DECEMBER 9, 2022
Humaniora

Lomba Menulis Puisi Esai Berhadiah, Menyambut Festival Puisi Esai ASEAN ke-4 di Malaysia

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA.COM - Sore itu, langit tampak biasa. Tak ada firasat apa pun. Seorang perempuan duduk tenang di rumahnya. Ia menikah seperti pasangan lain: dengan harapan, cinta, dan doa panjang untuk anak-anak.

Namun dalam hitungan menit, hidupnya jungkir balik. Polisi datang dan menggerebek rumah mereka. Sang suami ternyata teroris. Ia sendiri dituduh sebagai bagian dari jaringan.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Berhadapan dengan Makam Nabi Muhammad SAW

Perempuan itu terguncang. Ia menangis, tapi tak bisa menjelaskan apa pun. Dunia tiba-tiba menjadi asing baginya. Semua mata mencurigainya, seolah ia turut bersalah karena mencintai seseorang yang menyimpan rahasia gelap.

Kisah ini nyata. Diolah menjadi puisi esai oleh Mila Muzakkar dalam buku Karena Perempuan, Aku di-Cancel. Sebuah kesaksian personal yang berubah menjadi karya sastra yang menggugah nurani.

Buku Mila adalah satu dari sekian karya yang dibawa delegasi Indonesia untuk Festival Puisi Esai ASEAN ke-4 di Sabah, Malaysia. Festival ini bukan hanya ajang sastra—tapi panggung kemanusiaan.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Gunung Batu Berseni Itu, Al Ula Saksi Sejarah

Tak banyak yang menyangka: sejak pertama hingga keempat, festival ini sepenuhnya dibiayai oleh pemerintahan Sabah.

Dukungan negara terhadap seni seperti ini amat langka. Di era ketika algoritma mendikte segalanya, mereka percaya: puisi tetap mampu menyentuh yang tak bisa dijangkau teknologi—jiwa manusia.

-000-

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Emha Ainun Nadjib, Penjaga Mata Air Spiritual Nusantara

Sudah empat kali Festival Puisi Esai ASEAN berlangsung. Di tiap perhelatan, satu benang merah menonjol: puisi esai menjadi suara dari yang tak terdengar. Ia adalah jurnalisme spiritual—pengakuan, kesaksian, dan perlawanan yang estetis.

Kini generasi muda pun terlibat. Di Indonesia, Gol A Gong menyulut api itu lewat kanal Gol A Gong Kreatif. Rubrik khusus Gen Z mengundang karya dari Aceh hingga Papua. Luka dan harapan mereka menjelma puisi esai.

Salah satunya: Aqilah Mumtanzah dari Yogyakarta. Ia menulis puisi esai tentang gempa 2006 yang menewaskan lebih dari 6.000 orang. Tapi Aqilah tak menuliskan angka. Ia menulis tentang suara tangisan di reruntuhan. Tentang seorang anak yang mencari ibunya. Tentang doa yang melayang ke langit berdebu.

Baca Juga: Pengantar Denny JA Untuk Buku 65 Puisi Esai: Kesaksian Zaman (2025)

Di antara debu reruntuhan, puisi esai tak hanya membangunkan yang mati. la menjahit luka antar generasi: kakek yang bisu karena perang, cucu yang gagu oleh algoritma.

Seperti tangan nenek merajut tikar, kata-kata mereka menyambung benang waktu.
Di sini, sejarah bukan monumen dingin. Ia denyut nadi yang terus berdarah, menuntut kita mendengar bisikannya sebelum terlambat.

Di situlah kekuatan puisi esai: ia tak sekadar memuat fakta, tapi menghidupkan kembali kemanusiaan di balik fakta itu.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Api Itu Menyatukan Kita

Yang menarik, banyak kreator kini bekerja bersama AI—termasuk Mila Muzakkar. Ia mengolah kisahnya dengan asisten cerdas buatan. Bukan untuk menggantikan kreativitas, tapi memperluas daya jelajah imajinasi.

Dalam puisi esai, manusia dan mesin tak saling meniadakan. Mereka berkolaborasi. Sebuah proses kreatif baru yang lahir dari zaman ini.

Tahun ini, Festival Puisi Esai ASEAN juga membawa kabar baik: terbit mini antologi karya 63 penulis, disunting oleh Dhenok Kristianti.

Dalam bunga rampai itu hadir penulis senior, yang untuk pertama kali menulis dalam genre ini, seperti Okky Madasari, Gol A Gong, dan jurnalis Ahmadie Thaha.

Mereka membuka diri, menjelajah genre baru: puisi esai, hibrida antara puisi, cerpen, dan reportase kehidupan.

Di luar tiga penulis itu, hadir 62 penulis lain yang sudah malang melintang soal puisi esai, mulai dari Agus Sarjono hingga Fatin Hamama, D. Kemalawati hingga Isbedy Stiawan, Anwar Putra Bayu hingga Nia Samsihono, Ahmad Gaus, Anick HT hingga Isti Nugroho.

