Dunia, Saatnya Ubah Derita di Gaza Jadi Kebangkitan Baru Palestina
- Penulis : M. Ulil Albab
- Rabu, 30 Juli 2025 08:43 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Bayi Zeinab yang berusia lima bulan terbaring dengan minim gerakan di atas ranjang besi berkarat di salah satu dari sedikit rumah sakit yang masih dapat beroperasi di Gaza.
Tubuhnya yang ringkih, kelaparan, dan tanpa suara, sama sekali tidak memiliki kesesuaian dengan bayi bermata cerah dalam foto Zaenab yang dipampang di atas ranjang tersebut.
Ibu Zeinab, kepada kantor berita RIA Novosti, mengungkapkan bahwa foto tersebut diambil saat buah hatinya baru berusia 40 hari dan memiliki berat badan sekitar 5,5 kilogram. Namun kini, setelah berbulan-bulan bantuan pangan untuk Gaza diblokade Israel, berat badan Zaenab hilang 2 kilogram.
Sang bunda berkata dengan terisak bahwa dengan kondisi tidak ada susu serta tidak ada makanan, dirinya menyaksikan penderitaan putrinya yang merana sehingga kehilangan banyak bobot badan yang merupakan beban sangat berat yang harus ditanggung seorang bayi.
Seperti Zeinab, terdapat ribuan anak di Gaza yang menderita kelaparan akut, terjebak di zona perang yang dibuat menjadi wilayah seperti kamp konsentrasi. Berbagai rumah sakit dan fasilitas medis yang dibombardir Israel kewalahan dengan banyaknya anak dan bayi malnutrisi yang berjuang untuk bertahan hidup.
Kisah yang dialami Zeinab hanyalah satu dari sekian banyak cerita dari para insan yang tersiksa di Gaza, yang oleh banyak pihak pada akhirnya hanya menjadi angka-angka statistik di berbagai pemberitaan media massa.
Baca Juga: Ratusan Ribu Anak dan Bayi di Gaza Palestina Hadapi Kematian Akibat Kelaparan
Kelaparan = kenyataan hidup Gaza
Di Gaza saat ini, kelaparan bukanlah sekadar ancaman, melainkan kenyataan hidup yang telah mengubah nasib anak-anak yang dulu kerap tersenyum, kini harus berjuang dalam diam di tengah pertempuran, menahan lapar yang tak tertahankan bagi tubuh mungil mereka.
Memang, setelah tekanan internasional dan negosiasi yang bertele-tele terutama dalam menghadapi kekejaman Israel itu, akhirnya sejumlah truk bantuan telah diizinkan memasuki wilayah Gaza yang diblokade. Namun, volume bantuan yang diizinkan dinilai masih terlalu minim dengan distribusi yang masih belum lancar.
Baca Juga: Badan PBB UNRWA: Gaza Hadapi Kelaparan Massal yang Dibuat dan Disengaja
Tidak heran masih banyak yang meragukan bahwa bencana kemanusiaan yang dialami penduduk Gaza akan dapat teratasi dengan bantuan tidak memadai itu.
Anak-anak menanggung beban krisis ini. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 5.000 anak balita dirawat karena malnutrisi dalam dua pekan pertama Juli. Dari jumlah itu, 18 persen di antaranya menderita malnutrisi akut berat atau Severe Acute Malnutrition (SAM), bentuk malnutrisi yang paling mengancam jiwa.
Selain itu, WHO mencatat lonjakan dramatis kematian anak akibat malnutrisi, yaitu dari 74 kematian terkait malnutrisi yang tercatat di Gaza sepanjang 2025 hingga kini, 63 terjadi pada bulan Juli. Sedangkan menurut Kementerian Kesehatan Gaza, jumlah total kematian akibat kelaparan telah meningkat menjadi 147 orang, termasuk 88 anak-anak.
Baca Juga: Kapal Bantuan "Handala" Dicegat Israel Saat Berlayar ke Gaza, Penumpangnya Akan Dideportasi
Krisis kelaparan juga mengancam ribuan ibu hamil. Direktur Eksekutif Yayasan Al Dameer untuk Hak Asasi Manusia Alaa Alskafi, kepada RIA Novosti memperingatkan bahwa 11.000 ibu hamil di Gaza berada dalam risiko serius malnutrisi dan dehidrasi.
