DECEMBER 9, 2022
Kolom

Esai Haji: Di Balik Lantai Bersih Tanah Suci

image
Petugas kebersihan tertidur lelah di hotel (Foto: Elza Peldi Taher)

Oleh Elza Peldi Taher*

ORBITINDONESIA.COM - Keluar dari kamar hotel pagi itu, aku tertegun.

Di kursi dekat lift, seorang lelaki muda terlelap. Bajunya kusut, wajahnya legam terbakar matahari. Tak ada nama di dadanya, tak ada seragam rapi tanda pegawai hotel. Hanya pakaian lusuh dan tubuh ringkih yang memeluk lelah. Barangkali ia dari Bangladesh. Sudah lebih dari dua minggu aku melihatnya di sini, tanpa satu patah kata pun.

Baca Juga: Elza Peldi Taher tentang Mahakarya Randai II: Malin Kundang, Durhaka yang Membawa Bencana

Setiap hari ia hadir: mengisi galon air, membersihkan lantai hotel, mendorong troli kecil berisi alat pel, bekerja dari pagi hingga malam. Tak kenal libur, tak kenal henti. Kami hanya bisa bertegur dengan isyarat; ia tak mengerti bahasa Arab, apalagi Inggris.

Suatu hari, dengan gerakan tangan, aku meminta kamar kami dibersihkan. Ia tersenyum, wajahnya berbinar seperti anak kecil mendapat mainan baru. Dengan semangat ia membersihkan kamar, menyapu, mengepel, mengelap meja. Teman sekamarku melihat itu lalu ikut meminta bantuannya. Lelaki itu semakin bersemangat.

Kami memang tak bisa berkomunikasi lewat kata, tapi rasa adalah bahasa universal. Sejak hari itu, setiap kali bertemu di lorong, ia melemparkan senyum kecil. Senyum yang, entah bagaimana, terasa hangat.

Baca Juga: Inilah Kesaksian Elza Peldi Taher tentang Perjalanan Sukses Denny JA yang Berulang Tahun ke-61, 4 Januari 2024

Di Masjidil Haram, pemandangan serupa terhampar. Para pekerja migran itu tersebar di setiap sudut: membersihkan lantai marmer yang diduduki jutaan kaki, menyemprotkan wewangian ke karpet-karpet sujud, membawa troli besar berisi air zamzam. Ada yang berwajah India, ada yang Afrika, ada pula yang dari Bangladesh.

Kali ini mereka mengenakan seragam resmi. Tapi bila diperhatikan, pakaian itu lusuh, sepatu mereka usang, beberapa bahkan terlihat bolong. Langkah mereka gontai, kerja mereka lambat, ekspresi wajah mereka nyaris tanpa nyawa. Betapa ironis: di rumah Allah yang agung ini, di hadapan Ka'bah yang mulia, ada manusia yang bekerja dalam sunyi, dalam ketidaklayakan.

Aku termenung. Bukankah Islam mengajarkan, "Berikan upah pekerja sebelum keringatnya kering"? Bukankah Nabi bersabda, "Sesungguhnya saudaramu adalah pekerjamu"? Lantas, bagaimana bisa di tempat tersuci ini, yang dipenuhi doa dan harapan, para pekerja menjadi bayang-bayang yang luput dari perhatian?

Baca Juga: Elza Peldi Taher: Keadilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Di balik lantai bersih Tanah Suci, ada peluh yang membasahi bumi. Di balik wangi ruangan, ada lelah yang tak terucap. Mereka, para penjaga kesucian, kerap tak terlihat, kerap tak dianggap.

Mereka yang Menjaga Tanah Suci

Arab Saudi, negeri kaya minyak, kini menjadi rumah bagi jutaan pekerja migran. Di sektor swasta non-pemerintah, lebih dari 80% pekerjanya adalah imigran. Mereka datang dari Bangladesh, India, Pakistan, Nepal, Sudan, Ethiopia, mencari rezeki di tanah asing.

Baca Juga: Elza Peldi Taher: Denny JA, Penulis Lari Cepat 100 Meter

Dulu, mereka terikat dalam sistem "kafala" — sebuah bentuk perjanjian kerja yang membuat mereka bergantung penuh pada majikan. Paspor mereka ditahan, izin tinggal dikendalikan, dan kebebasan bergerak dibatasi. Majikan adalah raja kecil yang menentukan hidup mati mereka.

Reformasi memang sudah bergulir. Saudi Vision 2030 menghapus sebagian besar praktik kafala. Kini pekerja boleh pindah kerja, boleh pulang tanpa surat izin majikan, upah harus dibayar lewat bank. Tapi perubahan itu belum merata. Sektor-sektor "kasar" — cleaning service, buruh hotel kecil, penjaga toilet umum — masih jauh dari kata layak.

Masih banyak dari mereka yang hidup dalam kontrak kerja panjang, dalam upah yang rendah, dalam jam kerja yang menyesakkan. Banyak dari mereka tinggal di asrama sempit, berdesakan, tanpa cukup ruang untuk bernapas.

Baca Juga: Elza Peldi Taher: Esoterika, Melanjutkan Gagasan Djohan Effendi

Bayang-Bayang dalam Ibadah

Di antara jutaan jamaah yang bertawaf, para pekerja itu hadir seperti bayang-bayang. Mendorong pel lambat-lambat di sela lautan manusia. Tak ada yang menyapa, tak ada yang menoleh. Seolah mereka bagian dari marmer lantai, bagian dari latar belakang suci yang tak perlu diperhatikan.

Aku sering merenung, betapa ibadah kami — tawaf, salat, sujud, doa — terjadi dengan nyaman di atas lantai-lantai yang mereka bersihkan siang malam. Betapa kami sering lupa, kenyamanan kami dibangun di atas kerja senyap mereka.

Baca Juga: Catatan Elza Peldi Thaher: Jika Buku Gratis, Buat Apa Menulis?

Di hotel-hotel berbintang lima, di kamar-kamar megah, di restoran mahal, para buruh migran itu membersihkan, melayani, membawa makanan, tanpa seragam layak, tanpa hak yang semestinya.

Di Balik Kesucian, Ada Keringat

Malam itu, dari balik jendela kamar hotel, aku melihat lampu-lampu kota Mekkah berpendar. Di kejauhan, Masjidil Haram berdiri agung, memantulkan cahaya putih ke langit malam.

Baca Juga: Elza Peldi Taher: Rata, Anjing Kecil yang Setia

Aku memikirkan lelaki yang tertidur di kursi itu. Apakah ia masih di sana? Atau sudah berganti giliran dengan pekerja lain? Barangkali besok pagi aku akan kembali melihatnya: wajah keras, mata cekung, tubuh kecil yang menanggung beban besar.

Di Tanah Suci ini, manusia dari berbagai penjuru dunia datang untuk mencari ampunan dan berkah. Tapi mungkin kita lupa: berkah itu juga menuntut keadilan. Ampunan itu juga menuntut rasa kasih pada sesama.

Di balik lantai bersih Tanah Suci, ada doa yang tak bersuara: doa dari tangan-tangan kasar yang mengelap lantai, dari kaki-kaki lelah yang berkeliling, dari tubuh-tubuh kecil yang menjaga kesucian tempat kami beribadah.

Baca Juga: Elza Peldi Taher: Kok Makin Banyak Orang Penting di Jakarta

Semoga suatu hari nanti, keadilan pun berhaji ke kota ini.

Mekkah 1 Juni 2025

Elza Peldi Taher. ***

Halaman:

Berita Terkait