DECEMBER 9, 2022
Buku

Sejarah Indonesia dan Dunia yang Berdenyut dalam Tujuh Puisi Esai Denny JA

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Ketiganya menjadi mosaik luka dari perempuan penghibur, pekerja paksa, para nyai, eksil politik, hingga pahlawan yang dilupakan. Mereka menghadirkan sejarah sebagai derita manusia, bukan sekadar angka dalam buku pelajaran.

“Kutunggu di Setiap Kamisan” (2018) dan “Yang Menggigil dalam Arus Sejarah” (2025) membawa cakupan lebih luas: dari korban pelanggaran HAM di Indonesia hingga tragedi kemanusiaan dunia seperti Holocaust, Revolusi Mao, dan perbudakan di Amerika. 

Buku-buku ini mengajak kita menyimak jeritan manusia dari berbagai zaman dan benua, namun tetap dalam bahasa air mata yang sama.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Israel Melawan Iran, Perang Strategis, Ideologis, Bahkan Spiritual

Persamaan mereka terletak pada bentuk—puisi esai—yang menjahit fakta dan fiksi, catatan kaki dan air mata. 

Perbedaannya: pada ruang dan waktu sejarah yang digali, serta jenis luka yang diangkat. Tapi satu benang merahnya jelas: sejarah bukan milik mereka yang bicara paling keras, melainkan mereka yang diamnya paling menyakitkan.

-000-

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Sejarah tak Menceritakan yang Sebenarnya

Di titik itulah kekuatan puisi esai. Ia tak bertugas menjelaskan sejarah secara akademik, tetapi menghidupkannya kembali dalam daging dan napas manusia. 

Di tangan Denny JA, puisi menjadi ruang pengakuan bagi yang disingkirkan, altar sunyi bagi mereka yang tak pernah dituliskan di prasasti pahlawan.

Ketujuh buku ini bukan hanya warisan sastra, tetapi juga arsip nurani. Ia mengajarkan kita bahwa sejarah bukan untuk dikenang sebagai perayaan, melainkan direnungi sebagai pelajaran. 

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ujung Perang Israel Lawan Iran, Perang Tak Henti atau Solusi Dua Negara?

Di antara lembar-lembar sunyi sejarah, ada nama-nama yang hanya hidup di udara.

Halaman:

Berita Terkait