DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Kampanye Negatif untuk Terpilih Menjadi Pemimpin

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Kata Pengantar Buku Ikrama Masloman, In Negative We Trust (2025)

ORBITINDONESIA.COM - Membaca buku Ikrama Masloman soal kampanye negatif dalam politik pemilu, In Negative We Trust, saya teringat satu peristiwa yang mengubah hasil pemilu presiden di Amerika Serikat.

Musim panas tahun 1988, angin kemenangan berhembus ke arah Michael Dukakis. Gubernur Massachusetts itu baru saja memenangkan nominasi Partai Demokrat. 

Baca Juga: Catatan Denny JA: Penentu Utama Meraih Mimpi

Namanya harum sebagai teknokrat rasional, progresif, bersih, dan tenang. Ia dianggap sebagai penawar setelah delapan tahun era Ronald Reagan yang penuh gegap gempita.

Di sisi lain, George H. W. Bush, Wakil Presiden petahana, tampak lemah dan tertinggal. Sosoknya dipandang kaku, tak kharismatik, dan selama ini hidup dalam bayang-bayang Ronald Reagan. Bahkan, publik meragukan kemampuannya untuk berdiri sendiri sebagai pemimpin.

Jajak pendapat nasional menunjukkan ketimpangan yang mencolok: Gallup Poll 26–28 Juli 1988 mencatat Dukakis unggul 17 poin, dengan 55% dukungan dibandingkan Bush yang hanya 38%.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Papua yang Luka dan Melahirkan Puisi

Seolah sejarah telah menuliskan takdir: kursi presiden akan kembali ke tangan Demokrat.

Namun politik, sebagaimana sejarah manusia, bukanlah soal siapa yang terbaik. Ia adalah soal siapa yang paling piawai membingkai kenyataan. 

Dan di sinilah seni kampanye negatif memainkan peran penting: bukan merusak, tapi menyusun ulang narasi dalam benak rakyat.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengapa Bank Dunia Tempatkan Indonesia Negara Berpenduduk Miskin Keempat?

-000-

Datanglah sebuah wajah yang mengubah segalanya. Dari lembaran dokumen kriminal, sebuah wajah mencuat.

Namanya William R. Horton—kemudian lebih dikenal sebagai Willie Horton. Seorang pria kulit hitam, dihukum penjara seumur hidup karena pembunuhan dan perampokan bersenjata. 

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ikhtiar Ikut Merayakan Secara Sosial Hari Raya Agama Lain

Tapi ia dilepaskan sementara dari penjara melalui program furlough. Yaitu cuti akhir pekan bagi narapidana, yang merupakan kebijakan reformis dari negara bagian Massachusetts. Program itu berjalan saat Dukakis menjabat sebagai gubernur.

Namun Horton tidak kembali.

Ia melarikan diri, lalu melakukan tindakan yang mengguncang moral publik: memperkosa seorang wanita kulit putih dan menyiksa tunangannya di negara bagian Maryland. 

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ijazah Jokowi Asli dan Lima Kesalahan Metodologis Tuduhan Palsu

Kejahatan ini bukan hanya tragedi, tapi, dalam narasi kampanye Bush, diubah menjadi simbol dari satu pesan: “Inilah akibat jika pemimpin terlalu lunak terhadap kejahatan.”

Peristiwa ini awalnya hanya catatan hukum. Tapi kemudian datanglah sebuah organisasi bernama National Security Political Action Committee (NSPAC). 

Pada 21 September 1988, mereka merilis iklan televisi berjudul “Cuti Akhir Pekan” (Weekend Passes). Iklan itu tidak menyebutkan Bush maupun Dukakis secara langsung. Namun efeknya merambat seperti petir dalam diam.

Isi iklan itu sangat sederhana, namun mengguncang jiwa:

“Michael Dukakis bukan hanya menolak hukuman mati. Ia juga mengizinkan para pembunuh mendapat cuti akhir pekan dari penjara. Salah satunya adalah Willie Horton.”

Suara narator yang dingin, gambar mugshot Horton yang ditampilkan berulang kali, seolah menghipnotis pemirsa. 

