Refleksi Usia 64 Tahun: Revolusi Harapan Menuju Aku yang Sejati
- Penulis : Krista Riyanto
- Selasa, 20 Agustus 2024 06:28 WIB
Wayang kulit bagi priyayi Jawa, bukan sekadar kesenian, melainkan yang utama adalah sumber nilai dan ajaran moral tentang keutamaan hidup.
Menurut budayawan Umar Kayam, melalui pergelaran wayang kulit, orang melakukan konfirmasi sekaligus pengukuhan nilai yang diyakini. Selain itu juga pernyataan diri sebagai solidarity maker (perekat persaudaraan sosial).
Saya pun kalau punya dana cukup, juga ingin nanggap wayang. Tapi hal itu tidak mungkin karena alasan dana atau logistik. Dan saya sangat bangga, merasa terhormat dan bahagia karena ulang tahun saya dirayakan oleh Bung Denny JA dan kawan-kawan. Apresiasi yang setinggi-tingginya untuk Bung Dennya JA.
Baca Juga: Isti Nugroho: Hidup yang Filosofis
000
Apa maknanya ulang tahun ke-64 bagi saya?
Pada momentum penting ini, saya meneguhkan diri sebagai aktivis demokrasi dan seniman, yang insya Allah, selalu konsisten.
Baca Juga: Isti Nugroho: Capres, Kisah Mahabharata dan Perselingkuhan
Bagi saya, menjadi aktivis demokrasi dan seniman adalah jalan sunyi. Jauh dari pusat kekuasaan dan segala kemudahan. Juga sorot kamera dan tepuk tangan. Rendra bilang, “hidup di angin” dan hadir serta selalu mengalir sebagai bagian roh masyarakat.
Momentum 64 tahun bagi saya, adalah kesempatan untuk lebih mengembangkan roh (jiwa, pikiran, daya hidup, kreativitas dll) daripada membesarkan tubuh (jasmani). Ini tidak mudah.
Mengembangkan roh berarti menempuh asketisme atau mesu budi (istilah sejarawan Sartono Kartodirdjo). Yaitu kemampuan mengerahkan seluruh potensi kejiwaan di dalam diri Dalam konteks ini kita punya banyak teladan seperti Bung Hatta, Soetan Sjahrir, Chairil Anwar sampai Mochtar Lubis, Rendra dan lainnya. Mereka selalu konsisten menggenggam idealismenya. Bahkan sampai mati.
Baca Juga: Isti Nugroho: Politik Buto Terong
Terus bergerak dan terus berbuat adalah kunci hidup saya. Dalam gerak selalu ada hasrat, ada kehendak untuk mencapai tujuan. Namun filsuf Arthur Schopenhauer (1788-1860) mengingatkan bahwa biang keladi penderitaan ialah kehendak/will. Kehendak adalah hasrat berlebih, kemauan yang baka, buruk, hina, dan seterusnya.