Catatan Denny JA: Ketika Sejarah tak Menceritakan yang Sebenarnya
- Penulis : Krista Riyanto
- Selasa, 17 Juni 2025 08:17 WIB

Ribut-ribut menulis ulang sejarah Indonesia dan kasus buku sejarah di Amerika Serikat
ORBITINDONESIA.COM - Pada suatu pagi yang tenang, ketika saya mendengar wacana menulis ulang sejarah resmi bangsa, benak saya langsung melayang ke satu buku yang mengguncang lanskap pendidikan Amerika.
Judul buku itu:
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Ketika Kita Diam Saja Melihat 1300 Anak-anak Dibunuh
“Lies My Teacher Told Me: Everything Your American History Textbook Got Wrong”, karya James W. Loewen, pertama kali terbit tahun 1995.
Saya ingin mengulasnya di sini, bukan untuk menghakimi, melainkan untuk memperkaya diskusi. Karena sejarah, pada hakikatnya, adalah cermin bangsa.
Dan ketika cermin itu tidak memantulkan realitas yang sebenarnya, ketika ia dipoles terlalu mengkilap, yang tampak bukan wajah kita yang sejati, tetapi ilusi tentang apa yang kita harapkan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Kisah Nabi Ibrahim dan Rockefeller yang Sayang Anak, Sebuah Renungan Iduladha
James W. Loewen adalah seorang sejarawan dan sosiolog yang mengabdikan hidupnya untuk membongkar kebohongan sistemik dalam pendidikan sejarah Amerika.
Ia lahir dari rahim Amerika Selatan yang bergolak oleh segregasi rasial, dan selama bertahun-tahun mengajar di universitas kulit hitam.
Pengalamannya menyaksikan bagaimana sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah begitu berbeda dari realitas yang dialami murid-muridnya, menjadi dorongan utama lahirnya buku ini.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Elon Musk Pun Serukan Pemecatan Donald Trump
Dalam penelitiannya terhadap dua belas buku pelajaran sejarah paling populer di Amerika Serikat, Loewen menyimpulkan bahwa sejarah tidak lagi diajarkan sebagai refleksi kejujuran, melainkan sebagai perpanjangan dari proyek nasionalisme yang diidealkan.
Ia mendapati buku-buku tersebut lebih banyak menyajikan mitos daripada kenyataan, lebih banyak merayakan kemenangan daripada mengakui luka.
-000-
Baca Juga: Catatan Denny JA: Royalti Lagu di Indonesia dan Kisah Keenan Nasution Menuntut Rp24,5 Miliar
Gagasan pertama yang ia bongkar adalah bahwa sejarah telah menjadi proyek politik.
Dalam banyak buku pelajaran, tokoh-tokoh seperti Christopher Columbus, Thomas Jefferson, dan Abraham Lincoln disulap menjadi figur suci yang nyaris tak bercela.
Mereka bukan lagi manusia dengan dilema moral dan kelemahan, tetapi simbol yang dikemas sedemikian rupa untuk diteladani.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Jika Sebuah Nada Diberi Hak
Columbus, misalnya, digambarkan hanya sebagai penemu benua Amerika, tanpa menyebutkan perannya dalam genosida terhadap penduduk asli.
Jefferson disebut penulis Deklarasi Kemerdekaan, namun diabaikan bahwa ia memiliki ratusan budak, termasuk hubungan eksploitatif dengan Sally Hemings.
Lincoln pun dipuja sebagai pembebas budak, tetapi minim disebut bahwa ia sebenarnya memiliki posisi ambivalen terhadap kesetaraan ras.
Loewen membongkar bagaimana narasi heroik ini tidak hanya menyederhanakan sejarah, tetapi menciptakan jarak antara generasi muda dan kenyataan kompleks bangsanya.
Dengan menolak menunjukkan sisi kelam para tokoh, pendidikan sejarah di Amerika lebih mirip dengan kultus kepahlawanan.
Ini menciptakan kebanggaan kosong, bukan pemahaman mendalam.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Bunga Rampai 100 Tahun Arsitektur Perjuangan dan Jejak Rasa Kuliner
Sejarah direduksi menjadi dongeng nasional.
