DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Minyak dan Takhta Zaman, Ketika Dunia Digerakkan Oleh Hitamnya Energi

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Minyak, Bisnis, dan Politik (1)

ORBITINDONESIA.COM - Yang membuat Iran tetap tegak, meski dihantam oleh kekuatan militer gabungan Israel dan Amerika Serikat pada Juni 2025, bukan semata karena rudal atau milisi Syiah yang militan. 

Bukan pula hanya karena semangat keagamaan yang mengakar dan memberi daya tahan spiritual.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Bunga Rampai 100 Tahun Arsitektur Perjuangan dan Jejak Rasa Kuliner

Iran memiliki sesuatu yang lebih sunyi—namun lebih menggetarkan: Selat Hormuz.

Di selat sempit inilah mengalir lebih dari 20% pasokan minyak dunia. Setiap kapal tanker yang melintas membawa denyut nadi ekonomi global. 

Iran tahu, dengan satu ancaman menutup selat ini, ia tak hanya menekan musuh-musuhnya, tapi seluruh sistem pasar dunia.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Israel Melawan Iran, Perang Strategis, Ideologis, Bahkan Spiritual

Amerika Serikat pun gemetar. Jika Hormuz tertutup, harga minyak bisa melonjak dua kali lipat. Rakyat Amerika akan menghadapi krisis energi yang menggigit. 

Sembako melambung. Pemilih Trump, yang semula beringas, akan balik menggigit presidennya sendiri.

Trump bukan hanya menghadapi Iran di medan perang, tapi menghadapi rakyatnya sendiri di bilik suara.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Sejarah tak Menceritakan yang Sebenarnya

Minyak, dalam sejarah modern, bukan sekadar energi. Ia adalah takhta. Ia adalah diplomasi. 

Ia adalah kehancuran dan penyelamatan. Siapa menguasai alirannya, mengendalikan arah zaman.

Tak heran, di abad ini, peta kekuasaan digambar ulang—bukan di atas meja perundingan, tapi dari bawah tanah yang berlumur minyak.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ujung Perang Israel Lawan Iran, Perang Tak Henti atau Solusi Dua Negara?

Menyelami hubungan antara minyak, bisnis, dan politik, kita pun menjangkau inti sumsum tulang dari politik global.

-000-

Api di Langit Khorramshahr

Baca Juga: Catatan Denny JA: Perbanyak Sastra di Ruang Publik

Di kota Khorramshahr yang compang-camping pascaperang Iran–Irak (1980–1988), seorang anak bernama Arash duduk di atas reruntuhan rumah. 

Di langit senja, api dari sumur minyak yang terbakar memantul di bola matanya. Langit tampak seperti lembaran besi merah membara.

Arash tak tahu apa arti kata “minyak”, tapi semua orang menyebutnya. Ayahnya tewas di kilang, ibunya menjual roti yang kini harganya melambung karena embargo. 

Baca Juga: Catatan Denny JA: Prabowo Subianto Sangat Populer, Tapi Publik Mulai Cemas Tentang Ekonomi

Ia tak mengerti ekonomi dunia, tapi ia merasakan lapar yang tak bisa dijelaskan oleh teori apa pun.

Kelak, ia tahu: hidupnya adalah bagian dari sejarah global yang ditulis Daniel Yergin dalam The Prize: The Epic Quest for Oil, Money & Power (1990).

Buku ini bukan sekadar kisah minyak. Ia adalah kisah kekuasaan umat manusia. Ia mengisahkan bagaimana minyak menjadi darah industri, bahan bakar perang, motif penjajahan, dan kunci diplomasi.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Dilema Batin Petugas Perbatasan dan Luka Sosial Lainnya

-000-

Titik Awal—Titusville, Rockefeller, dan Revolusi Industri

Minyak mengubah dunia pertama kali bukan di Timur Tengah, tapi di Amerika.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Kentucky Fried Chicken Rugi Ratusan Miliar Rupiah dan Datangnya Era Meaning Economy

Kisah bermula dari Titusville, Pennsylvania, 1859. Edwin Drake mengebor sumur minyak pertama dengan teknik modern. 

