DECEMBER 9, 2022
Kolom

Refleksi Usia 64 Tahun: Revolusi Harapan Menuju Aku yang Sejati

image
Isti Nugroho

Oleh Isti Nugroho

ORBITINDONESIA.COM - Surga telah hilang. Sekarang, kita hidup di dalam ketidakpastian. Ideologi meredup, ia tidak lagi  menjadi peta jalan kehidupan kolektif. Nilai-nilai peradaban semakin termanipulasi menjadi kenyataan serba artifisial.

Puncaknya adalah, dehumanisasi semakin “diterima” dan “dirayakan” sebagai kepastian  sejarah manusia: bahwa yang kuat “sudah semestinya”  mendominasi dan menghegemoni pihak yang lemah.

Baca Juga: Isti Nugroho: Hidup yang Filosofis

Kenyataan ini melampaui ramalan pujangga Kasunanan Surakarta pada abad 19, Raden Ngabehi Ronggowarsito,  tentang zaman edan.

Sikap permisif (serba boleh) dijadikan arus utama kehidupan kolektif. Nilai-nilai ideal pun ditendang ke gudang sejarah.

Pada usia 64 tahun, bagaimana saya bisa mengupayakan diri untuk tangguh menghadapi situasi penuh carut marut itu?

Baca Juga: Isti Nugroho: Capres, Kisah Mahabharata dan Perselingkuhan

Bagi siapa pun, kenyataan di atas menggoreskan rasa pedih, manakala di dalam bawah sadar masih menyala ideologi dan idealisme. Benturan antara nilai-nilai ideal dengan hal-hal artifisial selalu terjadi di rongga pikiran dan hati nurani. Tetap konsisten atau kompromi? Itulah pertanyaan besarnya.

Dalam kenyataan, tubuh saya semakin ringkih. Gangguan kesehatan berlalu-lalang di dalam tubuh. Energi semakin menipis. Gerak semakin terbatas. Tak sedinamis waktu muda.

Tiba-tiba saya dihardik oleh pernyataan: peluang dan kesempatan hanya bagi mereka yang muda. Kompetisi yang keras memaksa siapa pun yang lemah dan “tidak tegaan”, harus tersingkir dan tersungkur.

Baca Juga: Isti Nugroho: Politik Buto Terong

Kehidupan tak pernah memahami diri kita. Kita lah yang harus memahaminya. Buktinya, hidup jalan terus. Siapa pun dipaksa untuk mampu bertahan dengan berbagai cara, jika tak ingin terpental dari kereta waktu yang melaju sangat cepat (melebihi Whoosh). 

Ini membuat saya—sebagai lansia—terengah-engah mengejarnya. Dan, untunglah saya masih bisa berada di bagian kereta dahsyat itu, meskipun tidak terlalu nyaman.

Kereta waktu itu terus melaju, singgah di beberapa stasiun. Bagiku, kini  kereta itu sedang menuju stasiun “senja” (sesuai dengan usiaku yang 64 tahun).

Baca Juga: Isti Nugroho: Problem Calon dan Lembaga Selektorat

000

Memasuki masa senja saya bersyukur kepada Tuhan karena saya masih dianugerahi daya hidup. Juga berbagi rezeki yang membahagiakan.

Dengan daya hidup yang tersisa itu, saya masih bisa melakukan hal-hal kecil, yang saya harapkan bisa memberi makna bagi banyak orang. Terutama di ranah politik dan kebudayaan, khususnya kesenian.

Baca Juga: Isti Nugroho: Facebook dan Istri Kita

Di bidang politik, alhamdulillah, hingga kini saya belum menyerah dan masih terus melakukan penguatan demokrasi, baik pada tataran wacana maupun praksis.

Ini sudah saya lakukan sejak saya muda, yaitu semasa hidup di Yogyakarta (saya lahir di kota Yogya 30 Juli 1960).

Demi demokrasi, saya secara konkret telah berhadapan dengan kekuasaan Orde Baru yang otoriter, bengis dan brutal.

Baca Juga: Isti Nugroho: Goenawan Mohamad dan Jamuan Ilmu

Pada tahun 1988, saya dituduh melakukan tindakan subversif dan diganjar hukuman penjara selama delapan tahun.

