Mereview Pemikiran Denny JA tentang Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 14 April 2023 10:16 WIB
Berbeda dari pengamat, peserta atau penganut tidak melihat kebenaran agama sebagai pemaknaan, melainkan sebagai pengalaman makna. Untuk menyikapi kemajemukan, distingsi antara pemaknaan dan pengalaman makna sangat penting seperti distingsi antara perspektif pengamat dan perspektif peserta.
Pencemaran simbol religius, seperti salib atau al-Qur’an, memiliki konsekuensi yang sangat serius. Bagi pengamat, yakni outsider, simbol itu ‘hanyalah’ pemaknaan yang tidak relevan baginya, tetapi bagi peserta, yakni insider, simbol itu adalah pengalaman makna yang berjangkar dalam subjektivitas dan komunitas.
Isu penodaan agama muncul akibat kegagalan memakai perspektif ganda itu.
Modernitas telah melatih kita untuk beralih-alih perspektif sehingga kita tidak mengabsolutkan keyakinan kita di hadapan keyakinan-keyakinan lain.
Tokoh-tokoh moderat dan pluralis, seperti Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Abdurrahman Wahid, dan Denny JA cukup terlatih untuk beralih-alih perspektif. Mereka yakin bahwa teologi mereka real karena merefleksikan pengalaman makna mereka.
Namun keyakinan itu disertai kesadaran bagi kelompok lain, teologi yang mereka yakini itu adalah pemaknaan subjektif dan intersubjektif, bukan realitas faktual yang bisa disepakati semua pihak seperti fakta gravitasi.
Hal yang bermakna bagi kita belum tentu juga bermakna bagi orang lain, sekalipun makna itu sebuah teologi, ritus, atau doktrin agama.
Dari perspektif pengamat, berbagai teologi dan wawasan dunia tidak memiliki ukuran yang sama. Mereka mengembangkan berbagai strategi pemaknaan dunia. Meski klaim mereka absolut dari perspektif pemeluk mereka karena dihayati sebagai pengalaman makna dan bukan sekadar pemaknaan, mereka tetap relatif dan partikular di hadapan kemajemukan agama dan wawasan dunia.
Semacam kesepakatan ‘universal’ yang sangat longgar dan sangat lunak bisa dicapai di antara berbagai strategi pemaknaan dunia itu, entah itu berupa mitos, teologi, ritual, tradisi, dst.
Teolog Katolik Jerman Hans Küng, misalnya, telah berupaya menemukan titik interseksi agama-agama monoteis dan kebijaksanaan-kebijaksanaan Timur dalam apa yang disebutnya Weltethos (etos dunia).