Era kemakmuran Palestina
Jauh sebelum terjadinya bencana yang menimpa masyarakat Palestina pada masa kini, Yerusalem dan Gaza pada zaman dahulu sebetulnya pernah berkembang pesat sebagai pusat perkotaan yang makmur, menjadi persimpangan budaya, spiritual, dan ekonomi di kawasan Levant.
Baca Juga: Gaza Dibiarkan Kelaparan, Saat Barat Gagal Akhiri Tragedi Kemanusiaan Bangsa Palestina
Di bawah Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah (mulai abad ke-7), Palestina mengalami kebangkitan dalam hal sains, arsitektur, dan perdagangan. Yerusalem, yang dihormati oleh Muslim, Kristen, dan Yahudi, menjadi mercusuar toleransi beragama dan ilmu pengetahuan.
Bangunan-bangunan megah di Yerusalem seperti Dome of The Rock (Kubah Shakhrah atau Kubah Batu) berdiri berdampingan dengan kawasan pasar dan lembaga pendidikan yang semarak.
Sementara itu, Gaza pada masa keemasan perabadan para dinasti Islam itu berfungsi sebagai pusat perdagangan penting yang menghubungkan Mesir, Arab, dan Mediterania timur.
Baca Juga: Di Tengah Kelaparan di Gaza, Kaum Sayap Kanan Ekstrem Israel Melihat Mimpi Jadi Kenyataan
Setelah era kekacauan yang ditimbulkan pasukan Eropa, Palestina dapat bangkit selama periode Ayyubiyah dan kemudian Mamluk, dengan kemakmuran yang terus berlanjut. Program wakaf mendanai rumah sakit, madrasah, dan fasilitas umum.
Kesultanan Turki Utsmaniyah, dari tahun 1517 hingga 1917, mempertahankan kemakmuran ini melalui pemerintahan yang terdesentralisasi tetapi tetap stabil, yang mengintegrasikan beragam komunitas di bawah kerangka kewarganegaraan bersama.
Awal keretakan stabilitas
Baca Juga: Paus Leo XIV Ingatkan Gaza Dihancurkan oleh Kelaparan dan Hadapi Kematian
Runtuhnya kekuasaan Utsmaniyah atau juga dikenal dengan sebutan Ottoman itu terjadi setelah Perang Dunia I, menandai awal dari keretakan mendalam dalam stabilitas wilayah Palestina yang telah berusia berabad-abad.
Di bawah Mandat Inggris (1917–1948), Deklarasi Balfour yang kontroversial mendukung tanah air Zionis, dengan mengesampingkan penduduk asli beretnis Arab. Kebijakan kolonial Inggris secara sistematis memfasilitasi imigrasi dan pemindahan tanah Yahudi, memicu ketegangan dan pemberontakan, termasuk Pemberontakan Arab (1936–1939), yang ditumpas secara brutal.
Dengan berdirinya Israel pada tahun 1948, bencana terus bergulir semakin cepat. Lebih dari 750.000 warga Palestina mengalami pembersihan etnis dalam Nakba, rumah mereka dirampas, dan desa-desa mereka dihapuskan.
Baca Juga: Presiden AS Donald Trump: Israel Harus Tentukan Sikap Setelah Genjatan Senjata Gaza Gagal
Ratusan kota dan komunitas lenyap, dan pembantaian seperti di Deir Yassin menimbulkan teror bagi Palestina di abad ke-20 pasca-Perang Dunia II. Pendirian Israel tidak membawa perdamaian, justru memperkenalkan era baru pendudukan militer, kebijakan apartheid, dan ekspansi kolonial melalui pemukim ilegal.
Gaza, yang dulunya merupakan kota penting di Mediterania, berubah menjadi "penjara" di alam luas, berulang kali dibombardir dan diblokade. Yerusalem, yang dianggap suci oleh miliaran orang, dibedah dan perlahan-lahan dianeksasi, serta hak penduduk aslinya dirampas melalui manuver hukum dan kekerasan.