Jika hal itu saya katakan, sama sekali bukan untuk pamer heroisme dan penderitaan, melainkan sekadar menyebut fakta, bahwa saya pernah mewujudkan ucapan penyair Rendra: “perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”. Ini memberikan pelajaran besar pada saya bahwa  perjuangan membutuhkan konsistensi dan integritas, dua hal yang terasa sangat mahal dan sulit untuk digenggam.

Di bidang kebudayaan (seni), saya pun telah melakukan langkah-langkah kecil untuk membuat karya atau menggelar kegiatan. Menulis puisi (termasuk puisi esai, yang tradisinya dirintis Bung Denny JA), naskah drama, menyutradarai teater, menggelar diskusi, menerbitkan buku dan lainnya. Passion saya terasa menyala di  dalam dunia politik dan seni.

Baca Juga: Isti Nugroho: Kebermaknaan Lukisan AI Karya Denny JA

Saya punya prinsip: dengan seni saya mencoba memberikan sentuhan keindahan  pada politik. Sehingga politik jadi elegan.

Adapun dengan politik, saya berupaya menyalakan api dan mengalirkan energi pada dunia kesenian. Sehingga  kesenian  mampu menjadi wahana kultural untuk menciptakan perubahan. Bukan sekadar hiburan atau klangenan.

Pada saat banyak cita-cita belum tercapai, mendadak saya disergap kenyataan: saya sudah berusia 64 tahun. Sang waktu sangat ajaib. Ia  membawa saya  mengalami banyak pengalaman dan perubahan, tanpa terasa. Tanpa sadar, saya sudah memasuki masa senja.

Baca Juga: Inspirasi Politik dari Mata Air Bung Karno dan Sjahrir: Pengantar dari Denny JA untuk Buku Puisi Esai Isti Nugroho

000

Saya berusaha menjadikan masa senja saya menjadi senja yang indah dan bermakna. Menjadi tua, itu kepastian. Menjadi matang dan dewasa, itu pilihan. Orang Jawa bilang, masa tua adalah saat untuk memasuki fase menep (mengendap). Melalui  pengendapan jiwa, kebeningan pikiran dan hati pun muncul. Semua hal yang signifikan jadi terfokus. 

Hidup bergerak ke nilai-nilai substansial. Dan situ, orang menemukan dirinya yang sejati. Yaitu, diri (individualitas)  yang otentik atau kepribadian yang memiliki karakter dan orientasi nilai yang jelas.

Ulang tahun ke-64, dalam tradisi Jawa, dimaknai sebagai upacara yang magis. Sebutannya tumbuk ageng. Tumbuk artinya bertepatan. Ageng, bermakna besar. Tumbuk ageng bisa diartikan momentum besar (penting) yang menandai perjalanan hidup manusia penuh makna. Upacara ini biasanya disertai tradisi congkokan (penyangga usia agar panjang umur) dan angon putu (menjaga dan merawat cucu).

Pada momentum itu, manusia telah memahami sangkan paraning dumadi (asal mula kejadian, dari mana kita berasal), dan mampu mbabar jati diri atau menguraikan kesejatian dirinya. Juga fokus pada orientasi nilai dengan seluruh risikonya.

Dalam konteks ini, saya jadi ingat tiga tokoh yang memperingati ulang tahunnya yang ke-64. Mereka adalah Presiden Soeharto, Sri Sultan HB IX dan tokoh Partai SosiaIis Indonesia Soebadio Sastrosatomo. Masing-masing tokoh itu menggelar wayang kulit dengan dalang senior. Pilihan lakonnya pun serius dan penuh kontemplasi, misalnya Semar mBabar Jati diri. 

Wayang kulit bagi priyayi Jawa, bukan sekadar kesenian, melainkan yang utama adalah sumber nilai dan ajaran moral tentang keutamaan hidup.

Menurut budayawan Umar Kayam, melalui pergelaran wayang kulit, orang melakukan konfirmasi sekaligus  pengukuhan nilai yang diyakini. Selain itu juga pernyataan diri sebagai solidarity maker (perekat persaudaraan sosial). 

Saya pun kalau punya dana cukup, juga ingin nanggap wayang. Tapi hal itu tidak mungkin karena alasan dana atau logistik. Dan saya sangat bangga, merasa terhormat  dan bahagia karena ulang tahun saya dirayakan oleh Bung Denny JA dan kawan-kawan. Apresiasi yang setinggi-tingginya untuk Bung Dennya JA.

000

Apa maknanya ulang tahun ke-64 bagi saya? 

Pada momentum penting ini, saya meneguhkan diri sebagai aktivis demokrasi dan seniman, yang insya Allah, selalu konsisten.

