Konflik Sampit 2002, Dayak Melawan Madura dalam Puisi Esai Denny JA: Amarah Terpendam, Kesedihan yang Puitis
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 10 Desember 2022 13:15 WIB
naik kapal yang dikawal TNI angkatan laut.
Di tengah laut, di malam itu, di perjalanan keluar dari Kalimantan, di geladak kapal, Jazil berteriak:
“Sanja, Sanja, tunggu aku. Segera aku kembali. Tunggu akuuuuuuuu.”
Tidak jelas sama sekali, kecuali bahwa perbedaan identitas etnis yang memaksa mereka berpisah, apa yang sebenarnya harus memisahkan mereka yang akan menuju pelaminan itu. Kekerasan adalah satu-satunya asal perpisahan.
Ayah Jazil meninggal setelah dibunuh dan dipancung kepalanya oleh salah satu warga suku Dayak, padahal keluarga mereka telah menjadi orang lokal sejak bermigrasi tahun 1930.
Bahkan Jazil pun mempunyai pacar dari suku Dayak. Cerita bahwa ada orang Dayak yang bersuamikan orang Madura tetapi tetap dipancung oleh suku Dayak pun tidak membuatnya surut.
Alhasil, hanya surat Sanjalah yang dapat menyuruh Jazil pergi keluar dari Sampit. Sanja telah mewujudkan rasa cintanya: menyelamatkan nyawa Jazil.
Namun, alangkah sedihnya, Jazil bisa kembali ke Sampit tahun 2015, tapi takdir belum mampu mempertemukan mereka seperti semula.
DJA telah menjadi saksi proses Reformasi pasca mundurnya Soeharto pada Mei 1998. Puisi yang ditulis di atas merefleksikan esensi kemanusiaan yang mendalam untuk memahami dampak menyeluruh dari konflik pada orang-orang yang berada di lokasi konflik.
Bahkan pada masa sesudah konflik berakhir. Trauma dan kenangan pahit masih membekas.