Pusi Esai, Ketidakadilan Sosial, Kultur Pop, dan Ibu Kota Baru
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Senin, 12 Desember 2022 09:34 WIB
Selepas Polemik Sastra Kontekstual, persoalan pemasyarakatan sastra tetap menjadi masalah pelik.
Beberapa upaya telah dilakukan secara sporadis untuk menangani masalah ini, diantaranya upaya yang dilakukan majalah Horison untuk membawa sastrawan ke sekolah-sekolah agar dapat bertemu dan diapresiasi siswa secara langsung.
Dalam pada itu, “keangkeran dunia puisi” masih terus berlangsung. Yang bukan penyair tidak ambil bagian. Namun, tak lama kemudian kita memasuki era sosial media. Dengan segera ribuan puisi bermunculan di media sosial seperti Facebook, WAG, blog, dan sebagainya. Setiap orang dapat memuatkan puisinya di facebooknya masing-masing, tanpa harus berjuang lolos seleksi redaktur media massa seperti di era cetak, apalagi media sastra.
Namun, ledakan besar puisi tanpa seleksi di media sosial tersebut tetap menyisakan rasa gamang pada para penulis puisi bersangkutan. Beberapa “like” dan komentar manis dari teman dekat mungkin sedikit menghibur, namun kiranya tidak mampu mengusir rasa gamang itu.
Masih tersisa pertanyaan, “Benarkah saya penyair?” Bagaimana cara membuktikannya? Siapa yang menjadi penentunya?
Ribuan puisi yang bermunculan di media sosial itu ditulis dalam perspektif “keangkeran puisi” tapi sudah kehilangan legitimasi sakralnya di masa silam.
Dalam pada itu, berbagai “problem sosial” dan “cerita menarik” bertebaran di seluruh Indonesia dan boleh jadi belum tersentuh. Orang-orang yang bersentuhan secara langsung dengan “cerita-cerita menarik” itu (guru relawan di perbatasan terluar Indonesia, sarjana perguruan tinggi ternama yang lulus cum laude tapi terpaksa menjadi sopir grab karena PHK, penata rias dan make up jenazah, masinis kereta api sejak zaman batu bara hingga KA cepat, mantan calon teroris yang insyaf, dan sebagainya) justru tidak punya “bahasa” bagi kisah-kisah mereka.
Ide puisi esai yang bermotto “Yang bukan penyair boleh ambil bagian”, sengaja atau tidak seperti memberi “bahasa” bagi mereka. Mereka dapat menuliskan pengalaman-pengalaman mereka yang menarik tanpa harus memasuki ritus kepenyairan yang angker.
Mereka dapat menulis puisi tentang pengalaman mereka dengan “tata laksana” yang jelas dan tidak rumit: ada cerita menarik, ada konflik sosial, ada diksi, majas dan rima ala kadarnya, dan terutama ada catatan kaki.
Dapat dipahami jika pada masa-masa awal gerakan puisi esai, para bukan penyairlah yang menuliskannya dan boleh dibilang hasilnya meski tidak luar biasa, jelas tidak mengecewakan.