Sebelumnya, minyak keluar dari tanah seperti luka bumi yang tak terawat. Digunakan sebagai obat tradisional, tak ada yang membayangkan minyak akan menggantikan lemak paus dalam pelita rumah-rumah.

Hingga datang John D. Rockefeller.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Merekam Sejarah yang Luka Dalam Sastra

Pria tenang dan religius ini mendirikan Standard Oil dan membangun imperium melalui integrasi vertikal—menguasai sumur, kilang, dan distribusi. 

Pada puncaknya, ia mengendalikan 90% pasar minyak AS. Ia menjadi arsitek pertama dari kapitalisme global yang terstruktur.

Namun kekuasaan yang terlalu besar menimbulkan perlawanan. Pada 1911, Mahkamah Agung AS membubarkan Standard Oil menjadi 34 perusahaan kecil, yang kemudian melahirkan raksasa seperti Exxon dan Chevron.

Minyak, yang tadinya cairan tak bernilai, kini menjelma menjadi fondasi mesin, mobil, kapal, dan perang. Ia mempercepat sejarah, menjadi jantung revolusi industri baru.

-000-

Minyak dalam Perang Dunia—Churchill, Hitler, dan Jalur Pasokan

Tanpa minyak, perang dunia tak akan bisa dimulai—dan tak akan bisa dimenangkan.

Winston Churchill adalah pionirnya. Pada 1911, ia mengubah kebijakan angkatan laut Inggris: kapal perang tak lagi memakai batu bara, melainkan minyak. 

Ia menulis memo legendaris: “Seluruh kekuatan laut Inggris akan bergantung pada minyak Persia.”

Untuk itu, Inggris menguasai Anglo-Persian Oil Company (kelak menjadi BP). Kolonialisme bergeser: dari rempah ke energi.

Perang Dunia I memperlihatkan fungsi vital minyak. Amerika menjadi pemasok utama. Tank, pesawat, kapal—semuanya haus bahan bakar.

Perang Dunia II mengulang pola yang lebih besar. Hitler menginvasi Uni Soviet bukan semata karena ideologi, tapi karena ingin menguasai ladang minyak Kaukasus. Stalingrad bukan hanya medan tempur, tapi persimpangan energi dunia.

Jepang menyerang Pearl Harbor setelah AS memblokir suplai minyak ke Tokyo. Perang Pasifik adalah perang atas kelangsungan energi.

Peluru dan bom tak berarti tanpa logistik. Dan logistik zaman modern berarti satu kata: minyak.

-000-

Nasionalisasi dan Lahirnya OPEC—Ketika Minyak Menjadi Identitas Bangsa

Setelah perang, giliran negara-negara berkembang mengambil kendali. Mereka tak lagi mau jadi penonton.

Dimulai dari Iran tahun 1951. Perdana Menteri Mossadegh menasionalisasi Anglo-Iranian Oil Company. Inggris marah. 

CIA meluncurkan Operasi Ajax, menjatuhkan Mossadegh. Kudeta ini jadi simbol bahwa minyak dan kedaulatan tak bisa dipisahkan.

Negara lain mengikuti. Venezuela, Arab Saudi, Irak. Pada 1960, lahirlah OPEC: organisasi negara-negara penghasil minyak, yang menetapkan harga dan kuota.

Titik puncaknya: embargo minyak tahun 1973. Negara Arab memboikot AS karena mendukung Israel dalam Perang Yom Kippur. Harga minyak melonjak empat kali lipat. Dunia meringis.

Indonesia, pada masa Presiden Soekarno, bergabung dengan OPEC pada 1962. Alasannya jelas: memperkuat posisi tawar dan menegaskan kedaulatan atas sumber daya nasional.

