DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Konflik Sampit 2002, Dayak Melawan Madura dalam Puisi Esai Denny JA: Amarah Terpendam, Kesedihan yang Puitis

image
Irene Hiraswari Gayatri Membuat Komentar Positif tentang Puisi Esai Denny JA.

Salah satu aspek yang menonjol adalah fokus narasi pada tragedi kemanusiaan. Hal ini tertuang lewat interpretasi DJA terhadap ’suara’ lakon-lakon dalam puisi pada berbagai spektrum dinamika ketika konflik maupun dalam situasi pascakonflik yang masih menyisakan trauma.

Salah satu puisi yang memberikan impresi kuat karena penuturan jejak dari kaca mata lakonnya adalah narasi konflik etnis di Sampit.

Saya membaca puisi tentang konflik etnis Di Sampit dengan rasa penuh kecamuk. Ketika peristiwa-peristiwa horor itu berlangsung saya adalah anak rantau di ibukota yang baru saja bekerja sebagai peneliti di LIPI.

Sub bab tentang Sampit diawali dengan ikon foto tugu Perdamaian Sampit. Sub bab berjudul Kerusuhan Sampit 2001, Suku Dayak Versus Suku Madura (halaman 62-99), bermuatan lima puisi esai.

Judul puisi esainya: “ Mengungsilah Dulu, Sayangku”, “Ayahku Menggali Kuburan Massal”, “Kakakku Berburu Kepala”,“Jika Kau Rindu, Pandanglah Bintang Paling Terang”, dan “Ulfah Mencari Ayah Kandung”.

Dalam kelima puisi tersebut Denny JA cukup detail mengalihbahasakan rasa sedih, marah, dan kekerasan yang berlangsung. DJA seolah adalah saksi langsung dan tidak langsung yang menyampaikan sudut pandang ‘kesaksian’ dari peristiwa-peristiwa tersebut.

Sebagai contoh, DJA menuangkan episode akibat konflik dari sudut pandang korban yang harus pergi dua kali dari Sampit, dalam konteks sesudah ‘perdamaian’ antara etnis Madura dan Dayak berlangsung.

Puisi berikut ini menurut saya sangat subtil menceritakan rasa rindu, sedih, sesak, dendam, marah, asa, tak berdaya yang sangat mendalam dari dua lakonnya: Jazil, pemuda asal Madura, dan Sanja, perempuan Dayak.

“Mengungsilah Dulu, Sayangku” (hal. 62).

Rasa yang ngilu,

Halaman:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Berita Terkait