Pusi Esai, Ketidakadilan Sosial, Kultur Pop, dan Ibu Kota Baru
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Senin, 12 Desember 2022 09:34 WIB
Oleh Jamal D. Rahman*
ORBITINDONESIA - Puisi esai pada hakekatnya adalah percobaan seorang ilmuwan sosial. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika kepedulian utama Denny JA sang penggagasnya adalah urusan sosial.
Kumpulan puisi esainya yang pertama, yakni Atas Nama Cinta, berisi 5 puisi esai yang kesemuanya mengangkat tema sosial. Kelima tema sosial dalam puisi esainya dapat dirumuskan dalam satu tema utama, yaitu perlawanan terhadap diskriminasi, atau anti diskriminasi.
Selain menulis puisi esai bertemakan anti diskriminasi, Denny JA juga melakukan sejumlah kegiatan dalam menyuarakan anti diskriminasi tersebut.
Baca Juga: Konflik di Maluku 1999/2002 dalam Puisi Esai Denny JA, BIARLAH REBANA DAN TOTOBUANG KEMBALI BERSANDING
Karena Denny JA dedengkot Lembaga Survey, maka tidak mengherankan kalau ia melakukan survey mengenai puisi ketika dia mau terjun ke dunia penulisan puisi.
Hasil dari surveinya adalah sebuah kesimpulan yang memang pada dasarnya sudah lama menjadi tema dan keprihatinan masyarakat sastra, yaitu: sastra, lebih khusus lagi puisi, tidaklah memasyarakat.
Padahal, kehidupan sosial politik membutuhkan puisi, dan tidak selalu harus didominasi tabel dan angka. Untuk meminjam ungkapan Denny JA sendiri, saya kutipkan ucapannya:
“Mengapa ruang publik kita memerlukan lebih banyak puisi? Mengapa sebaiknya dalam kehidupan sosial tak hanya didominasi oleh kekuasaan politik dan tabel angka ekonomi, namun juga diwarnai oleh gairah, mimpi, dan keindahan puisi?”
Baca Juga: Konflik Sampit 2002, Dayak Melawan Madura dalam Puisi Esai Denny JA: Amarah Terpendam, Kesedihan yang Puitis
Namun apa daya, sejak seratus tahun ini puisi semakin tersingkir dari ruang publik. Ujar Gioia, puisi kini berhenti sebagai agen utama pengubah budaya. Ia hanya beredar di acara kesenian, dan di kalangan sesama penyair, serta peminat yang semakin kecil. Bahkan National Book Award di Amerika Serikat sejak tahun 1985 tak lagi punya kategori untuk buku puisi terbaik.
Dia juga kemudian menemukan majalah legendaris Poetry, A Magazine of Verse yang didirikan oleh Harriet Monroedi (1912) dan melihat bahwa salah satu penyebab majalah puisi tersebut bertahan sekian lama karena majalah tersebut terlibat aktif dalam aneka movement.
Dari majalah Poetry itu pula ia menemukan kritik tajam John Barr terhadap dunia puisi yang dia anggap semakin sulit dipahami publik, mengalami stagnasi, dan tak ada perubahan berarti selama puluhan tahun.
John Barr juga menengarai bahwa publik luas merasa semakin berjarak dengan dunia puisi. Para penyair asyik masyuk dengan imajinasinya sendiri, atau hanya merespon penyair lain. Mereka semakin terpisah dan tidak merespon persoalan yang dirasakan khalayak luas.
Baca Juga: Perkosaan Massal di Kerusuhan Mei 98 Jakarta dalam Puisi Esai Denny JA, DARI SEJARAH YANG DILUPAKAN
Pendeknya, “Poetry is nearly absent from public life, and poets too often write with only other poets in mind, failing to write for a greater public.”
Dengan semua itu, ia memunculkan ide penulisan puisi yang dia beri nama Puisi Esai. Rumusan mengenai apa dan bagaimana puisi esai tidak akan dibahas di sini. Cukup dengan membuka Jurnal Sajak Edisi 3, atau jika mau lebih lengkap, buku Puisi Esai: Kemungkinan Baru Puisi Indonesia suntingan Acep Zamzam Noor, maka segala sesuatunya akan relatif menjadi jelas.