Namun, minyak bukan hanya kekayaan. Ia juga jebakan. Negara penghasil minyak hidup dalam fluktuasi. Ketika harga tinggi, mereka merayakan. Saat harga jatuh, mereka porak-poranda.

Minyak, dalam babak ini, menjadi identitas. Menjadi harga diri. Menjadi simbol perlawanan Selatan terhadap dominasi Utara.

-000-

Krisis, Harga, dan Realitas Baru

Setelah embargo, dunia mengalami “oil shock.” Mobil mengular di SPBU. Inflasi meroket. Resesi menyapu Eropa dan Amerika.

Tahun 1979, Revolusi Iran menggulingkan Shah. Produksi minyak terganggu. Dunia kembali panik. Harga melonjak, ekonomi limbung.

Namun sejarah bergerak spiral. Ketika harga terlalu tinggi, konsumen mencari jalan lain: energi nuklir, pengeboran Laut Utara, dan konservasi.

1986, harga minyak anjlok. Negara-negara OPEC gemetar. Inilah paradoks minyak: terlalu murah menghancurkan produsen. Terlalu mahal menghantam pembeli.

Pasar berubah. Kontrak berjangka, spekulasi, dan dominasi dolar memperumit peta energi. Pasar tak hanya digerakkan oleh pompa, tapi juga algoritma.

-000-

Dunia Baru Energi: Akhir Zaman Minyak?

Dunia berubah. Uni Soviet runtuh. Perusahaan swasta bangkit. Ladang-ladang baru ditemukan.

Namun tantangan baru muncul: krisis iklim, energi hijau, transisi menuju masa depan yang lebih bersih. Tapi kenyataan tak semudah retorika.

Minyak masih mengalir. Mobil listrik pun dibuat dengan logistik berbahan fosil. Transisi terjadi, tapi dengan tarikan balik masa lalu.

Siapa yang mampu menyeimbangkan pertumbuhan dan keberlanjutan, dialah penguasa zaman selanjutnya.

Energi adalah masa depan. Tapi tanpa kebijaksanaan, ia bisa menjadi akhir zaman.

-000-

Cermin Hitam di Tangan Kita

Dunia tak hanya digerakkan oleh demokrasi atau ideologi. Ia digerakkan oleh energi.

Untuk memahami perang, diplomasi, dan nasib ekonomi suatu bangsa, kita harus mengikuti aliran minyaknya. 

Dari gurun Saudi hingga selat Hormuz, dari Alaska hingga Natuna—peta kekuasaan dunia dilukis dengan tetesan minyak.

Kini, di tengah gempita energi hijau, kita masih hidup di dunia yang dibangun oleh minyak. Bahkan mimpi masa depan pun masih diantar oleh logistik fosil.

Namun kini, di tengah arus perubahan. Kita berdiri di persimpangan sejarah:
antara warisan minyak yang menjerat, dan janji energi bersih yang masih samar.

Setiap keputusan hari ini, apakah kita memilih keberlanjutan, atau mengulang luka lama,  akan menentukan wajah bumi esok hari.

Di ruang rapat, di jalanan, di laboratorium, pertarungan tak lagi sekadar soal harga, melainkan tentang hak generasi mendatang:  menghirup udara yang bebas dari jejak hitam.

Kita seperti Arash kecil, memandangi langit yang menyala merah, bertanya dengan polos: untuk apa semua ini?

Jawabannya:

Karena di balik setiap tetes minyak, ada sejarah umat manusia yang belum selesai ditulis.

Jakarta, 1 Juli 2025

Referensi

1. The Prize: The Epic Quest for Oil, Money & Power

Penulis: Daniel Yergin
Tahun: 1990

2. The New Map: Energy, Climate, and the Clash of Nations, Penulis: Daniel Yergin, Tahun: 2020

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, bisnis dan marketing, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/15UaWQRY9G/?mibextid=wwXIfr

Halaman:

Berita Terkait