Bila dahulu Palestina pernah dikenal sebagai tanah pluralisme dan kemakmuran, kini menjadi tambal sulam ghetto, pos pemeriksaan, dan trauma. Proyek Zionis, berbeda dengan kerajaan dan kesultanan di masa lalu, tidak mencari koeksistensi, melainkan dominasi hegemoni yang menghancurkan stabilitas yang sebenarnya telah mendefinisikan Palestina selama ribuan tahun lamanya.
Baca Juga: Volker Turk: Lebih dari 300 Staf PBB di Gaza Tewas Sejak Awal Agresi Israel
Hidupkan solusi dua negara
Di titik kritis sejarah yang diwarnai oleh genosida dan bencana kelaparan di Gaza serta pendudukan militer dan kekerasan pemukim Yahudi yang semakin brutal di Tepi Barat, dunia telah berkumpul untuk menghidupkan kembali jalan ke depan: solusi dua negara.
Melalui Konferensi Internasional Tingkat Tinggi tentang Penyelesaian Damai Masalah Palestina, ajang global tersebut digelar di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, dari 28 hingga 30 Juli 2025, serta diketuai bersama oleh Arab Saudi dan Prancis.
Baca Juga: Hanya 73 Truk Bantuan Pangan Memasuki Gaza Saat Kelaparan Kian Meluas
Menurut pemberitaan kantor berita Saudi Press Agency, Menteri Luar Negeri Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan, dan Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noël Barrot, membuka sesi tersebut dengan menegaskan kembali komitmen negara mereka terhadap solusi yang adil, komprehensif, dan berjangka waktu.
Konferensi tersebut menguraikan langkah-langkah konkret seperti dukungan untuk reformasi kelembagaan Palestina, bantuan pembangunan, perlindungan ekonomi Palestina, dan pembentukan aliansi global untuk mengawasi penerapan kerangka kerja dua negara.
Garis perbatasan tahun 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina, yang didukung oleh hukum internasional, ditegaskan kembali sebagai fondasi perdamaian yang tak tergoyahkan.
Baca Juga: Tiga Aktivis Asing di Handala, Kapal Bantuan ke Gaza yang Disita Zionis Israel Setuju Dideportasi
Kerajaan Arab Saudi menggarisbawahi bahwa perdamaian di kawasan ini tak terpisahkan dari keadilan bagi rakyat Palestina.
Jangan normalisasi penderitaan
Senada, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menegaskan urgensi ini dengan mengutuk serangan 7 Oktober serta tindakan penghancuran Gaza, menekankan bahwa hukum internasional harus diterapkan secara setara — dan bahwa aneksasi, pendudukan, dan penderitaan massal tidak dapat dinormalisasi.
Baca Juga: Laporan: PM Inggris Keir Starmer Siapkan Rapat Kabinet Darurat Bahas Negara Palestina
Jalan terbaik ke depan bagi Palestina terletak pada solidaritas dan akuntabilitas global, yang dipadukan dengan ketahanan dan reformasi Palestina. Solusi dua negara yang dihidupkan kembali adalah satu-satunya alternatif yang kredibel untuk mengeleminasi sistem apartheid, perang berkepanjangan dan keruntuhan kemanusiaan.
Solusi ini menawarkan hak bagi rakyat Palestina tidak hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk hidup, membangun, dan berkembang, sebagaimana yang pernah mereka lakukan selama berabad-abad di bawah pemerintahan yang adil dan pluralistik.
Sama seperti bangsa lainnya, rakyat Palestina berhak mendapatkan kehidupan yang bahagia, dengan rasa aman, dan penuh harapan, bukan kelaparan, pengepungan, dan pengungsian.
Baca Juga: Arab Saudi Tegaskan: Normalisasi dengan Israel Hanya Jika Ada Negara Palestina
Kondisi anak-anak Gaza yang kelaparan hingga keluarga-keluarga yang terusir di Yerusalem Timur, harus dapat dibuktikan bukanlah nasib abadi, tetapi merupakan penderitaan buatan manusia yang mesti segera dapat diatasi oleh kolaborasi internasional.
Untuk itu, solusi dua negara adalah konsep yang harus diejawantahkan secara nyata untuk membangun kembali apa yang telah hancur, memulihkan martabat suatu bangsa, dan menghidupkan kembali semangat koeksistensi dan kemakmuran yang pernah menjadi identitas Palestina selama berabad-abad.
(Oleh M Razi Rahman) ***