Yang menarik di sini adalah motto yang disuarakan bersama gerakan puisi esai, yaitu “Yang bukan penyair boleh ambil bagian.” Motto ini tentu mengacu pada motto terkenal Chairil Anwar bahwa “Yang bukan penyair tidak ambil bagian”.
Dengan motto itu, puisi esai diharap dapat dijadikan upaya demokratisasi di bidang puisi.
Pernyataan Chairil Anwar bahwa “Yang bukan penyair tidak ambil bagian”, membuat dunia perpuisian dianggap sakral dan menulis puisi menjadi hak dan kewajiban penyair semata.
Bagaimanapun, Chairil Anwar yang dalam kredonya ingin menggali kata hingga ke inti dan tulang kata (kernwood) telah meletakan dasar bagi perpuisian Indonesia modern.
Amir Hamzah telah menjadi penyair pamungkas Indonesia-Melayu, dan Chairil Anwar membuka gerbang perpuisian Indonesia modern.
Setelah Chairil Anwar berturut-turut lahirnya para penyair liris Indonesia seperti Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar, Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, yang makin meneguhkan keangkeran perpuisian Indonesia.
Generasi yang datang kemudian harus menyusuri jalan yang tidak mudah untuk bisa muncul dalam khasanah angker perpuisian Indonesia hingga dunia perpuisian Indonesia dapat mengenal nama-nama seperti Afrizal Malna, Acep Zamzam Noor, Dorothea Rosa Herliani, Joko Pinurbo, dan lain-lain.
Sebagian besar penyair generasi kemudian berjuang keras untuk mendapat pengakuan sebagai penyair dengan dimuat di Majalah Sastra Horison, Jurnal Sajak, dan beberapa harian terkemuka di bidang sastra seperti Kompas, Republika, Pikiran Rakyat, Jawa Pos, dan/atau diundang membacakan puisi di TIM (Taman Ismail Marzuki), misalnya.
Para calon penyair di Malaysia, misalnya, saya kira juga menjalani perjuangan yang sama untuk dapat dimuat di Dewan Sastera apalagi dinobatkan sebagai Sastrawan Negara.
Di mata seorang aktivis sosial, banyak masalah-masalah sosial yang mendesak dan perlu disuarakan ke tengah publik. Ini semua tidak dapat menunggu para sastrawan umumnya, para penyair khususnya, untuk menulis karya yang menangani persoalan-persoalan sosial demikian.
Apalagi, sejak lahirnya Orde Baru perpuisian Indonesia, bahkan sastra secara umum, dianggap “tidak cukup peka” untuk bergelut dengan problem-problem sosial di masyarakat.
Anggapan ini, misalnya, pernah disuarakan dengan keras oleh Arif Budiman yang kemudian memancing Polemik Sastra Kontekstual.
Selepas Polemik Sastra Kontekstual, persoalan pemasyarakatan sastra tetap menjadi masalah pelik.
Beberapa upaya telah dilakukan secara sporadis untuk menangani masalah ini, diantaranya upaya yang dilakukan majalah Horison untuk membawa sastrawan ke sekolah-sekolah agar dapat bertemu dan diapresiasi siswa secara langsung.
Dalam pada itu, “keangkeran dunia puisi” masih terus berlangsung. Yang bukan penyair tidak ambil bagian. Namun, tak lama kemudian kita memasuki era sosial media. Dengan segera ribuan puisi bermunculan di media sosial seperti Facebook, WAG, blog, dan sebagainya. Setiap orang dapat memuatkan puisinya di facebooknya masing-masing, tanpa harus berjuang lolos seleksi redaktur media massa seperti di era cetak, apalagi media sastra.
Namun, ledakan besar puisi tanpa seleksi di media sosial tersebut tetap menyisakan rasa gamang pada para penulis puisi bersangkutan. Beberapa “like” dan komentar manis dari teman dekat mungkin sedikit menghibur, namun kiranya tidak mampu mengusir rasa gamang itu.
Masih tersisa pertanyaan, “Benarkah saya penyair?” Bagaimana cara membuktikannya? Siapa yang menjadi penentunya?
Ribuan puisi yang bermunculan di media sosial itu ditulis dalam perspektif “keangkeran puisi” tapi sudah kehilangan legitimasi sakralnya di masa silam.
