Pemberontakan PKI dan Pelanggaran HAM
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Rabu, 11 Desember 2024 14:35 WIB
Aksi-aksi sepihak dalam bentuk kekerasan muncul lagi tahun 1960 sampai 1968. Pelakunya PKI beserta organisasi mantelnya. Kekerasan dalam bentuk teror, provokasi, penganiayaan, sampai dengan pembunuhan terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Di antaranya di Kediri, Banyuwangi, Jember, Klaten dan lain-lain.
Pengaruh PKI yang begitu dominan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tahun 1960-an, menyebabkan perpecahan di kalangan sastrawan dan budayawan. Sastrawan dan budayawan pro-NKRI dan Pancasila mendeklarasikan Manikebu (Manifes Kebudayaan) untuk melawan dominasi sastrawan dan budayawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang pro-PKI.
Para seniman yang berhaluan komunis dengan "Lekra"nya berpihak pada sikap anti Manifest. Sikap mereka yang demikian ekstrim antara lain ditunjukkan dengan menyebut para penandatangan Manifest Kebudayaan sebagai "tukang tadah kebudayaan setan dunia", "berideologi setan" dan mengembangkan "kebudayaan setan". Para budayawan pendukung Manifest yang semata-mata hanya ingin meluruskan semangat kreativitas, telah dipojokkan dan dituduh sebagai pendukung imperialis dan kontra revolusi.
Baca Juga: Komunis Yaman dan Mispersepsi Umat Islam Indonesia
Adapun yang dilakukan PKI pada tahun 1965, yang dikenal dengan peristiwa Gerakan 30 September/PKI bermaksud mengambilalih kekuasaan dari pemerintah yang sah. Ini merupakan antiklimaks dari tindakan-tindakan PKI sebelumnya. Sasaran langsung kekejaman PKI di samping para pimpinan TNI Angkatan Darat adalah rakyat sipil. Gerakan kudeta oleh PKI tersebut diakui sendiri oleh Ketua CC (Central Committee) PKI DN Aidit.
Kata Aidit -- "Saya adalah orang yang mempunyai tanggung jawab tertinggi pada peristiwa 30 September 1965 dan disokong oleh pejabat-pejabat PKI lainnya serta pejabat-pejabat organisasi rakyat di bawah PKI."
Pelanggaran hak asasi manusia pada saat itu berupa tindakan penculikan yang disertai penyiksaan dan pembunuhan terhadap sejumlah senior Angkatan Darat. Kekerasan yang terjadi di pusat kekuasaan, diikuti pula dengan tindakan kekerasan di berbagai daerah di Indonesia.
Baca Juga: Ahmad Yusuf: Komunis Itu Tidak Identik Dengan Ateis
Pelakunya di samping CC. PKI juga organisasi-organisasi onderbouwnya, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), BTI (Barisan Tani Indonesia), dan sebagainya. Pelanggaran hak asasi manusia oleh PKI setidaknya berupa teror dan pemaksaan kehendak yang ditujukan kepada lawan-lawan politiknya atau tokoh-tokoh agama.
Kekerasan PKI di Indonesia telah menorehkan sejarah panjang tindakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pelanggaran HAM juga dilakukan oleh pemerintah Orde Baru yang mengatasnamakan 'pembasmian komunisme', dengan korban yang cukup banyak.
Aksi-aksi pelanggaran HAM tersebut, perlu kiranya dilihat secara adil dan jernih. Karena selama Orde Baru, publikasi yang muncul ke permukaan lebih kental nuansa (kepentingan) politik penguasa. Di antaranya adalah penulisan sejarah berjudul: Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia oleh Sekretariat Negara, (1994).
Baca Juga: Anggota Kongres AS Thomas Massie: Amerika Serikat Bisa Berubah Menjadi Negara Komunis Seperti China
Buku tersebut menjelaskan latar belakang aksi dan penumpasan gerakan tersebut. Bahasan pada buku-buku yang ditulis pihak pemerintah selama masa kekuasaan Orde Baru kebanyakan menyoroti peristiwa pelanggaran HAM dalam perspektif politik untuk kepentingan pemerintah yang sedang berkuasa.