Sejarah Indonesia dan Dunia yang Berdenyut dalam Tujuh Puisi Esai Denny JA
- Penulis : Krista Riyanto
- Kamis, 03 Juli 2025 06:44 WIB

Oleh Penerbit CBI
ORBITINDONESIA.COM - Di suatu pagi yang muram di tahun 1944, di barak militer Jepang di Semarang. Seoraang gadis remaja bernama Lastri diseret paksa dari gubuk keluarganya.
Ia belum genap 17 tahun. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena ketakutan, tapi karena ia tahu: yang diambil bukan hanya raganya, melainkan masa depannya.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Israel Melawan Iran, Perang Strategis, Ideologis, Bahkan Spiritual
Ia dijadikan jugun ianfu—budak seks untuk tentara Jepang. Setiap malam, deru sepatu tentara adalah tanda dimulainya neraka.
Setiap pagi, ia mencuci darah dan air mata dengan air sumur yang tak lagi jernih. Namun bertahun-tahun kemudian, tak ada yang mencatat namanya. Tak ada tugu. Tak ada maaf.
Kisah Lastri bukan satu-satunya. Ratusan ribu perempuan Indonesia mengalami nasib serupa. Tapi sejarah resmi terlalu sunyi untuk mendengarnya.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Sejarah tak Menceritakan yang Sebenarnya
Lahirlah sebuah genre: puisi esai—sebuah bentuk sastra yang bukan hanya mencatat, tapi merasakan.
Denny JA, dalam tujuh bukunya, tak hanya menulis sejarah. Ia menyulamnya dengan empati, menyuarakan yang dibungkam, dan menjadikan puisi sebagai jembatan dari luka menuju cahaya.
-000-
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ujung Perang Israel Lawan Iran, Perang Tak Henti atau Solusi Dua Negara?
Denny JA baru saja (Juni 2025) meluncurkan buku puisi esainya “Yang Menggigil dalam Arus Sejarah.” Itu buku puisi esainya yang ketujuh merekam sejarah.
Jika enam buku puisi esainya terdahulu merekam sejarah Indonesia, yang terakhir ini, merekam sejarah dunia.
Tujuh buku puisi esai Denny JA ini menjadi Heptalogi serial sejarah.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Perbanyak Sastra di Ruang Publik
Tapi apa sebenarnya kekuatan sastra, atau puisi esai, dalam menulis sejarah?
1. Puisi Menyentuh yang Tak Terjangkau Data.
Angka tak pernah meneteskan air mata. Tapi puisi sanggup menampung ratap.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Prabowo Subianto Sangat Populer, Tapi Publik Mulai Cemas Tentang Ekonomi
Ia menjangkau wilayah batin yang tak bisa disentuh oleh kronik sejarah biasa—membuat sejarah bukan hanya dipahami, tapi dihayati.
2. Karena Sejarah Resmi Sering Melupakan Korban.
Pemenang menulis sejarah, tapi puisi esai menulis yang terluka. Ia memberi ruang bagi para nyai, eksil, jugun ianfu, anak tanpa ayah, dan ibu tanpa makam.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Dilema Batin Petugas Perbatasan dan Luka Sosial Lainnya
Ia menyeimbangkan suara sejarah agar lebih jujur.
3. Karena Sastra Adalah Perlawanan Terhalus.
Di dunia yang sibuk bergegas, puisi memaksa kita berhenti. Ia merenung, menggugat, lalu menyalakan harapan.
Dalam puisi esai, peristiwa sejarah menjadi pengalaman batin, bukan sekadar informasi.
Tentu saja sastra, juga puisi esai bukan paper akademik. Sastra sering mengorbankan akurasi demi dramatisasi dan emosi, sehingga rentan bias atau anakronisme.
Tidak selalu mencantumkan sumber, membuat validitas sejarah sulit diverifikasi.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Merekam Sejarah yang Luka Dalam Sastra
Berbeda dengan paper akademik yang menuntut metodologi ketat, bukti kuat, dan objektivitas tinggi untuk menjaga keabsahan narasi sejarah.
Tapi sastra, apalagi puisi esai, menangkap emosi, konteks manusiawi, dan nuansa zaman yang kerap luput dari akademik.
Ia menghidupkan sejarah, membuatnya lebih menyentuh, imajinatif, dan mudah diresapi pembaca awam.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Minyak dan Takhta Zaman, Ketika Dunia Digerakkan Oleh Hitamnya Energi
-000-
Berikut tujuh buku puisi esai yang ditulis Denny JA, merekam sejarah Indonesia, sejak era pra kemerdekaan hingga pasca- reformasi. Juga sejarah dunia, mulai dari revolusi Perancis, Revolusi Rusia, hingga perang Vietnam.
