Pemberontakan PKI dan Pelanggaran HAM
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Rabu, 11 Desember 2024 14:35 WIB
Oleh K.H. DR. Amidhan Shaberah*
ORBITINDONESIA.COM - PKI memberontak terhadap pemerintahan yang sah. Apakah itu pelanggaran HAM? Pertanyaan tersebut tampaknya tak mudah dijawab karena sarat dengan perdebatan. Apalagi setelah Orde Baru tumbang.
Orde Reformasi yang menggantinya, tampak ragu menyatakan PKI telah melakukan pelanggaran HAM berat di Indonesia. Alasannya, jutaan orang PKI terbunuh antara tahun 1965-1967. Tentara dan rakyat Indonesia yang anti-PKI telah membunuh orang-orang PKI, tetapi ada juga orang-orang yang tidak bersalah. Mereka semua menjadi korban pelanggaran HAM.
Baca Juga: Komunis Yaman dan Mispersepsi Umat Islam Indonesia
Pemerintah Jokowi pun menerbitkan Keppres Nomor 17 Tahun 2022, Keppres Nomor 4 Tahun 2023, dan Inpres Nomor 2 Tahun 2023. Semuanya tentang rehabilitasi dan bantuan sosial korban pelanggaran HAM. Termasuk di dalamnya korban Peristiwa berdarah 1965-1966. Yaitu pembunuhan orang-orang PKI dan bukan PKI.
Anak-anak dari pahlawan revolusi menggugat dua Keppres dan satu Inpres yang diteken oleh Presiden Jokowi tersebut. Tiga anak Jenderal Ahmad Yani -- Untung Mufreni A. Yani, Irawan Suraeddy A Yani dan Amelia A Yani -- mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) pada 14 Juli 2023 lalu.
Gugatan itu diajukan tiga anak Jenderal Ahmad Yani karena mereka menilai Inpres Nomor 2 tahun 2023, Keppres Nomor 17 tahun 2022 dan Keppres Nomor 4 tahun 2023, “sangat tidak adil” terhadap keluarganya sebagai anak Jenderal Ahmad Yani. Ahmad Yani saat itu, 1965, adalah Panglima Angkatan Darat -- tewas akibat dibunuh PKI.
Baca Juga: Ahmad Yusuf: Komunis Itu Tidak Identik Dengan Ateis
Satu Inpres dan dua Keppres itu dalam persepsi mereka dinilai tidak adil, karena mereka merasa pemerintah mengaku bersalah terhadap PKI. Dan menetapkan anak-anak PKI sebagai korban yang akan mendapat ganti rugi. Sebaliknya, di dalam Inpres dan Keppres itu tidak disebut anak-anak pahlawan revolusi yang ditetapkan sebagai korban. Mereka juga tidak diberi santunan atau ganti rugi. Padahal korban dari kekejaman PKI sangat banyak. Bukan hanya tentara. Tapi juga rakyat dan ulama di desa-desa.
Dalam Judicial Review yang diajukan, anak-anak Jenderal Ahmad Yani minta Keppres (yang seolah-olah “minta maaf” kepada PKI tersebut) dicabut.
Sejarah Pemberontakan PKI
Baca Juga: Anggota Kongres AS Thomas Massie: Amerika Serikat Bisa Berubah Menjadi Negara Komunis Seperti China
Baru 3 tahun Indonesia merdeka, Partai Komunis Indonesia (PKI) memberontak di Madiun, 18 September 1948. la mengambil alih kekuasaan Jakarta yang sah. Pimpinannya Amir Syarifuddin dan Muso. Dalam kudeta itu PKI menculik, menganiaya, dan membunuh penduduk sipil, polisi, dan ulama di Jawa Timur, khususnya di Madiun dan sekitarnya..
Aksi-aksi sepihak dalam bentuk kekerasan muncul lagi tahun 1960 sampai 1968. Pelakunya PKI beserta organisasi mantelnya. Kekerasan dalam bentuk teror, provokasi, penganiayaan, sampai dengan pembunuhan terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Di antaranya di Kediri, Banyuwangi, Jember, Klaten dan lain-lain.
Pengaruh PKI yang begitu dominan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tahun 1960-an, menyebabkan perpecahan di kalangan sastrawan dan budayawan. Sastrawan dan budayawan pro-NKRI dan Pancasila mendeklarasikan Manikebu (Manifes Kebudayaan) untuk melawan dominasi sastrawan dan budayawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang pro-PKI.
Baca Juga: KH Amidhan: Wilders, Aboutaleb, dan Seedorf: Islam di Belanda
Para seniman yang berhaluan komunis dengan "Lekra"nya berpihak pada sikap anti Manifest. Sikap mereka yang demikian ekstrim antara lain ditunjukkan dengan menyebut para penandatangan Manifest Kebudayaan sebagai "tukang tadah kebudayaan setan dunia", "berideologi setan" dan mengembangkan "kebudayaan setan". Para budayawan pendukung Manifest yang semata-mata hanya ingin meluruskan semangat kreativitas, telah dipojokkan dan dituduh sebagai pendukung imperialis dan kontra revolusi.
Adapun yang dilakukan PKI pada tahun 1965, yang dikenal dengan peristiwa Gerakan 30 September/PKI bermaksud mengambilalih kekuasaan dari pemerintah yang sah. Ini merupakan antiklimaks dari tindakan-tindakan PKI sebelumnya. Sasaran langsung kekejaman PKI di samping para pimpinan TNI Angkatan Darat adalah rakyat sipil. Gerakan kudeta oleh PKI tersebut diakui sendiri oleh Ketua CC (Central Committee) PKI DN Aidit.
