Catatan Denny JA: Donald Trump, Tarif 32 Persen dan Kisah Sepatu Cibaduyut
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 13 Juli 2025 14:54 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Pagi itu, di lorong sempit Kelurahan Kopo, Bandung Selatan, suara mesin jahit menggeram pelan seperti napas seorang tua yang lelah.
Bayangkan kisah ini. Di dalam sebuah rumah petak berdinding tripleks, Pak Junaedi—pengrajin sepatu kulit—menatap sepasang sepatu berwarna marun tua.
Itu adalah pesanan terakhir dari Florida, Amerika Serikat.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Einstein Mengenakan Batik dan Kisah Salvador Dali
“Katanya mereka batal. Harga jadi tak masuk akal setelah tarif 32 persen,” ujarnya sambil membungkus sepatu itu dengan kertas koran bekas.
“Ini mungkin sepatu terakhir yang saya buat untuk Amerika. Mungkin… sepatu terakhir yang saya buat sama sekali.”
Di pojok ruangan, istrinya sedang menyetrika seragam sekolah cucu mereka. Pabrik kecil mereka dulunya mempekerjakan 12 orang.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Darah Negara Minyak
Kini hanya tinggal ia dan satu keponakan, karena sepatu tak lagi soal kulit dan benang. Sepatu kini adalah korban dari gejolak politik global.
-000-
Pada 1 Agustus 2025, pemerintahan Trump, dalam manuver politik dagangnya, mengumumkan tarif balasan sebesar 32% atas seluruh produk Indonesia.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Big Oil, Ketika Perusahaan Lebih Kuat Dibanding Negara
Alasan resmi: Indonesia dianggap mengenakan tarif tinggi terhadap produk Amerika. Maka Trump membalas.
Tapi seperti dalam banyak kasus sejarah, angka tak pernah netral. Ia bisa berubah jadi duka atau berkah tergantung siapa yang menerimanya.
Dan kali ini, angka itu adalah badai bagi para buruh, pengusaha kecil, dan pelaku industri dari Sumatra sampai Sulawesi.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Mesiu dan Perang dari Ladang Minyak
Lebih dari 25 juta pekerja berada di sektor manufaktur. Banyak dari mereka bekerja di industri padat karya: tekstil, alas kaki, sawit, elektronik murah, dan furniture. Tarif 32% itu menaikkan harga jual ekspor Indonesia—dan membuat mereka tak lagi menarik di pasar AS. Pesanan turun. Produksi berhenti. PHK dimulai.
-000-
Bandung bukan hanya kota mode. Ia adalah jantung tekstil dan alas kaki Indonesia.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Pertamina, dari Sumur Minyak Rakyat ke Rantai Global
Pabrik-pabrik kecil dari Cimahi hingga Majalaya menggantungkan hidupnya pada pesanan luar negeri, terutama Amerika.
Karawang, kota industri yang dijuluki “Detroit-nya Indonesia”, juga tak luput. Komponen otomotif yang biasa dikirim ke Michigan kini terhambat.
Dan di Riau, sawit menjerit. Harga ekspor turun, gudang menumpuk, dan tetangga kita—Malaysia—tersenyum, karena tarif mereka hanya 25 persen.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Pertamina di Simpang Jalan, Antara Aramco dan Petrobras
Di semua kota ini, suara mesin-mesin pabrik mulai pelan. Tapi jeritan para pekerja justru makin nyaring. Meski jeritan itu tak terdengar di gedung-gedung tinggi Jakarta.
Ini bukan pertama kali Indonesia jadi collateral damage dalam perang dagang.
Dalam sejarah global, setiap gelombang proteksionisme selalu menghasilkan korban-korban sunyi di negeri-negeri berkembang.
Baca Juga: Denny JA Jadi Komisaris Utama dan Independen PT Pertamina Hulu Energi
-000-
Pada 1930, Amerika Serikat menerapkan Smoot-Hawley Tariff Act, menaikkan tarif lebih dari 20.000 produk impor.
Efeknya? Perdagangan global anjlok 65%, dan krisis ekonomi dunia menjalar dari Wall Street ke desa-desa di Hindia Belanda.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Apakah Pertamina Bisa Selamat di Era Tanpa Minyak?
Kini sejarah berulang. Dalam dunia yang saling terhubung, kebijakan proteksi satu negara superpower bisa menjadi badai ekonomi bagi negara seperti Indonesia.
Tarif adalah tembok. Dan dalam dunia terbuka, tembok bukan hanya memisahkan, tetapi juga menyekat napas.
