Catatan Denny JA: Donald Trump, Tarif 32 Persen dan Kisah Sepatu Cibaduyut
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 13 Juli 2025 14:54 WIB

Tapi seperti dalam banyak kasus sejarah, angka tak pernah netral. Ia bisa berubah jadi duka atau berkah tergantung siapa yang menerimanya.
Dan kali ini, angka itu adalah badai bagi para buruh, pengusaha kecil, dan pelaku industri dari Sumatra sampai Sulawesi.
Lebih dari 25 juta pekerja berada di sektor manufaktur. Banyak dari mereka bekerja di industri padat karya: tekstil, alas kaki, sawit, elektronik murah, dan furniture. Tarif 32% itu menaikkan harga jual ekspor Indonesia—dan membuat mereka tak lagi menarik di pasar AS. Pesanan turun. Produksi berhenti. PHK dimulai.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Einstein Mengenakan Batik dan Kisah Salvador Dali
-000-
Bandung bukan hanya kota mode. Ia adalah jantung tekstil dan alas kaki Indonesia.
Pabrik-pabrik kecil dari Cimahi hingga Majalaya menggantungkan hidupnya pada pesanan luar negeri, terutama Amerika.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Darah Negara Minyak
Karawang, kota industri yang dijuluki “Detroit-nya Indonesia”, juga tak luput. Komponen otomotif yang biasa dikirim ke Michigan kini terhambat.
Dan di Riau, sawit menjerit. Harga ekspor turun, gudang menumpuk, dan tetangga kita—Malaysia—tersenyum, karena tarif mereka hanya 25 persen.
Di semua kota ini, suara mesin-mesin pabrik mulai pelan. Tapi jeritan para pekerja justru makin nyaring. Meski jeritan itu tak terdengar di gedung-gedung tinggi Jakarta.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Big Oil, Ketika Perusahaan Lebih Kuat Dibanding Negara
Ini bukan pertama kali Indonesia jadi collateral damage dalam perang dagang.