Mereview Pemikiran Denny JA tentang Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 14 April 2023 10:16 WIB
Adalah lebih tepat menyebutnya sebuah manuver intelektual. Hal itu wajar karena penelitian sosial tidak sama dengan penelitian dalam ilmu-ilmu alam. Komentar dan interpretasi dalam riset sosial memang berasal dari perspektif penelitinya, maka juga mengharapkan apa yang disebut Gadamer Wirkungsgeschichte (sejarah pengaruh).
Riset sosial adalah bagian komunikasi sosial.
Frasa “warisan kultural”, jika dikenakan pada agama, tampak mereduksi agama kepada kebudayaan.
Kita jadi teringat akan “situs warisan dunia” yang dijaga UNESCO. Jika sempat baca-baca literatur tentang ateisme, kita bahkan bisa menemukan konsep seperti itu dalam buku Richard Dawkins,The God Delusion.
Menurut ateis kontemporer ini, kitab suci adalah sumber utama kultur sastra, seperti “legenda-legenda dewa-dewa Yunani dan Romawi, dan kita mempelajari mereka tanpa diminta untuk percaya kepada mereka”.
Seperti dilaporkan Gaus, Denny sendiri juga berpendapat bahwa kitab suci dapat diperlakukan sebagai karya sastra.
Sekilas Denny, seperti Dawkins, tampaknya bersikap sekularis terhadap kitab suci. Kesan itu keliru. Denny banyak terinspirasi oleh tradisi spiritualitas, khususnya oleh karya-karya sufi Jalaluddin Rumi.
Ia membuka hati dan pikiran terhadap unsur sakral di dalam kitab suci. Sikap itu tidak akan diambil oleh seorang ateis seperti Dawkins.
Namun Denny pernah studi di Amerika. Di sana ada kurikulum liberal arts. Konsep warisan kultural umat manusia sedikit banyak mengacu pada karya-karya sastra dan filsafat agung yang wajib dibaca oleh para peserta kurikulum liberal arts itu.
Di Amerika dan Eropa kurikulum ini diselenggarakan agar para peserta didik dapat mempelajari nilai-nilai moral universal yang membangun karakter warga negara.