Dalam pada itu, berbagai “problem sosial” dan “cerita menarik” bertebaran di seluruh Indonesia dan boleh jadi belum tersentuh. Orang-orang yang bersentuhan secara langsung dengan “cerita-cerita menarik” itu (guru relawan di perbatasan terluar Indonesia, sarjana perguruan tinggi ternama yang lulus cum laude tapi terpaksa menjadi sopir grab karena PHK, penata rias dan make up jenazah, masinis kereta api sejak zaman batu bara hingga KA cepat, mantan calon teroris yang insyaf, dan sebagainya) justru tidak punya “bahasa” bagi kisah-kisah mereka.
Ide puisi esai yang bermotto “Yang bukan penyair boleh ambil bagian”, sengaja atau tidak seperti memberi “bahasa” bagi mereka. Mereka dapat menuliskan pengalaman-pengalaman mereka yang menarik tanpa harus memasuki ritus kepenyairan yang angker.
Mereka dapat menulis puisi tentang pengalaman mereka dengan “tata laksana” yang jelas dan tidak rumit: ada cerita menarik, ada konflik sosial, ada diksi, majas dan rima ala kadarnya, dan terutama ada catatan kaki.
Dapat dipahami jika pada masa-masa awal gerakan puisi esai, para bukan penyairlah yang menuliskannya dan boleh dibilang hasilnya meski tidak luar biasa, jelas tidak mengecewakan.
Berikut adalah beberapa contohnya.
Manusia Gerobak
Atmo terus ayunkah langkah
Susuri Jakarta yang ramai
Hatinya remuk kalbunya gundah
Tiada tentram tiada damai
Sarung kumal membungkus jenazah
Tubuh mungil diam dan pasrah
Ditutup rapi, diselempangkan menyilang
Di depan dadanya yang datar kerontang
Lengan satunya mengapit jemari mungil
Anak lelakinya yang berbaju lusuh
Tertatih mengejar dengan langkah kecil
Mengiringi bapaknya tanpa mengaduh
Sufi Jadi Menteri
Abu Dzar menyukai lukisan itu
Langitnya memantulkan permukaan bumi
Tapi semua kosong kecuali bayang-bayang
Dan penggembala itu membiarkan
Domba-dombanya bebas berlarian
Di padang rumput terbuka
Seperti rumah Abu Dzar yang selalu terbuka
Milik angin dan segala cuaca
Tidak ada barang berharga
Supaya ringan timbangan di pengadilan
Hari akhir yang baqa
Kuburlah Aku Hidup-hidup
Aku dan kursi roda ini bersaksi
betapa susahnya mempertahankan harap
di tengah keputusharapan kami
kami bahkan tak tahu lagi
berapa cerita bohong, berapa informasi palsu
yang harus kami buat
untuk para ibu dan anak-anak
agar tetap menikmati nafas-nafas kami
denyut nadi yang terberi kepada kami
tak mungkin kami tega
membagi hilangnya harap
pada mereka
Aku tak tahu lagi
apakah Tuhan seru sekalian alam
di pihak kami
atau di pihak mereka
para pembakar dengan teriakan Allahuakbar itu
yang aku tahu pasti
kami menyembahNya
mengagungkanNya
mungkin juga para pembakar itu
Cukuplah tiga petikan puisi esai tersebut menjadi sekadar contoh bagi puisi esai yang ditulis pada masa awal, yakni tak lama setelah Denny JA menerbitkan kumpulan puisi esainya Atas Nama Cinta.
Dari ketiga petikan tersebut kita mendapat panorama bahwa apa yang mereka tulis bukan tema yang lazim dalam puisi Indonesia: manusia yang tinggal di gerobak bersama keluarganya sambil membawa-bawa jenazah anaknya kemana-mana, kehidupan seorang menteri, dan kaum Ahmadi yang dipersekusi.
Maka, ketika Lomba Menulis Puisi Esai diadakan, hasilnyapun banyak yang diluar dugaan, baik dilihat dari segi mutu maupun muatan isi dan ceritanya.
Siapa menyangka bahwa kasus Sengkon-Karta yang sudah dilupakan dan tertimbun dalam arsip puluhan tahun lalu bisa muncul kembali ke tengah kita dan dengan cara yang menarik.