Bagi saya, menjadi aktivis demokrasi dan seniman adalah jalan sunyi. Jauh dari pusat kekuasaan dan segala kemudahan. Juga sorot kamera dan tepuk tangan. Rendra bilang, “hidup di angin” dan hadir serta selalu mengalir sebagai bagian roh masyarakat.

Momentum 64 tahun bagi saya, adalah kesempatan untuk lebih mengembangkan roh (jiwa, pikiran, daya hidup, kreativitas dll) daripada membesarkan tubuh (jasmani). Ini tidak mudah.

Mengembangkan roh berarti menempuh asketisme atau mesu budi (istilah sejarawan Sartono Kartodirdjo). Yaitu kemampuan mengerahkan  seluruh potensi kejiwaan di dalam diri  Dalam konteks ini kita punya banyak teladan seperti Bung Hatta, Soetan Sjahrir, Chairil Anwar sampai Mochtar Lubis,  Rendra dan lainnya. Mereka selalu konsisten menggenggam idealismenya. Bahkan sampai mati.

Terus bergerak dan terus berbuat adalah kunci hidup saya. Dalam gerak selalu ada hasrat, ada kehendak untuk mencapai tujuan. Namun filsuf Arthur Schopenhauer (1788-1860) mengingatkan bahwa  biang keladi penderitaan ialah kehendak/will. Kehendak adalah hasrat berlebih, kemauan yang baka, buruk, hina, dan seterusnya.

Oleh karena itu, kehendak mesti dikendalikan. Mengendalikan kehendak adalah dengan hidup asketis. Yaitu, hidup dengan menghindari kemewahan dan mengebiri diri dari kehidupan dunia yang dianggap sebagai sumber kebekuan atau kemandekan.

Pandangan Schopenhauer di atas mungkin terlalu ekstrem dan radikal dan sangat khas Barat. Perlu ada imbangan falsafah lain, sebut saja dari budaya Jawa. Misalnya ajaran moral yang mengatakan bahwa  di dalam kehendak atau karep  ada geni atau api yang memancarkan daya hidup positif.

Dengan api, manusia membuka ruang-ruang kemungkinan untuk menemukan  nilai-nilai dan pelbagai pencapaian. Termasuk materi, kebahagiaan dan kesenangan yang terukur. Asketisme tidak harus menyiksa jiwa dan tubuh.

Tubuh harus dicintai dan dirawat agar selalu sehat dan bahagia. Tanpa harus terjebak ke dalam kubangan hedonisme. Pandangan ini saya kira jauh lebih realistis dan tidak otopis.

000

Dalam gerak dan perbuatan yang bermakna terkandung harapan. Saya jadi ingat ucapan pakar psikologi sosial Erich Fromm. Dalam bukunya Revolusi Harapan ia mengatakan, harapan merupakan potensi manusia sekaligus unsur intrinsik dalam struktur kehidupan yang berelasi dengan peradaban.

Harapan bersifat fleksibel dalam menciptakan perubahan sosial ke arah sifat hidup, kesadaran diri dan akal yang lebih besar. Ditekankan, harapan bersifat aktif. Tidak menunggu. Untuk mencapai harapan, manusia harus memiliki keimanan (kepercayaan, keyakinan atas nilai ideal yang belum terbukti). Selain itu juga dibutuhkan  ketabahan, yaitu kepastian sikap untuk menolak godaan yang menodai harapan dan keyakinan.

000

Kita bisa menyerap pandangan ideal dari banyak teori. Namun, hidup tak semudah teori. Hidup itu sangat Kompleks. Rumit. Bahkan kadang absurd.  

Banyak hal tak terduga muncul, mengepung dan menekan kita. Karena itu,  dibutuhkan kesadaran “aku yang sejati”, “aku yang otentik” dan  termanifestasi di dalam kedaulatan diri.  Di situ, karakter  menentukan eksistensi, posisi dan nasib kita baik secara personal maupun sosial.

Bagi pencari nilai-nilai kebenaran, tidak ada jalan pulang ke zona nyaman. Ia selalu ditantang untuk menciptakan peta jalan baru, jalan perubahan demi melakukan penebusan atas “surga yang telah hilang”. Terutama “surga” bagi mereka yang selama ini termarjinalisasi dan  terdiskriminasi baik secara politik, ekonomi,  sosial, kultural maupun struktural. ***

Berita Terkait