Refleksi Usia 64 Tahun: Revolusi Harapan Menuju Aku yang Sejati
- Penulis : Krista Riyanto
- Selasa, 20 Agustus 2024 06:28 WIB
Oleh karena itu, kehendak mesti dikendalikan. Mengendalikan kehendak adalah dengan hidup asketis. Yaitu, hidup dengan menghindari kemewahan dan mengebiri diri dari kehidupan dunia yang dianggap sebagai sumber kebekuan atau kemandekan.
Pandangan Schopenhauer di atas mungkin terlalu ekstrem dan radikal dan sangat khas Barat. Perlu ada imbangan falsafah lain, sebut saja dari budaya Jawa. Misalnya ajaran moral yang mengatakan bahwa di dalam kehendak atau karep ada geni atau api yang memancarkan daya hidup positif.
Dengan api, manusia membuka ruang-ruang kemungkinan untuk menemukan nilai-nilai dan pelbagai pencapaian. Termasuk materi, kebahagiaan dan kesenangan yang terukur. Asketisme tidak harus menyiksa jiwa dan tubuh.
Baca Juga: Isti Nugroho: Hidup yang Filosofis
Tubuh harus dicintai dan dirawat agar selalu sehat dan bahagia. Tanpa harus terjebak ke dalam kubangan hedonisme. Pandangan ini saya kira jauh lebih realistis dan tidak otopis.
000
Dalam gerak dan perbuatan yang bermakna terkandung harapan. Saya jadi ingat ucapan pakar psikologi sosial Erich Fromm. Dalam bukunya Revolusi Harapan ia mengatakan, harapan merupakan potensi manusia sekaligus unsur intrinsik dalam struktur kehidupan yang berelasi dengan peradaban.
Baca Juga: Isti Nugroho: Capres, Kisah Mahabharata dan Perselingkuhan
Harapan bersifat fleksibel dalam menciptakan perubahan sosial ke arah sifat hidup, kesadaran diri dan akal yang lebih besar. Ditekankan, harapan bersifat aktif. Tidak menunggu. Untuk mencapai harapan, manusia harus memiliki keimanan (kepercayaan, keyakinan atas nilai ideal yang belum terbukti). Selain itu juga dibutuhkan ketabahan, yaitu kepastian sikap untuk menolak godaan yang menodai harapan dan keyakinan.
000
Kita bisa menyerap pandangan ideal dari banyak teori. Namun, hidup tak semudah teori. Hidup itu sangat Kompleks. Rumit. Bahkan kadang absurd.
Baca Juga: Isti Nugroho: Politik Buto Terong
Banyak hal tak terduga muncul, mengepung dan menekan kita. Karena itu, dibutuhkan kesadaran “aku yang sejati”, “aku yang otentik” dan termanifestasi di dalam kedaulatan diri. Di situ, karakter menentukan eksistensi, posisi dan nasib kita baik secara personal maupun sosial.