Padahal, jika tokoh besar itu ditampilkan secara manusiawi—dengan keagungan dan kegagalannya—barulah siswa bisa belajar.
Bahwa kebesaran lahir bukan dari kesempurnaan, tetapi dari perjuangan batin dan keberanian mengakui kesalahan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Israel Melawan Iran, Perang Strategis, Ideologis, Bahkan Spiritual
-000-
Gagasan kedua yang ditegaskan Loewen adalah penghapusan peran rakyat kecil dan kelompok minoritas dalam narasi sejarah resmi.
Buku pelajaran seolah hanya mengenal tokoh-tokoh elite: presiden, jenderal, pemimpin perang, dan konglomerat.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: 100 Tahun Gedung Bunga Rampai
Suara para petani, buruh, perempuan, warga kulit hitam, penduduk pribumi, dan imigran—yang sesungguhnya membentuk nadi sejarah Amerika—sering dihapus atau disingkirkan ke pinggiran.
Padahal tanpa perjuangan mereka, Amerika tidak akan pernah menjadi seperti sekarang.
Contoh nyata adalah perlawanan perempuan dalam gerakan hak suara, peran buruh dalam menegakkan jam kerja manusiawi, hingga kontribusi komunitas Afrika-Amerika dalam membentuk kebudayaan Amerika modern.
Baca Juga: Catatan Hamri Manoppo: Denny JA dan Peluang Nobel Sastra, Dari Puisi Esai Menuju Pengakuan Global
Tetapi semuanya nyaris absen dari buku pelajaran.
Loewen menyayangkan bahwa sejarah yang diajarkan di ruang kelas lebih menyerupai parade para pahlawan besar, bukan potret kehidupan rakyat.
Ia menyebutnya sebagai bentuk pengucilan kolektif terhadap kontribusi mereka yang terpinggirkan.
Padahal pendidikan sejarah yang sehat justru harus memperlihatkan dinamika sosial dari bawah.
Dari cerita tentang pemogokan buruh, perjuangan hak sipil, hingga komunitas-komunitas kecil yang mempertahankan budaya dan martabatnya di tengah arus dominasi.
Dengan menyertakan mereka, sejarah menjadi lebih kaya, lebih manusiawi, dan lebih jujur.
Anak-anak pun bisa melihat bahwa perubahan bukan hanya datang dari atas, tetapi juga dari bawah—dari orang biasa yang memilih untuk tidak diam di hadapan ketidakadilan.
Dalam hal ini, Loewen mengajak kita untuk menulis sejarah sebagai simfoni banyak suara, bukan monolog elite yang membungkam sisanya.
-000-
Gagasan ketiga yang sangat kuat dalam buku ini adalah penolakan sistemik terhadap pengakuan peran rasisme dalam sejarah Amerika.
Loewen menunjukkan bahwa rasisme bukan sekadar bagian kecil dari sejarah, melainkan struktur yang menopang berdirinya institusi negara.
Dari perbudakan yang menjadi fondasi ekonomi Amerika, segregasi hukum dalam Jim Crow Laws, hingga ketimpangan pendidikan dan perumahan yang diwariskan hingga kini.
Itu semuanya bagian dari sistem yang melanggengkan diskriminasi rasial.
Namun dalam buku pelajaran, isu ini direduksi atau bahkan dihapus sama sekali.
Murid-murid diajari bahwa rasisme adalah kesalahan individu, bukan sistemik.
Loewen mengecam ini sebagai bentuk pembungkaman terhadap penderitaan sejarah yang belum selesai.
Ia menunjukkan bagaimana penghapusan ini merugikan semua pihak: siswa kulit putih dibesarkan tanpa empati dan kesadaran sejarah, sementara siswa kulit hitam tumbuh tanpa narasi yang mencerminkan realitas mereka.
Lebih buruk lagi, tanpa memahami akar sejarah ketimpangan, masyarakat akan terus mengulangnya.
Rasisme bukan sekadar masa lalu yang kelam, tetapi bayang-bayang yang terus membentuk kebijakan dan sikap sosial hari ini.
