di zaman kita yang disebutnya ‘era Google’ itu banyak konten apologetis di Youtube, TikTok, Facebook, dll yang mengacaukan dunia fakta dan dunia makna?

Banyak orang beragama yang masih saja gagal membedakan agama dan sains. Mereka menanggap kitab suci mereka buku sains yang menyaingi The Origin of Species. Tak jarang juga ada anggapan bahwa internet dan smartphone sudah ada dalam kitab suci mereka.

Denny tidak setuju dengan hal-hal seperti itu. Muatan filosofis dalam argumen keduanya cukup kental. Hal itu berguna untuk edukasi publik, tetapi tentu secara empiris terbuka untuk difalsifikasi.

Argumen ketiga adalah konsekuensi logis argumen kedua. Karena menyangkut dunia makna dan bukan dunia fakta, keyakinan agama bukan sebuah klaim ilmiah, melainkan menyangkut fungsi eksistensial tertentu, yakni memberi makna hidup.

Halaman:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Berita Terkait