Siapa yang menyangka bahwa kasus mafia pajak yang sedang ramai di koran dan tv dapat diangkat menjadi puisi esai yang bukan sekadar replika dari berita.
Siapa pula yang akan menyangka bahwa sepotong peristiwa sejarah dari sebuah sudut di Jawa masa silam bisa muncul ke tengah pembaca?
Berikut beberapa petikan dari puisi esai juara Lomba Menulis Puisi Esai yang pertama.
Mata Luka Sengkon Karta
Peri Sandi Huizhce
Serupa Maskumambang,
pupuh mengantarkan wejangan hidup
kecapi dalam suara sunyi menyendiri
Pupuh dan kecapi membalut nyeri
menyatu dalam suara genting
terluka, melukai, luka-luka
menganga akibat ulah manusia
akulah sengkon yang sakit
berusaha mengenang setiap luka
di dada
di punggung
di kaki
di batuk
yang berlapis tuberkulosis
bagai pohon yang meranggas
daun-daun jatuh tertiup angin
pohon tua digerogoti rayap
tuhan tak datang di kehidupannya
malaikat pencatat kebaikan
kemana kau ngeloyornya?
Interegenum
Beni Setia
ada kabar berhembus,
seperti bangkai kadal dalam semak,
menguar oleh silir angin lewat
dari hamparan sawah terlantar
sesekali, daun, ranting, serta buah jatuh di
hulu, si menghilir itu bagaikan mengincar
rerongga mulut. sama persis dengan apa
yang dikatakan ayahnya, “akan ada rejeki!”
detik jadi menit. siang menjelma petang
sedang malam menggenapkan hari, lalu
berubah jadi bulan sehingga hitungan bulat
menjejak pada besaran: hari keempat puluh
saat terjaga setengah terlelap dan terlelap
dalam sekuatnya bersijaga, berada antara
tertidur dan bermimpi: seorang lelaki tua
dengan janggut serta rambut putih datang
kini tertinggal hanya arak-arakan bersih desa,
cuma pamong takut dilorot yang
tidak berkenan menyelenggarakan ritual
—tahun demi tahun semua mengendap jadi
Syair 1001 Indonesia
Saifur Rohman
Ada tikus mati
di depan rumah kami pagi tadi
Koruptor memamah biak tak mati-mati
Di negeri ini.
Kenalkan, Gayus panggilanku.
Gayus Halomoan Partahanan Tambunan,
demikian KTP-ku
Di Jakarta 9 Mei 1979 data kelahiranku
Seorang aparat negara jati diriku
Mengemban sumpah setia PNS Golongan IIIA
Menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945
Merahasiakan segala sesuatu
yang menurut sifatnya
Atau menurut perintah harus dirahasiakan
oleh saya.
Jabatan terhitung
mulai tahun 2001-2010 lamanya.
Tak kenal lelah di bagian perpajakan yang tenang.
Kantor memberiku banyak peluang
Kendati remunerasi sudah datang menjelang
segala tugas kutunaikan dengan dada lapang
Supaya semua senang dan pendapatanku
tidak berkurang.
Suatu ketika ada orang berdasi datang
Kusambut dengan senyuman
pada sebuah kursi panjang
Dia menawariku sejumlah uang.
Setelah Lomba Menulis Puisi Esai pertama, tahun berikutnya diadakan Lomba Menulis Puisi Esai yang kedua. Berikut petikan para puisi esai para pemenang lomba tersebut sebagai gambaran,
Konspirasi Suci
Burhan Shiddiq 31
Sering aku bertanya pada bangku-bangku gereja,
pada patung Bunda Maria,
pada patung-patung malaikat bersayap,
apa aku bahagia?
Apa hanya kepadanya aku mencinta?
Tapi semuanya tak memberikan jawaban.
Termasuk pada lelaki penebus dosa
yang tersalib di altar gereja,
Kenapa mencintaimu tidak mengundang cela,
bukankah kau juga seorang pria,
sementara mencintai pelayanmu adalah dosa.
Kenapa kau diam saja?
Apa kau bisu dan tuli? Apa Kau tak melihat
betapa cintaku padanya
telah membakar gereja dengan dosa?
