Catatan Hamri Manoppo: Denny JA dan Peluang Nobel Sastra, Dari Puisi Esai Menuju Pengakuan Global
- Penulis : Krista Riyanto
- Senin, 16 Juni 2025 12:56 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Dalam jagat sastra Indonesia kontemporer, Denny JA menempati posisi yang unik—ia bukan hanya seorang penulis produktif, tetapi juga seorang inovator sastra yang memengaruhi struktur dan fungsi puisi itu sendiri.
Sebagai penggagas genre puisi esai, Denny JA menawarkan bentuk baru puisi yang memadukan unsur dokumenter, refleksi pribadi, dan kritik sosial.
Karya perdananya dalam genre ini, Atas Nama Cinta (2012), menciptakan gelombang baru yang membentuk komunitas sastra alternatif di luar arus utama.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Jika Sebuah Nada Diberi Hak
“Puisi esai adalah usaha untuk menyatukan fakta dan estetika, antara jurnalisme dan keindahan bahasa,” kata Denny JA dalam pengantar bukunya Atas Nama Cinta, 2012.
Karya-karya Denny JA dalam puisi esai, seperti Fang Yin dan Ingin Jadi Nasrani telah menjadi representasi suara kelompok minoritas yang termarginalkan.
Hal ini selaras dengan kriteria yang sering digunakan Komite Nobel dalam memilih penerima Nobel Sastra, yaitu sastrawan yang “berkarya dengan arah idealisme yang kuat” (Alfred Nobel, 1895).
Genre Baru yang Melampaui Tradisi
Dalam studi yang dilakukan oleh Dr. Suryadi dari Universitas Leiden, disebutkan bahwa puisi esai Denny JA adalah “sebuah lompatan besar dalam hibridisasi sastra Indonesia modern.
Ia membawa puisi keluar dari menara gading ke jantung problem sosial aktual.” (Suryadi, 2016). Ini berarti Denny JA tak hanya menulis untuk keindahan, tetapi menjadikan puisi sebagai senjata kebudayaan dalam perjuangan sosial.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Bunga Rampai 100 Tahun Arsitektur Perjuangan dan Jejak Rasa Kuliner
Beberapa universitas, termasuk Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada, sudah mengangkat puisi esai sebagai bahan kajian dalam skripsi dan tesis.