Pusi Esai, Ketidakadilan Sosial, Kultur Pop, dan Ibu Kota Baru
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Senin, 12 Desember 2022 09:34 WIB
Pernyataan Chairil Anwar bahwa “Yang bukan penyair tidak ambil bagian”, membuat dunia perpuisian dianggap sakral dan menulis puisi menjadi hak dan kewajiban penyair semata.
Bagaimanapun, Chairil Anwar yang dalam kredonya ingin menggali kata hingga ke inti dan tulang kata (kernwood) telah meletakan dasar bagi perpuisian Indonesia modern.
Amir Hamzah telah menjadi penyair pamungkas Indonesia-Melayu, dan Chairil Anwar membuka gerbang perpuisian Indonesia modern.
Setelah Chairil Anwar berturut-turut lahirnya para penyair liris Indonesia seperti Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar, Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, yang makin meneguhkan keangkeran perpuisian Indonesia.
Generasi yang datang kemudian harus menyusuri jalan yang tidak mudah untuk bisa muncul dalam khasanah angker perpuisian Indonesia hingga dunia perpuisian Indonesia dapat mengenal nama-nama seperti Afrizal Malna, Acep Zamzam Noor, Dorothea Rosa Herliani, Joko Pinurbo, dan lain-lain.
Sebagian besar penyair generasi kemudian berjuang keras untuk mendapat pengakuan sebagai penyair dengan dimuat di Majalah Sastra Horison, Jurnal Sajak, dan beberapa harian terkemuka di bidang sastra seperti Kompas, Republika, Pikiran Rakyat, Jawa Pos, dan/atau diundang membacakan puisi di TIM (Taman Ismail Marzuki), misalnya.
Para calon penyair di Malaysia, misalnya, saya kira juga menjalani perjuangan yang sama untuk dapat dimuat di Dewan Sastera apalagi dinobatkan sebagai Sastrawan Negara.
Di mata seorang aktivis sosial, banyak masalah-masalah sosial yang mendesak dan perlu disuarakan ke tengah publik. Ini semua tidak dapat menunggu para sastrawan umumnya, para penyair khususnya, untuk menulis karya yang menangani persoalan-persoalan sosial demikian.
Apalagi, sejak lahirnya Orde Baru perpuisian Indonesia, bahkan sastra secara umum, dianggap “tidak cukup peka” untuk bergelut dengan problem-problem sosial di masyarakat.
Anggapan ini, misalnya, pernah disuarakan dengan keras oleh Arif Budiman yang kemudian memancing Polemik Sastra Kontekstual.