Bila Prancis Dukung Palestina Merdeka
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Kamis, 31 Juli 2025 11:31 WIB

Oleh Amidhan Shaberah*
ORBITINDONESIA.COM - Israel meradang. Amerika kesal. Gegara Presiden Emmanuel Macron menyatakan Prancis akan segera mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Palestina September 2025 mendatang.
PM Benjamin Netanyahu menuduh Prancis mendukung terorisme. Sementara Presiden AS Donald Trump berkata, pengakuan kedaulatan Prancis terhadap Palestina tidak menyelesaikan masalah.
Perlu diketahui, Prancis belum pernah secara resmi mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Negara Palestina. Meski demikian, Paris secara konsisten mendukung solusi dua negara sebagai jalan menuju perdamaian. Termasuk pembentukan negara Palestina berdasarkan batas tahun 1967 dengan Yerusalem sebagai ibu kota bersama.
Pada Februari 2024, Presiden Emmanuel Macron menyatakan bahwa “mengakui Negara Palestina bukanlah tabu bagi Prancis”. Pengakuan tersebut harus dilakukan pada waktu yang tepat dan berguna secara politik, tambah Macron.
Pada 24 Juli 2025, Macron kembali mengumumkan bahwa Perancis akan mengakui Negara Palestina secara resmi. Pengakuan formal akan ditentukan pada sidang Majelis Umum PBB bulan September 2025 mendatang.
Baca Juga: Ratusan Ribu Anak dan Bayi di Gaza Palestina Hadapi Kematian Akibat Kelaparan
Surat resmi dari Presiden Macron kepada Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, menyatakan pengakuan ini sebagai bagian dari komitmen Prancis pada solusi dua negara. Prancis menjunjung tinggi hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri.
Kementerian Luar Negeri Prancis menyebut, pengakuan Palestina sebagai langkah esensial menuju perdamaian dan stabilitas regional kawasan Timur Tengah. Kantor Kemlu Prancis menegaskan, langkah Paris ini sesuai asas keadilan dan keselarasan Prancis yang telah mengakui kedaulatan Israel pada tahun 1949.
Jadi pengakuan terhadap kedaulatan Palestina tersebut merupakan kelanjutan dari pengakuan terhadap Israel di tahun 1949. Ini sesuai komitmen Prancis yang menghendaki perdamaian di kawasan dengan pembentukan dua negara merdeka Israel dan Palestina yang hudup berdampingan sesuai Perjanjian Oslo, 1995.
Baca Juga: Gaza Dibiarkan Kelaparan, Saat Barat Gagal Akhiri Tragedi Kemanusiaan Bangsa Palestina
Prancis menjadi negara anggota G7 (negara-negara maju) pertama yang mengakui Palestina, membedakannya dari negara-negara Barat besar lain seperti Amerika Serikat dan Jerman yang belum mengambil langkah serupa. Inggris sendiri seperti dikatakan Kantor Perdana Menteri, akan mengikuti langkah Prancis.
Langkah Prancis tersebut disambut positif oleh sejumlah negara Eropa dan Arab. Irlandia menyebutnya sebagai kontribusi penting pada solusi dua negara. Spanyol, Arab Saudi, dan Hamas menyatakan dukungan Prancis atas kedaulatan Palestina sebagai langkah moral yang tepat. Belakangan Australia, Norwegia, dan Islandia akan mengikuti langkah Prancis. Mengakui kedaulatan Palestina.
Banyak pengamat internasional menyebut langkah Prancis di atas sebagai momentum diplomatik yang tepat. Sikap Paris tersebut akan memicu negara-negara lain mengikuti jejaknya. Dan itu positif untuk membangun perdamaian di kawasan Timur Tengah.
Baca Juga: Laporan: PM Inggris Keir Starmer Siapkan Rapat Kabinet Darurat Bahas Negara Palestina
Apa konsekuensi bila Prancis akui Palestina?
