Mereview Pemikiran Denny JA tentang Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 14 April 2023 10:16 WIB
Makna bukanlah sesuatu yang objektif seperti fakta ilmiah. Memang fakta ilmiah juga suatu makna, tetapi makna di sini hanyalah cermin objek pengetahuan kita, maka memiliki ruang interpretasi yang ketat.
Berbeda dari itu, makna yang diberikan oleh agama lewat narasi-narasi dan ajaran-ajarannya sangat terbuka terhadap interpretasi. Karena itu, terdapat kemajemukan interpretasi makna dalam agama yang menghasilkan mazhab, denominasi, sekte, dst.
Saya tergoda untuk mengatakan bahwa lima argumen itu merupakan strategi epistemis Denny untuk membuat kita merasa nyaman dengan kemajemukan tafsir yang memang tidak terelakkan dalam agama.
Sebuah Manuver Intelektual
Agama memiliki keistimewaan epistemis untuk pemaknaan. Karena makna terbuka untuk ditafsirkan, perbedaan makna memperkaya kehidupan.
Keragaman makna itu mirip keragaman kuliner. Karena memiliki banyak suku dan agama, masyarakat kita dapat menikmati kekayaan kuliner.
Hampir tiap kota punya soto khas. Juga sate khas tidak sedikit macamnya. Lidah kita tidak hanya mampu mencecap aneka rasa, sehingga kita secara potensial dapat memukimi banyak kebudayaan.
Karena agama kaya akan makna, semestinya perbedaan agama juga memberi sumbangan untuk memperkaya kehidupan kita, sehingga masyarakat kita tidak saling mencakar karena perbedaan agama.
Dalam konteks inilah neologisme Denny “warisan kultural umat manusia” atau “warisan kultural milik bersama” menjadi penting untuk diperhatikan.
Apakah maksud neologisme itu? Istilah itu mengandung muatan normatif, meskipun dipakai untuk mengomentari suatu tren faktual. Meskipun ada data yang menyertainya tentang sikap-sikap moderat dalam populasi responden tertentu, istilah itu belum disepakati sebagai fakta, khususnya oleh para penganut agama.