1. Atas Nama Cinta (2012)
Baca Juga: Catatan Denny JA: Einstein Mengenakan Batik dan Kisah Salvador Dali
Buku ini mengangkat lima kisah cinta yang luka bukan karena ketidaksetiaan, tetapi karena diskriminasi.
Dari seorang Tionghoa yang cintanya dibakar oleh kerusuhan rasial, hingga sepasang kekasih seiman tapi beda tafsir, yang akhirnya dipisah paksa oleh dogma keluarga.
Ada juga TKW yang cintanya dikoyak oleh kekerasan rumah tangga di negeri orang, dan cinta sesama jenis yang harus bersembunyi di balik dinding masjid dan tekanan sosial.
Semua kisahnya terjadi di Indonesia kontemporer—di era ketika konstitusi menjanjikan kebebasan, tapi masyarakat masih memelihara luka-luka purba.
Gagasan utama buku ini sederhana namun dalam: bahwa cinta sejati seringkali kalah oleh prasangka. Dan diskriminasi bukan hanya soal kebijakan, tapi luka batin yang menggerogoti peradaban.
Dengan format puisi esai, Denny JA berhasil menciptakan sastra yang membela. Ia bukan hanya menulis puisi, tapi juga menulis ulang naskah kemanusiaan yang terpinggirkan.
Buku ini adalah alarm nurani: bahwa di balik kata cinta, masih banyak luka yang belum sempat sembuh.
Link bukunya bisa diakses:
https://drive.google.com/file/d/1RpTzplKEbQ_y_7hdrOdML6tiDhU6QZ7r/view?usp=sharing
-000-
2. Kutunggu di Setiap Kamisan (2018)
Buku ini kisah tentang mereka yang terus menunggu—dalam diam, dalam doa, dalam bayang-bayang Istana.
Terinspirasi dari Aksi Kamisan yang dilakukan para keluarga korban pelanggaran HAM berat, buku ini menyoroti seorang tokoh fiktif bernama Lina, istri aktivis yang hilang sejak Mei 1998.
Selama lebih dari 400 Kamis, Lina datang mengenakan pakaian serba hitam dan syal kuning, berdiri di depan Istana tanpa spanduk dan orasi.
Ia tak berteriak, tapi tubuhnya bercerita: tentang cinta yang tak mau dilupakan, dan luka yang tak bisa dikubur.
Melalui puisi esai, Denny JA merajut kisah ratusan keluarga yang kehilangan: dari penghilangan paksa, trauma Tragedi 1965, hingga represi yang diwariskan antargenerasi. Buku ini bukan sekadar dokumentasi.
Ia adalah perlawanan dari yang tak bisa bersuara.
Gagasan utamanya menunggu pun bisa menjadi revolusi. Dalam keheningan itu, terkandung seruan: keadilan tak boleh dibiarkan menjadi fosil sejarah.
Link bukunya bisa diakses:
https://drive.google.com/file/d/1NnNQIkUg8OB9fDjpWEfIvXY6M2A0imdX/view?usp=sharing
-000-
3. Jeritan Setelah Kebebasan (2015)
Buku ini kumpulan 25 puisi esai yang merekam lima konflik primordial paling menyayat pasca-reformasi.
Di Maluku (1999–2002), agama berubah menjadi senjata: Laskar Kristus dan Laskar Jihad saling membantai, hingga anak-anak pun turut berperang.
Di Sampit (2001), etnis Madura diburu dan dipenggal, cinta kandas, dan pelaku pembantaian dihantui rasa bersalah seumur hidup.
Di Jakarta (1998), kerusuhan rasial membakar ribuan toko milik Tionghoa, memperkosa, dan membunuh di tengah euforia Reformasi.
Di Mataram (2006–2022), ratusan warga Ahmadiyah terusir dari tanah kelahiran sendiri, hidup mengungsi tanpa hak dasar.
Dan di Lampung (2012), benturan kecil antar pemuda berubah jadi perang suku Bali vs Lampung, memisahkan cinta dan membunuh harapan.
Lewat puisi esai, Denny JA menghidupkan sejarah dari sisi korban. Bukan data yang bicara, tapi air mata, kehilangan, dan sunyi yang menjerit.
Buku ini menggugat: mengapa setelah Reformasi, korban masih harus mengungsi, diam, dan dilupakan?
Ia menyadarkan kita bahwa tanpa empati dan pemulihan, kebebasan hanyalah tirai ilusi di panggung luka yang tak kunjung reda.
