Sejarah Indonesia dan Dunia yang Berdenyut dalam Tujuh Puisi Esai Denny JA
- Penulis : Krista Riyanto
- Kamis, 03 Juli 2025 06:44 WIB

Gagasan utama buku ini adalah bahwa sejarah harus ditulis ulang dari sisi korban. Karena hanya dengan itu, dunia bisa belajar. Dan puisi adalah cara paling halus untuk menyimpan duka tanpa membatu.
Link bukunya bisa diakses:
https://drive.google.com/file/d/12ecyTSvXNfvN48XD4IGyQlwZo12f7VfC/view?usp=sharing
Baca Juga: Catatan Denny JA: Israel Melawan Iran, Perang Strategis, Ideologis, Bahkan Spiritual
-000-
Melalui tujuh buku puisi esai, Denny JA menyalakan kembali luka-luka yang nyaris padam. Ia mengajak kita mendengarkan jeritan Lastri, menunggu bersama Lina, menggigil bersama anak Auschwitz, dan berjalan bersama para eksil yang tak bisa pulang.
Dalam tujuh bukunya yang berakar pada puisi esai, Denny JA menenun sejarah bukan dari menara gading para pemenang, melainkan dari tanah luka mereka yang tercecer.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Sejarah tak Menceritakan yang Sebenarnya
Masing-masing buku menyorot babak sejarah berbeda, namun seluruhnya bernapas dalam satu irama: suara mereka yang ditinggal oleh narasi besar bangsa.
“Atas Nama Cinta” (2012) membuka jalan dengan menggugah luka sosial kontemporer: diskriminasi atas nama agama, ras, dan orientasi seksual.
Sedangkan “Jeritan Setelah Kebebasan” (2022) menggali konflik berdarah pasca-Reformasi—antara suku, agama, dan keyakinan—yang mencabik semangat persatuan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ujung Perang Israel Lawan Iran, Perang Tak Henti atau Solusi Dua Negara?
Bergeser ke masa lampau, trilogi sejarah kemerdekaan tampil melalui “Yang Tercecer di Era Kemerdekaan” (2024), “Mereka yang Mulai Teriak Merdeka” (2024), dan “Mereka yang Terbuang di Tahun 1960-an” (2024).