Loewen menyerukan agar sejarah rasisme diakui secara jujur, tanpa peringanan, agar penyembuhan kolektif bisa terjadi.
Dengan menghindari topik ini, pendidikan Amerika telah gagal menjalankan fungsi utamanya: mempersiapkan warga negara yang peka, kritis, dan adil.
-000-
Gagasan keempat yang dibongkar Loewen adalah bagaimana pendidikan sejarah dirancang agar membosankan dan jinak.
Buku-buku pelajaran dibuat setebal batu bata, penuh dengan nama, tanggal, dan fakta-fakta beku yang tak menggugah.
Konflik dihaluskan, kontroversi dihindari, dan pertanyaan kritis diredam.
Tujuannya jelas: menciptakan siswa yang patuh, bukan berpikir.
Sejarah kehilangan nyawanya sebagai arena dialektika moral dan intelektual.
Padahal sejarah yang hidup adalah sejarah yang menggugah: yang membuat siswa bertanya, berpihak, dan merenung.
Loewen menyatakan bahwa kebosanan yang disengaja ini adalah strategi politik: anak muda yang bosan tidak akan menantang status quo.
Ia menginginkan agar sejarah disampaikan dalam bentuk narasi yang hidup, penuh pertanyaan terbuka, dan memancing debat.
Sejarah bukan sekadar hafalan, tetapi percakapan lintas waktu tentang siapa kita, dan siapa yang ingin kita jadi.
Ia memberi contoh bagaimana siswa yang belajar melalui dokumen primer, wawancara, dan eksplorasi lokal menjadi lebih terlibat dan kritis.
Pendidikan sejarah seharusnya bukan pengalengan masa lalu, tapi pembebasan cara berpikir.
Dan itu hanya mungkin jika guru dan buku pelajaran berani menyingkap kompleksitas sejarah, bukan menyembunyikannya di balik angka dan nama.
-000-
Gagasan kelima yang menjadi benang merah seluruh buku ini adalah: bangsa yang tak jujur pada masa lalunya, akan kehilangan arah di masa depan.
Loewen percaya bahwa pengajaran sejarah yang jujur, yang mengakui kesalahan dan luka, adalah prasyarat bagi kematangan bangsa.
Jika generasi muda dibesarkan dengan mitos, mereka akan tumbuh dalam ilusi.
Tapi jika mereka dibesarkan dengan pemahaman yang jujur—meski pahit—mereka akan membangun masa depan dengan dasar yang lebih kokoh.
Buku ini bukan hanya kritik, tapi juga harapan: bahwa sejarah bisa menjadi alat penyembuhan, bukan hanya pengingatan.
Ia mengingatkan kita bahwa setiap bangsa memiliki masa lalu yang rumit.
Tidak perlu malu mengakuinya.
Justru dengan pengakuan itulah muncul kebesaran sejati.
Karena bangsa yang dewasa bukanlah bangsa yang sempurna, melainkan bangsa yang berani bercermin, melihat luka, dan berusaha memperbaikinya.
Dalam semangat itulah, Loewen menyerukan agar pendidikan sejarah menjadi ruang untuk membangun kesadaran kolektif, bukan sekadar sarana membentuk kebanggaan semu.
-000-
Apa pelajaran untuk kita di Indonesia?
Jika bangsa sebesar Amerika saja harus belajar untuk melihat ulang sejarahnya, mengapa kita tidak?
Dalam menulis ulang sejarah resmi Indonesia, apakah kita siap mengakui sisi gelap masa lalu kita sendiri?
Apakah kita akan menyisihkan peristiwa 1965, Mei 1998, atau peran kelompok minoritas dan kekerasan seksual atas perempuan hanya karena mereka tidak sesuai dengan narasi ideal yang ingin dibangun?
Sejarah seharusnya menjadi jendela, bukan dinding.
Jika ia menjadi ruang gelap tempat kita menyembunyikan kenyataan, maka kita bukan sedang membangun bangsa, tapi sedang menyamarkan luka.
Mari belajar dari keberanian James Loewen.
Karena kejujuran dalam sejarah bukanlah ancaman bagi negara, melainkan fondasi dari kedewasaan bangsa.***
Jakarta, 17 Mei 2025
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World