Link bukunya bisa diakses:
https://drive.google.com/file/d/1xGrTptdlDqlUN3STvwIcoYyc_sNv_Vtn/view?usp=sharing
-000-
4. Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (2024)
Kemerdekaan 1945 adalah nyala yang menggetarkan. Tapi di balik gemuruh proklamasi, ada mereka yang dilupakan sejarah: para jugun ianfu, romusha, nyai, dan anak-anak tanpa ayah yang dilahirkan dari hubungan paksa kolonial.
Buku ini mengangkat 15 puisi esai dari sudut pandang korban-korban tak bersuara di masa kemerdekaan.
Ada Lastri, perempuan remaja yang dijadikan budak seks tentara Jepang; Samin, pekerja paksa yang mati di jalur Anyer–Panarukan; dan ibu dari Ciawi yang mencari anaknya yang dibuang karena berdarah Belanda.
Denny JA menulis bukan dengan tinta sejarah resmi, tapi dengan air mata para penyintas. Ia menghadirkan kemerdekaan dari sisi yang jarang dilihat: bahwa tak semua orang merdeka ketika bendera dikibarkan.
Gagasan utamanya adalah bahwa sejarah bukan hanya milik mereka yang menang, tapi juga mereka yang tercecer. Buku ini menolak lupa.
Ia menjahit puing-puing batin yang tercecer di lorong sejarah Indonesia, dan menghadirkannya dengan keindahan puisi dan kedalaman renungan.
Link bukunya bisa diakses:
https://drive.google.com/file/d/1YJVSoNUCoSxVVdbXhXS9-Cfy88BOERlc/view?usp=sharing
-000-
5. Mereka yang Mulai Teriak Merdeka (2024)
Sebelum Republik berdiri, telah ada yang membakar obor kemerdekaan—dengan pena, dengan gagasan, dengan pengorbanan sunyi.
Buku ini membawa kita menelusuri kembali tokoh-tokoh seperti RA Kartini, Tirto Adhi Soerjo, Malahayati, Dr. Soetomo, hingga Bung Karno dan Bung Hatta.
Tapi bukan dalam bentuk patung atau pidato. Melalui puisi esai, mereka hadir sebagai manusia: dengan keraguan, konflik batin, dan keputusan sulit.
RA Kartini tak hanya menulis surat, ia menikah dalam kegetiran demi membuka ruang bagi pendidikan perempuan. Sjahrir wafat sebagai tahanan politik—bukan karena kalah, tapi karena ia terlalu jujur.
Gagasan utama buku ini adalah bahwa kemerdekaan tidak lahir dari satu hari, tapi dari perjalanan panjang batin, luka, dan ide-ide yang ditanam di tanah kolonialisme.
Buku ini bukan nostalgia, tapi kaca benggala: apakah hari ini kita masih menjaga nyala itu?
Link Bukunya bisa diakses:
https://drive.google.com/file/d/1i25w1Ot4tbbs5OHrh0a0jkowkpOjNF7y/view?usp=sharing
-000-
6. Eksil yang Tak Bisa Pulang (2024)
Mereka dikirim belajar oleh negara, namun pulangnya dilarang. Mereka dituduh komunis tanpa pengadilan. Lalu paspornya dicabut, nama mereka dihapus.
Jadilah mereka eksil—warga negara tanpa negara. Hidup di Rusia, Belanda, Albania, Yugoslavia, hingga Cina, tapi tak pernah benar-benar merasa diterima.
Buku ini mengangkat kisah para eksil 1965 yang hidup dan mati di tanah asing. Mereka adalah seniman, pelajar, intelektual, yang dicabut paksa dari akar budayanya.
Di pengasingan, mereka menikah, membesarkan anak, dan membangun hidup—tapi tak pernah benar-benar pulih.
Denny JA menulis puisi esai tentang kehilangan: bukan hanya paspor, tapi bahasa ibu, tanah air, dan jati diri. Buku ini menggugah: apakah kejahatan sejarah hanya akan diukur dari darah, atau juga dari rindu yang tak bisa pulang?
Gagasan utamanya: bahwa sejarah bukan hanya milik mereka yang tinggal. Para eksil juga punya hak untuk diingat, diakui, dan dimaafkan. Buku ini adalah rumah bagi mereka yang terbuang.
Link bukunya bisa diakses:
https://drive.google.com/file/d/1szruB2suenqBrUYq_lFmyIs9NzSWn6bO/view?usp=sharing
-000-
7. Yang Menggigil dalam Arus Sejarah (2025)
Ini adalah buku paling universal. Ia tidak hanya menyoroti Indonesia, tapi seluruh luka umat manusia.
Dari Auschwitz ke Hiroshima, dari Revolusi Prancis hingga Mao Zedong, dari Holocaust hingga tragedi Vietnam—Denny JA menghadirkan sejarah dalam puisi.