Beberapa menulis tentang anak hilang karena tenggelam. Tentang korban pelecehan seksual di pesantren. Tentang ibu yang diam-diam menjual ginjal demi biaya sekolah anak.

Cerita-cerita itu dirajut dalam bentuk sastra. Sebab terkadang, hanya lewat puisi, luka terdalam bisa menemukan artinya.

-000-

Tiga alasan mengapa Festival Puisi Esai ASEAN begitu penting:

Pertama, puisi esai mengangkat isu-isu kemanusiaan yang kerap diabaikan media arus utama. Di balik riuh politik dan statistik, ada manusia-manusia kecil dengan luka besar yang tak bersuara.

Puisi esai memberi mereka suara—bukan dari menara gading, tapi dari sunyi batin. Ia menyuarakan trauma dan harapan dari sudut yang paling personal. Membaca puisi esai adalah menyerap penderitaan tanpa teriakan. Ia menyusup perlahan, menusuk lembut, dan meninggalkan jejak di kesadaran.

Kedua, festival ini membuka ruang perjumpaan lintas bangsa. Di Sabah, penyair dari Indonesia, Singapura, Brunei, dan lainnya duduk satu panggung. Mereka membawa kisah masing-masing, namun menemukan bahwa air mata dan tawa tak mengenal perbatasan.

Bahasa berbeda, namun pengalaman hidup berpantulan. Seorang ibu di Manila yang kehilangan anak akibat geng bisa bersahabat dengan puisi tentang perempuan Aceh yang bertahan dalam patriarki. Di sinilah puisi menjadi jembatan kemanusiaan—mengikat yang serupa, merangkul yang berbeda.

Ketiga, festival ini ruang regenerasi. Di era atensi singkat dan tren cepat berubah, Gen Z ditantang mencari kedalaman. Festival ini memberi mereka panggung bukan hanya sebagai penonton, tapi pencipta.

Mereka tak lagi menulis demi likes, tapi demi menyembuhkan, menyuarakan, menyentuh. Anak-anak muda menuliskan trauma sejarah daerah, keresahan zamannya—lalu meramunya menjadi puisi yang hidup.

Festival ini bukan hanya agenda tahunan. Ia adalah napas kolektif Asia Tenggara: mencoba memahami luka bersama, berharap bersama, menyuarakan kemanusiaan bersama. Di dunia yang terus berubah, festival ini adalah jangkar. Kata-kata, jika ditulis dari hati, bisa mengubah dunia.

-000-

Lomba Menulis Puisi Esai: Ajakan Menulis untuk Kemanusiaan

Di dunia yang bergerak cepat, kita kadang lupa berhenti untuk merasa. Tapi lewat puisi esai, kita kembali mendengar suara-suara yang lama terpinggirkan.

Suara perempuan yang dilukai. Anak-anak yang kehilangan rumah. Mereka yang tak pernah masuk berita, tapi luka mereka nyata.

Festival ke-4 ini membuka sayap lebih lebar. Mengajak siapa saja menulis, menyuarakan, menjadi bagian dari gerakan kemanusiaan melalui lomba puisi esai.

Lomba ini terbuka untuk semua. Panjang karya maksimal 500 kata. Hadiah total sekitar 38 juta rupiah untuk 10 pemenang utama. Namun yang paling berharga: 90 karya lainnya akan diterbitkan dalam buku PDF antologi puisi esai.

Bayangkan, naskah sederhana dari ruang pribadi bisa menjadi bagian dari gerakan sastra Asia Tenggara.

Tak perlu jadi penyair besar. Yang dibutuhkan hanya keberanian menulis kisah nyata, lalu membingkainya dalam napas puisi. Seperti yang ditampilkan dalam Kesaksian Zaman, kumpulan 65 puisi esai:

Link: https://drive.google.com/file/d/1glS1axuvshM6b2PHmIT7PGSIuhGUnZX5/view?usp=drive_link

Batas akhir pengiriman: 31 Mei 2025

Email: bahasasabah2022@gmail.com
WhatsApp: +6016-8115593

Ini bukan hanya lomba. Ini kesempatan. Untuk menulis bukan demi pujian, tapi demi sesama. Sebab dalam 500 kata, bisa saja kita menyelamatkan satu jiwa dari kesendirian.

-000-

Karena pada akhirnya, puisi esai adalah ruang bagi suara-suara yang enggan dibungkam.
Ia bukan sekadar tulisan, tapi detak jantung dari jiwa yang terluka dan ingin didengar.

Festival Puisi Esai ASEAN ke-4 mengajak kita hadir bukan hanya sebagai peserta, tapi penyaksi dan penyambung kisah.

Di tengah hiruk-pikuk dunia, mungkin hanya sebaris kalimat yang ditulis dengan empati, yang bisa mengikat kita kembali sebagai sesama manusia.

Mari menulis. Mari bersaksi. Mari menyulam kemanusiaan lewat kata, dan merawat harapan lewat puisi esai.***

Jakarta, 30 April 2025

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/1Bo7fe92s6/?mibextid=wwXIfr

Halaman:

Berita Terkait