Balada Cinta Upiak dan Togar
Rinduan Situmorang 57
Mereka tahu, mereka telah jatuh cinta
Tapi, haruskah melawan agama yang telah lama
mendef inisikan cinta?
Mereka adalah anak zaman,
tapi apakah mereka anak agama?
Mereka hidup dengan cinta, tapi apakah agama
mendewakan cinta?
Sejak itu, Togar mulai membatasi pilihan:
Batak Toba dan Kristen
Tapi siapa sangka,
semuanya menjadi tak terbayangkan
Dia tidak menyangka tanah sedang menari
kalau sedang bersama Upiak
Udara gemetar kalau Upiak menggandengnya
Bunga layu menjadi mekar,
malam menjadi cerah, semua karena Upiak
Hmmmm, Upiak juga santriwati tulen
Mendambakan jejaka menjadi imam
Tapi Upiak tahu, dia tidak bisa
memaksa Togar menjadi imam agamanya
Tapi Upiak sadar
Togar akan menjadi imam hatinya
Cerita Duka dari “Negeri Keratuan Darah Putih”
Isbedy Stiawan ZS
lantas siapa salah jika kini orang-orang berontak
kembali mempertanyakan adat dan budaya
setelah Indonesia merdeka, Soeharto tiada?
“ada yang abai ketika transmigrasi dilaksanakan,
mereka tak dikenalkan ihwal budaya
di tanah yang dituju
kecuali dibontoti cangkul dan parang,
seakan mengajarkan arti perang.”
maka ketika pintu reformasi dibuka lebar
orang-orang pun lupa pada akar
bahwa kita adalah satu, tumbuh dari
pohon bernama Indonesia
tak kuasa lagi menandai tahilalat
yang sejak kanak-kanak kita kenal
walaupun malam tiada bulan
bermain gobak-sodor di tanah lapang
Puluhan puisi esai dengan tema-tema yang belum pernah disentuh dalam perpuisian Indonesia, termasuk yang belakangan adalah 5 puisi esai yang mengangkat persoalan tempatan dari setiap provinsi di Indonesia.
Hal ini masih ditambah dengan karya-karya puisi esai dari Malaysia. Bahkan, Denny JA sendiri yang memulai puisi esai mengenai korban diskriminasi sosial, belakangan merambah pula ke tema-tema sufikstik sebagaimana terlihat pada buku puisi esainya Jiwa yang Berdzikir.
Dia yang awam, yang tak paham
Dilihatnya langit sebagai langit
Dia yang resah, tak henti mencari
Dilihatnya langit tak lagi langit
Dia yang mencari dan menemukan
Baginya langitpun kembali langit.
Darta terdiam, Darta termangu
Jauh sudah ia berkelana.
Telah ia lezatkan lara dan sendu
Telah ia selami dalamnya makna
Kini ia kembali ke titik mula.
Dari sini, platform puisi esai terbukti menyerap tema yang luas mulai dari tema-tema standard yang lazim dalam perpuisian Indonesia sampai tema-tema unik dan tak terduga.
Setelah kurang lebih sepuluh tahun, gerakan puisi esai seperti telah menjadi gerakan pop culture belakangan ini.
Sebagai pop culture, ia dengan mudah diterima dan diapresiasi oleh generasi milenial sebagaimana terlihat dari lomba vlog review puisi esai di kalangan remaja.
Dengan tidak banyak hambatan, para siswa SMP maupun SMA dapat mengapresiasi dan bahkan membuat review yang sebagian besarnya otentik dan menarik.
Di Indonesia, puisi esai tidak mulus diterima. Ia berhadapan dan dianggap mengganggu keangkeran dan kesucian puisi. Namun, ternyata ia dengan mudah dapat diterima di Malaysia yang menerima puisi esai apa adanya tanpa stigma dan prasangka.
Sebagai pop culture, puisi esai memang memiliki peluang untuk menyebar ke mancanegara. Para penulis puisi esai bagaimanapun dapat dengan nyaman memuatkan puisi esai mereka ke media sosial tanpa dihinggapi kegamangan, karena mereka menulis puisi esai bukan dari perspektif keangkeran puisi.
