Gaduh Ijazah Palsu dan Demokrasi Digital
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Senin, 26 Mei 2025 05:26 WIB

Dalam hal ini Kemendikti Saintek dapat merumuskan model data pendidikan mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi yang mudah diakses publik. Langkah ini berpotensi mengurangi polemik serupa di masa depan.
Keterlibatan pihak ketiga seperti organisasi internasional atau akademisi independen untuk meningkatkan kepercayaan publik menjadi penting.
Kasus dugaan ijazah palsu Jokowi ini mengajarkan kita beberapa hal.
Baca Juga: Baru Diringkus, Penggugat Ijazah Palsu Jokowi Langsung Jadi Tersangka
Pertama, literasi data dan metode ilmiah dalam menangani isu publik, menjadi hal mendasar yang harus menjadi pegangan. Tuduhan tanpa bukti, hanya memperburuk polarisasi dan melemahkan model komunikasi pemerintah yang saat ini sedang diperbaiki sebagai instrumen penting pembangunan.
Kedua, institusi resmi seperti Kemendiktisaintek harus proaktif menjadi penengah dan meredam spekulasi. UGM sebagai perguruan tinggi bereputasi, dapat mempublikasikan panduan tentang proses penerbitan ijazah dari waktu ke waktu. Sementara media sosial memainkan peran gandanya yaitu sebagai wadah diskusi sehat, dalam waktu bersamaan menjadi filter upaya penyebaran hoaks.
Secara perbandingan, kasus internasional seperti tuduhan korupsi terhadap mantan Presiden Brasil Jair Bolsonaro menunjukkan dinamika serupa. Tuduhan didasarkan pada dokumen tidak tervalidasi, sedangkan investigasi resmi memberikan bukti lebih kuat. Polarisasi semacam itu membuat publik terpecah.
Baca Juga: Mengambil Pelajaran dari Kasus Hoax Ijazah Palsu Jokowi
Kasus dugaan ijazah palsu ini menegaskan bahwa kebenaran memerlukan disiplin ilmiah dan dialog terbuka. Ini menjadi tantangan demokrasi di ruang digital: bagaimana menjaga kebenaran di tengah opini yang terus "berkelahi" secara real time. Media mainstream dapat memainkan perannya sebagai "mesin pendingin" bukan malah memperkeruh situasi.
Demokrasi digital
Salah satu tujuan akselerasi transformasi digital adalah menumbuhkan ekosistem baru ruang demokrasi yang sehat dan bermartabat . Demokrasi berbasis digital diharapkan memperkuat relasi antara pemerintah dan publik, dalam model komunikasi partisipatif.
Baca Juga: Humor Politik: Khalifah Harun Al Rasyid, Abu Nuwas dan Ijazah Palsu
Dr. Beth Simone Noveck, pakar demokrasi digital dari New York University, menyatakan, "demokrasi digital sesungguhnya dapat meningkatkan partisipasi politik dan transparansi pemerintahan dengan memungkinkan masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan secara online.