Namun ia tidak menulis sebagai sejarawan. Ia menulis sebagai manusia. Ada anak yang kehilangan ibunya di kamp gas.
Ada pejuang yang memilih bunuh diri daripada dipermalukan di Warsawa. Ada boneka yang menjadi satu-satunya saksi pembantaian di Nanking.
Melalui puisi esai, sejarah yang dingin dan faktual menjadi hidup dan menggigil. Buku ini menyampaikan pesan penting: bahwa peradaban dibangun dari darah mereka yang tidak sempat bicara.
Gagasan utama buku ini adalah bahwa sejarah harus ditulis ulang dari sisi korban. Karena hanya dengan itu, dunia bisa belajar. Dan puisi adalah cara paling halus untuk menyimpan duka tanpa membatu.
Link bukunya bisa diakses:
https://drive.google.com/file/d/12ecyTSvXNfvN48XD4IGyQlwZo12f7VfC/view?usp=sharing
-000-
Melalui tujuh buku puisi esai, Denny JA menyalakan kembali luka-luka yang nyaris padam. Ia mengajak kita mendengarkan jeritan Lastri, menunggu bersama Lina, menggigil bersama anak Auschwitz, dan berjalan bersama para eksil yang tak bisa pulang.
Dalam tujuh bukunya yang berakar pada puisi esai, Denny JA menenun sejarah bukan dari menara gading para pemenang, melainkan dari tanah luka mereka yang tercecer.
Masing-masing buku menyorot babak sejarah berbeda, namun seluruhnya bernapas dalam satu irama: suara mereka yang ditinggal oleh narasi besar bangsa.
“Atas Nama Cinta” (2012) membuka jalan dengan menggugah luka sosial kontemporer: diskriminasi atas nama agama, ras, dan orientasi seksual.
Sedangkan “Jeritan Setelah Kebebasan” (2022) menggali konflik berdarah pasca-Reformasi—antara suku, agama, dan keyakinan—yang mencabik semangat persatuan.
Bergeser ke masa lampau, trilogi sejarah kemerdekaan tampil melalui “Yang Tercecer di Era Kemerdekaan” (2024), “Mereka yang Mulai Teriak Merdeka” (2024), dan “Mereka yang Terbuang di Tahun 1960-an” (2024).
Ketiganya menjadi mosaik luka dari perempuan penghibur, pekerja paksa, para nyai, eksil politik, hingga pahlawan yang dilupakan. Mereka menghadirkan sejarah sebagai derita manusia, bukan sekadar angka dalam buku pelajaran.
“Kutunggu di Setiap Kamisan” (2018) dan “Yang Menggigil dalam Arus Sejarah” (2025) membawa cakupan lebih luas: dari korban pelanggaran HAM di Indonesia hingga tragedi kemanusiaan dunia seperti Holocaust, Revolusi Mao, dan perbudakan di Amerika.
Buku-buku ini mengajak kita menyimak jeritan manusia dari berbagai zaman dan benua, namun tetap dalam bahasa air mata yang sama.
Persamaan mereka terletak pada bentuk—puisi esai—yang menjahit fakta dan fiksi, catatan kaki dan air mata.
Perbedaannya: pada ruang dan waktu sejarah yang digali, serta jenis luka yang diangkat. Tapi satu benang merahnya jelas: sejarah bukan milik mereka yang bicara paling keras, melainkan mereka yang diamnya paling menyakitkan.
-000-
Di titik itulah kekuatan puisi esai. Ia tak bertugas menjelaskan sejarah secara akademik, tetapi menghidupkannya kembali dalam daging dan napas manusia.
Di tangan Denny JA, puisi menjadi ruang pengakuan bagi yang disingkirkan, altar sunyi bagi mereka yang tak pernah dituliskan di prasasti pahlawan.
Ketujuh buku ini bukan hanya warisan sastra, tetapi juga arsip nurani. Ia mengajarkan kita bahwa sejarah bukan untuk dikenang sebagai perayaan, melainkan direnungi sebagai pelajaran.
Di antara lembar-lembar sunyi sejarah, ada nama-nama yang hanya hidup di udara.
Mereka menunggu: bukan untuk dipuja, tetapi agar luka mereka tak sia-sia.
Dalam puisi, kita belajar
bahwa setiap air mata yang jatuh
adalah benih ingatan
yang menumbuhkan keberanian
untuk tak lagi membisu
di hadapan kekuasaan.
Sebab kemerdekaan sejati, seperti puisi, adalah keberanian untuk terus mendengarkan yang tak lagi punya suara.***
Jakarta, 3 Juli 2025