Jika Prancis secara resmi mengakui Palestina sebagai negara merdeka, akan ada sejumlah konsekuensi di tingkat diplomatik, geopolitik, dan domestik. Seperti memburuknya hubungan diplomatik dengan AS dan Israel. Kemungkinan besar Israel akan menarik duta besarnya dari Paris atau membekukan kerja sama tertentu.
Di pihak lain, ada dorongan semangat negara-negara Eropa lain untuk mengikuti jejak Prancis. Kenapa? Prancis adalah anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan negara penting di Uni Eropa. Langkah ini bisa memberi momentum internasional bagi pengakuan Palestina di seluruh Eropa.
Baca Juga: Arab Saudi Tegaskan: Normalisasi dengan Israel Hanya Jika Ada Negara Palestina
Pengakuan dari Prancis juga akan memperkuat posisi Palestina di lembaga-lembaga internasional seperti PBB, Mahkamah Pidana Internasional (ICC), dan UNESCO. Semua itu berdampak terhadap kelancaran proses keanggotaan penuh Palestina di PBB.
Sementara itu, Duta Besar (Dubes) Arab Saudi untuk Amerika Serikat, Putri Reema binti Bandar, mengatakan bahwa solusi dua negara adalah satu-satunya kerangka kerja yang dapat mengakhiri pertumpahan darah, membangun kembali Gaza, dan menciptakan masa depan yang berkelanjutan.
Putri Reema menekankan bahwa "Kerajaan Arab Saudi telah lama mengadvokasi solusi dua negara sebagai satu-satunya jalan yang layak menuju perdamaian abadi, yang menjamin martabat dan hak menentukan nasib sendiri bagi Palestina sekaligus membangun fondasi keamanan dan stabilitas bagi Israel dan kawasan."
Baca Juga: Dunia, Saatnya Ubah Derita di Gaza Jadi Kebangkitan Baru Palestina
Dubes Saudi itu menekankan bahwa "Ini bukan sekadar posisi diplomatik; ini adalah kebutuhan moral, strategis, dan praktis yang didasarkan pada keadilan dan upaya mencapai masa depan bersama."
Putri Reema menambahkan bahwa komitmen Arab Saudi terhadap perdamaian tertanam dalam visi nasionalnya: "Upaya kami untuk mencapai perdamaian dan keamanan bagi kawasan ini merupakan bagian dari sejarah kami dan inti dari tujuan modernisasi dan pertumbuhan dalam Visi 2030."
Mengacu pada Inisiatif Perdamaian Arab 2002, Putri Reema mengatakan, "Kerajaan Arab Saudi telah memperjuangkan resolusi damai selama beberapa dekade berdasarkan keyakinan bahwa perdamaian di kawasan ini tidak dapat dipisahkan dari keadilan bagi rakyat Palestina," jelas Putri Reema.
Baca Juga: PM Keir Starmer: Inggris Bakal Segera Akui Negara Palestina Jika Israel Tak Perbaiki Kondisi Gaza
Seperti diketahui, Konferensi Internasional Tingkat Tinggi (KTT) tentang Penyelesaian Damai Masalah Palestina dan Implementasi Solusi Dua Negara telah berlangsung di New York, Senin, 28 Juli 2025 lalu. KTT ini bertujuan menciptakan kerangka kerja konkret untuk mendukung pembentukan negara Palestina yang berdaulat dan meningkatkan prospek perdamaian abadi.
Negara-negara yang berpartisipasi dalam KTT tersebut antara lain Spanyol, Yordania, Indonesia, Italia, Norwegia, Mesir, Inggris, Turki, Meksiko, Brasil, Senegal, Liga Arab, dan Uni Eropa.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyebut KTT New York sebagai titik balik penting untuk mengakhiri pendudukan Palestina oleh Israel. Sekaligus mewujudkan aspirasi bersama untuk solusi dua negara sesuai Perjanjian Oslo, 1995.
Baca Juga: PM Mark Carney: Susul Prancis dan Inggris, Kanada Juga Akan Akui Negara Palestina pada September
Dr. K.H. Amidhan Shaberah
Ketua MUI 1995-2015/Komisioner Komnas HAM 2002-2007 ***