Wajah Horton yang gelap, bengis, dan beku, ditanamkan dalam pikiran publik sebagai lambang teror, sebagai akibat dari kebijakan seorang pemimpin yang dianggap “terlalu lunak terhadap kriminal.”

Iklan ini adalah mahakarya dalam dunia kampanye negatif karena ia meramu tiga elemen secara presisi:

1. Isu kebijakan nyata dan faktual — program furlough memang ada.

2. Framing visual yang kuat dan emosional — wajah Horton tampil sebagai simbol.

3. Pemicu rasa takut terdalam pemilih — tentang keluarga mereka, rumah mereka, anak-anak mereka.

Dan dalam politik, ketakutan yang dirasa sebagai ancaman nyata lebih kuat dari janji perubahan yang bersifat abstrak.

-000-

Apa yang terjadi selanjutnya adalah salah satu comeback paling dramatis dalam sejarah kampanye modern.

Polling Gallup mencatat perubahan cepat dalam waktu singkat:

• Awal Agustus 1988: Dukakis 47%, Bush 44%.

• Awal Oktober 1988: Bush melonjak ke 51%, Dukakis anjlok ke 42%.

Dan pada 8 November 1988, hasil pemilu benar-benar mencengangkan:

• George H. W. Bush menang besar: 53,4% suara populer, 426 electoral votes.

• Michael Dukakis kalah telak: hanya 111 electoral votes.

Padahal tiga bulan sebelumnya, dunia menyangka Bush akan kalah telak.

Tapi semuanya berubah karena satu wajah, satu narasi, satu strategi. Itu kampanye negatif yang elegan, presisi, dan tidak mengada-ada.

-000-

Apa makna semua ini? Apa Lessons to Learn? Kampanye negatif bukanlah musuh kebenaran.

Ia justru cermin gelap yang diperlukan dalam demokrasi. Bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk mengungkap kenyataan yang tersembunyi di balik sorot cahaya kampanye positif.

Iklan Willie Horton tidak berbohong. Ia tidak memfitnah. Ia hanya memilih satu fragmen kebenaran yang paling menyentuh ketakutan kolektif, dan membingkainya dengan keahlian tinggi. 

Apakah itu adil? Mungkin tidak seluruhnya. Tapi dalam politik, kecepatan membingkai sering kali lebih menentukan daripada isi kebenarannya sendiri.

Dan George H. W. Bush menjadi Presiden Amerika Serikat ke-41 bukan karena ia memikat rakyat dengan pesona. Tapi itu karena ia memahami satu hal mendasar: politik adalah perebutan memori kolektif, bukan sekadar pertukaran gagasan.

-000-

Buku Ikrama Masloma ini bukan hanya buku akademik pertama di Indonesia yang menulis detil soal kampanye negatif. Buku ini juga memaparkan secara lengkap soal kampanye negatif itu, mulai dari perspektif teoritis hingga panduan detil dalam politik praktis kampanye.

Buku ini meletakkan lima fondasi utama yang menjadikan kampanye negatif bukan sekadar taktik, tapi juga filsafat demokrasi:

Pertama, kampanye negatif bukan fitnah, tapi kritik berdasarkan fakta.

Penulis membedakan dengan jelas antara kampanye negatif dan kampanye hitam. Di dalam kampanye negatif, hanya ada dua senjata: data dan akal sehat. 

Di sinilah letak keberanian moralnya. Ia tidak bermain di ruang gelap desas-desus. Ia menerangi bagian gelap dari riwayat sang calon, agar pemilih tidak terbuai oleh sinar palsu.

Kedua, efektivitas serangan tergantung pada psikologi dan timing.

Ikrama dengan piawai membedah psikologi pemilih: mereka yang sudah cinta akan menolak semua kritik (motivated reasoning), tapi yang masih bimbang akan bisa dipengaruhi jika waktu dan bukti dikemas dengan cermat. 

Serangan personal, misalnya, efektif jika dilempar di akhir masa kampanye, ketika lawan tak punya cukup waktu untuk membalas. Strategi ini bukan soal menunda kebenaran, tapi soal menyajikannya ketika telinga pemilih benar-benar terbuka.