Kata Aidit -- "Saya adalah orang yang mempunyai tanggung jawab tertinggi pada peristiwa 30 September 1965 dan disokong oleh pejabat-pejabat PKI lainnya serta pejabat-pejabat organisasi rakyat di bawah PKI."
Baca Juga: Ivo Mateus Goncalves: Buku John Roosa tentang Kekerasan Antikomunis 1965-1966 di Indonesia
Pelanggaran hak asasi manusia pada saat itu berupa tindakan penculikan yang disertai penyiksaan dan pembunuhan terhadap sejumlah senior Angkatan Darat. Kekerasan yang terjadi di pusat kekuasaan, diikuti pula dengan tindakan kekerasan di berbagai daerah di Indonesia.
Pelakunya di samping CC. PKI juga organisasi-organisasi onderbouwnya, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), BTI (Barisan Tani Indonesia), dan sebagainya. Pelanggaran hak asasi manusia oleh PKI setidaknya berupa teror dan pemaksaan kehendak yang ditujukan kepada lawan-lawan politiknya atau tokoh-tokoh agama.
Kekerasan PKI di Indonesia telah menorehkan sejarah panjang tindakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pelanggaran HAM juga dilakukan oleh pemerintah Orde Baru yang mengatasnamakan 'pembasmian komunisme', dengan korban yang cukup banyak.
Baca Juga: Syaefudin Simon: Amidhan dan Islamic Center Jonggol
Aksi-aksi pelanggaran HAM tersebut, perlu kiranya dilihat secara adil dan jernih. Karena selama Orde Baru, publikasi yang muncul ke permukaan lebih kental nuansa (kepentingan) politik penguasa. Di antaranya adalah penulisan sejarah berjudul: Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia oleh Sekretariat Negara, (1994).
Buku tersebut menjelaskan latar belakang aksi dan penumpasan gerakan tersebut. Bahasan pada buku-buku yang ditulis pihak pemerintah selama masa kekuasaan Orde Baru kebanyakan menyoroti peristiwa pelanggaran HAM dalam perspektif politik untuk kepentingan pemerintah yang sedang berkuasa.
Tindakan PKI dengan semua organisasi onderbouwnya banyak menorehkan lembaran hitam penegakan HAM. Bahkan menorehkan lembaran hitam perjalanan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun fakta-fakta tersebut belum terungkap jelas melalui penelitian dan studi akademis. Di era Reformasi muncul tuntutan untuk mengungkap seluas-luasnya praktik pelanggaran HAM tersebut.
Baca Juga: Amidhan Shaberah: Puan Maharani dan Demokrasi
Kebijakan dan tindakan pemerintah Orde Baru terhadap para pihak yang dianggap berbau komunis, sangat kejam, keras dan tidak manusiawi. Sehingga nyaris membalikkan opini: bahwa PKI tidak pernah melakukan pelanggaran HAM. Kemudian Pemerintah menjadi pihak tertuduh. Ini jelas tidak fair. Karena faktanya PKI menjadi pihak pertama yang melakukan pelanggaran HAM.
Partai Komunis Indonesia (PKI) sendiri telah dilarang dan dibubarkan melalui TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 karena telah dua kali melakukan pemberontakan, yaitu tahun 1948 dan 1965. Pemberontakan dan kekerasan adalah salah satu cara yang ditempuh oleh PKI dalam memperjuangkan komunisme sebagai gerakan politik dan ideologi dalam kehidupan politik di Indonesia.
Maka sebagai langkah strategis bangsa Indonesia akhirnya melalui Tap MPRS membubarkan PKI dan melarang paham komunisme. Langkah tersebut diambil agar di masa datang tidak terulang lagi peristiwa serupa. Salah satu alasan pelarangan itu karena ajaran komunis bertentangan dengan Pancasila dan sistem keyakinan yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Peristiwa berdarah tahun 1965 adalah fakta sejarah. Karena peristiwa tersebut berlatar belakang politik dan ideologi, maka bila dilihat dari perspektif HAM menimbulkan perdebatan. Apakah peristiwa berdarah yang menimpa dua pihak yang bertentangan ideologi dan politik tmasuk ranah pelanggaran HAM atau tidak.
Bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, misalnya, apa termasuk pelanggaran HAM? Jawabannya panjang dan debatable.
Hal serupa terjadi pada pembunuhan orang-orang PKI pasca pemberontakan G30S yang gagal. Tokoh intelektual militer Orde Baru, Letjen Sayidiman Suryohadiprojo menyatakan, siapa yang menanam angin, maka akan menuai badai.
Baca Juga: Amidhan Shaberah: Judi Online, Racun yang "Merusak" Masyarakat
PKI yang menanam angin saat pemerintah dan rakyat Indonesia membangun negara. Maka PKI pun menuai badai. Badai tersebut memorakperandakan PKI.
Bila dilihat dari perspektif HAM, kita bisa mengerti -- mengapa Pak Sayidiman menyalahkan PKI. PKI yang menginisiasi kekerasan dan pembunuhan. Dan PKI yang harus menanggung akibatnya.
Dari perspektif inilah kita seharusnya melihat tindakan pemerintah Orde Baru dalam menindak PKI. Tanpa menghentikan gerakan PKI sampai ke akar-akarnya, niscaya korban yang akan kehilangan nyawa lebih banyak lagi. Karena itu gugatan anak Jenderal Ahmad Yani terhadap Kepres dan Inpres tersebut di atas menemukan relevansinya.
Baca Juga: Amidhan Shaberah: Tangkap Netanyahu Si Penjahat Perang
*K.H. DR. Amidhan Shaberah, Ketua MUI 1995-2015/Komnas HAM 2002-2007. ***