Konflik Sampit 2002, Dayak Melawan Madura dalam Puisi Esai Denny JA: Amarah Terpendam, Kesedihan yang Puitis
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 10 Desember 2022 13:15 WIB
Hingga saat ini misalnya, eksploitasi sumber daya alam menyebabkan degradasi lingkungan yang signifikan dengan konsekuensi sosial yang merugikan.
-000-
Buku ini adalah artikulasi dari akumulasi pengalaman dan refleksi seorang aktivis, sastrawan, sekaligus akademisi.
Puisi adalah medium untuk memahami seluk beluk dari konflik kekerasan dan dampaknya. Selama 40 tahun berkarya, Denny JA telah menulis banyak karya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (28 buku fiksi, 15 karya nonfiksi, 13 film, 66 video animasi, 77 video opini (30 tentang ajaran Sufi + 18 video tentang Bekerja dari Rumah + 29 video tentang kemanusiaan), dan 83 buku berbahasa Indonesia (34 buku fiksi, 46 buku nonfiksi, 3 buku terkait).
Bagi saya buku “Jeritan Setelah Kebebasan” ini semacam ‘kotak Pandora’. Ketika membuka halaman pertama, untaian kata-kata akan menarik memori kita jauh ke dalam ‘masa lalu’ yang masih terasa dekat.
Mengapa? DJA menuangkan rentetan peristiwa yang memunculkan efek ‘virtual’. Narasi-narasi dalam puisi esai yang ditulisnya menampilkan potret realitas yang sedih, pilu, dan mencuplik sedikit asa.
Antara 1999 dan 2000, kekerasan sektarian menyebar di beberapa provinsi dari kawasan Barat hingga timur Indonesia, yang menyebabkan ribuan orang tewas dan ratusan ribu mengungsi.
Di Maluku misalnya, apa yang dimulai sebagai konflik lokal antara migran dan penduduk asli atas batas-batas administratif, berubah menjadi perang agama yang mengadu domba muslim melawan Kristen dan terus mempengaruhi hubungan komunal lebih dari satu dekade setelah pertempuran berhenti.
Dirangkai berdasarkan kronika peristiwa seputar Reformasi 1998, Denny JA menuangkan perasaan dan pemahamannya tentang peristiwa konflik dan dampaknya. Dia menulis puisi untuk menyampaikan suara-suara yang “hilang” ketika konflik kekerasan terjadi.
Keluarga dari pelaku kekerasan, suara saksi /korban tidak langsung konflik itu sendiri, suara aktor yang terlibat, suara keluarga pelaku kekerasan, bahkan, ‘suara’ dari peristiwa kekerasan itu sendiri.