Mereka dengan nyaman merasa berhak menulis puisi esai karena memang yang bukan penyair boleh ambil bagian. Dengan menulis puisi esai, apakah akan diposting di media sosial atau diterbitkan sebagai buku, tidak ada pertanyaan krusial—misalnya, pertanyaan “Apakah saya seorang penyair?”—yang harus dijawab.
Ibarat film, puisi esai tidak diniatkan untuk mendapat pengakuan dan nominasi di Cannes Film Festival yang angker itu, misalnya. Puisi esai kelihatannya lebih suka ditayangkan di Netflix sebagai drama seri, semacam drama Korea Selatan yang diminati dan dinikmati publik, dibanding mendapat penilaian tinggi dalam event-event festival film,
Apakah mutu film jebolan Cannes Film Festival lebih bagus dari film-film tayangan Netflix, tentu hal tersebut dapat diperdebatkan.
Yang ingin digarisbawahi di sini adalah soal perasaan angker dan tidak angker. Membuat film dengan tujuan memenangi penghargaan Cannes Film Festival, misalnya, akan sangat berbeda dengan membuat film untuk ditayangkan di Netflix.
Yang pertama, akan berhadapan dengan aura angker nan suci dalam semangat seni dengan “S” besar, sementara yang kedua akan rileks atas nilai seninya (meski mungkin kurang rileks terhadap nilai komersialnya).
Kini, bisa dikatakan bahwa Malauysia—tepatnya Kinabalu—telah menjadi tuan ruman puisi esai. Festival Puisi Esai pertama dengan prakarsa sepenuhnya dari Tuan Rumah, tentu berkat upaya keras
Datuk Jasni Matlani Sang Presiden Komunitas Puisi Esai ASEAN, telah meneguhkan posisi ketuanrumahan Kinabalu atas puisi esai.
Meskipun puisi esai lahir di Jakarta, kelihatannya ia akan hijrah dan menjadikan Malaysia—tepatnya Kinabalu—sebagai ibu kotanya.
Besar kemungkinan puisi esai akan berkembang ke manca negara justru dari Kinabalu.
Memancanegarakan puisi esai bukanlah sesuatu yang tidak berpeluang.
Peluangnya justru cukup besar, mengingat yang bukan penyair boleh ambil bagian. Bagaimanapun, banyak kalangan profesional yang memiliki cerita mereka sendiri yang khas dan unik namun tidak memiliki “bahasa” untuk menyuarakannya.
Dengan puisi esai, dari Menteri Besar sampai juru masak rumah makan India, pada dasarnya dapat menyampaikan pengalaman, pengamatan—pendeknya cerita mereka—lewat puisi esai.
Apalagi puisi esai dalam dirinya sangat kompatibel untuk dialihwahanakan ke berbagai media berbeda mulai dari komik sampai film, mulai dari content blog sampai tiktok.
Jika benar puisi esai akan merantau dan kemungkinan besar bermukim di Malaysia, maka puisi esai-puisi esai itu ketika pulang ke Indonesia mungkin saja akan menyanyikan lagu lawas berikut ini:
Aku pulang dari rantau
Bertahun-tahun di negri orang, oh Malaysia
Oh di mana kawan dulu
Kawan dulu yang sama berjuang, oh Malaysia
Kekasih hatipun telah pula hilang
Hilang tiada pesan
Aduhai nasib, apakah daya
Cinta hamba jiwaku merana, mana dinda
Inilah kisahku semalam di Malaysia
Diri t'rasa sunyi
Aduhai nasib, apakah daya
Aku hanya seorang pengembara yang hina
Aku pulang dari rantau
Bertahun-tahun di negeri orang
Oh Malaysia
Kelak puisi esai akan pulang ke Indonesia dengan membawa cerita perantauannya. Tapi, berbeda dengan lirik lagu indah sendu tersebut, puisi esai tidak akan merasa sunyi dan ditinggalkan sendiri di Indonesia.
Meski pada masa awal penolakan atasnya lumayan keras, kini terbukti bahwa peminatnya di Indonesia kian hari kian membesar pula. Meski begitu, kiranya Kinabalu akan tetap menjadi ibu kotanya. Wallahu Alam. ***
* Jamal D. Rahman adalah Sastrawan dan Kritikus Sastra