Tarif 32 prsen ini bukan akhir, tetapi ujian karakter bangsa. Dan ujian ini hanya bisa dilewati dengan tiga pilar:
Baca Juga: Taufan Hunneman: Denny JA Akan Membuat Banyak Perubahan di Pertamina Hulu Energi
1. Diplomasi yang Cerdas
Pemerintah sudah mengirim Menteri Koordinator Perekonomian ke Washington DC.
Tujuannya: membuka jalan, menawarkan konsesi, memperdagangkan kepentingan.
Baca Juga: Denny JA, Pertamina, dan Masa Depan Puisi Esai: Sebuah Refleksi Positif
Bahkan Indonesia membuka opsi pembelian pesawat Boeing dan gandum AS senilai 34 miliar USD sebagai imbalan tarif lebih rendah.
Diplomasi bukan sekadar negosiasi, ia adalah seni bertahan dalam badai global.
2. Diversifikasi Pasar dan Produk
Baca Juga: Catatan Denny JA: Mantra Dunia Minyak, Ketahanan dan Kemandirian Energi
Pasar Amerika penting, tetapi bukan satu-satunya. Indonesia bisa memperdalam relasi dengan Tiongkok, India, Uni Eropa, dan kawasan MERCOSUR.
Sekaligus, kita harus naik kelas—dari pengekspor bahan mentah dan barang murah menjadi negara penghasil produk bernilai tinggi: elektronik, kosmetik halal, game, teknologi hijau, hingga budaya digital.
3. Kekuatan dari Dalam: Daya Tahan Domestik
Baca Juga: Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi Denny JA: Kemandirian Energi adalah Keharusan
Tak kalah penting adalah merawat ketahanan dalam negeri: melatih ulang buruh yang terkena PHK, mendorong UKM digital, memperbaiki logistik, memperkuat nilai tukar.
Negara yang besar bukan negara yang tak terkena pukulan, tetapi yang tahu bagaimana bangkit setelah dihantam.
-000-
Baca Juga: Catatan Denny JA: Bangkitnya Negara Minyak Melawan Super Power Dunia
Di balik angka tarif 32 persen, tersembunyi pertanyaan filosofis: sejauh mana bangsa ini mengandalkan dunia luar untuk bertahan hidup?
Apakah kita terlalu rapuh pada ekspor semata? Apakah kita telah membiarkan diri menggantung pada kemurahan hati negara lain?
Tarif ini adalah tamparan, bukan hanya dari Trump, tetapi dari sejarah. Ia menantang kita untuk menata ulang ekonomi, untuk menjadi bangsa yang tak hanya mengejar angka ekspor, tetapi membangun martabat ekonomi.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengapa Saya Menerima Jabatan Komisaris Utama PT Pertamina Hulu Energi?
Dan seperti Pak Junaedi di Bandung, kita harus belajar membungkus luka menjadi semangat.
Sebab meskipun ini sepatu terakhir untuk Amerika, mungkin inilah awal langkah baru untuk Indonesia.
Tarif 32 persen dari Trump bukan hanya kebijakan, tetapi simbol. Ia menunjukkan betapa rapuhnya hubungan dagang global.
Tetapi lebih dari itu, ia memberi cermin pada Indonesia: bahwa ketahanan ekonomi bukan dibangun dari keajaiban pasar bebas, tetapi dari ketangguhan internal, kecerdasan diplomasi, dan keberanian untuk berubah.
Seperti pepatah tua di kaki Gunung Gede:
“Tak ada gunung terlalu tinggi bagi bangsa yang mau memahat jalannya sendiri.”
Dan mungkin, bangsa ini—dalam setiap sepatu yang tersisa, setiap pabrik yang sepi, dan setiap diplomasi yang rumit—sedang memahat jalannya menuju masa depan yang lebih mandiri.
Kita bayangkan dan impikan, suatu ketika ini terjadi. Di sudut lain Cibaduyut, sekelompok pemuda mulai merajut aplikasi pemasaran digital.
Jari-jari yang dulu memotong kulit kini menari di keyboard. Pesanan pertama dari Maroko tiba-sepatu bordir motif wayang.
Mereka menyebutnya: “Proteksionisme Trump adalah guru terbaik untuk lompatan 4.0”.****
Jakarta, 13 Juli 2025
REFERENSI
Berikut referensi yang dapat dicantumkan di akhir esai:
1. “Trump Sends More Tariff Letters, Bringing Total to 14”
Wall Street Journal, 7 Juli 2025
2. Yergin, Daniel. The Commanding Heights: The Battle for the World Economy.
New York: Simon & Schuster, 2002.
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World