Ketiga, framing adalah jantung dari serangan.

Di sinilah seni bermain. Fakta bisa sama, tapi bingkai bisa mengubah persepsi. Dengan teori dari Entman, Tuchman, hingga Gamson, buku ini menunjukkan bagaimana kampanye negatif merancang narasi seperti seniman menggoreskan kuas.

Kadang ia tajam. Kadang lembut. Tapi ia dihadirkan selalu dengan satu tujuan. Is harus mempengaruhi cara pandang.

Keempat, opposition research: membangun serangan dari data.

Penulis menganjurkan riset oposisi sebagai ritual wajib. Kampanye negatif bukan tentang spontanitas, tapi tentang arkeologi politik.

Kita perlu menggali dokumen lama, pidato terlupakan, laporan keuangan, hingga gerak-gerik keluarga. Bahkan komentar kecil yang dulu tak dianggap penting, bisa menjadi amunisi pemukul jika ditampilkan di waktu yang tepat.

Kelima, strategi dan ritme kampanye harus presisi.

Seperti perang, kampanye memiliki tempo. Ada strategi kura-kura, blitzkrieg, hingga Pearl Harbor. 

Buku ini membedakan antara kampanye untuk menguatkan basis, membujuk pemilih mengambang, atau bahkan membalik pendukung lawan. Masing-masing membutuhkan ritme dan pesan yang berbeda.

-000-

Tapi apakah ada sisi negatif dari kampanye negatif?  Di balik kegunaannya sebagai alat kritik, kampanye negatif menyimpan paradoks berbahaya: ia bisa menjadi pisau bermata dua.  

Pertama, efek psikologis jangka panjang.!Studi Cassese & Holman (2023) dalam  Journal of Political Psychology, menunjukkan bahwa paparan berlebihan terhadap narasi negatif meningkatkan sinisme politik. Pemilih bukan semakin kritis, melainkan apatis—"semua politisi sama buruknya."  

Kedua, amplifikasi bias struktural. Kasus Willie Horton, misalnya, tak hanya menyerang Dukakis, tetapi juga memperkuat stereotip rasis tentang pria kulit hitam sebagai "kriminal bawaan." 

Di Indonesia, kampanye negatif sering dimanfaatkan untuk mengkambinghitamkan minoritas atau mengaitkan lawan dengan gerakan separatis palsu.  

Ketiga, distorsi ruang demokrasi. Ketika kampanye negatif mendominasi, debat kebijakan (seperti reformasi kesehatan atau transisi energi) terpinggirkan. 

Publik teralihkan oleh skandal seks atau isu primordial, sementara isu sistemik seperti ketimpangan sosial luput dari sorotan.  

Maka, perlu ditegaskan. Kampanye negatif hanya etis jika 1) berbasis bukti, 2) proporsional dan  3) disertai mekanisme koreksi (seperti fact-checking independen).  

Kita hidup di zaman di mana demokrasi dibajak oleh pencitraan. Kandidat dibentuk bukan oleh rekam jejak, tapi oleh algoritma; bukan oleh integritas, tapi oleh suara yang paling nyaring di media sosial. 

Di tengah kegaduhan ini, kampanye negatif adalah suara nalar yang menawarkan satu hal: kejujuran tentang sisi gelap kekuasaan.

Tentu, tak semua yang negatif harus dikultuskan. Buku ini tak mengajak kita jadi pembenci. 

Justru sebaliknya. Ia mengajak kita jadi warga yang kritis. Karena hanya dengan menyaring sisi kelam calon pemimpin, kita bisa menemukan cahaya sejatinya.

Dalam konteks Indonesia yang plural, penuh sejarah luka dan harapan, kampanye negatif bukan hanya alat taktis, tapi juga alat etik. 

Di Makassar, seorang wali kota bisa bangkit dari kekalahan dengan serangan yang elegan terhadap korupsi lawannya.

Atau di Jakarta, politik identitas dipertarungkan dengan sentimen agama. Kampanye negatif menjadi refleksi: bahwa politik bukan hanya soal janji, tapi juga soal siapa yang berani membuka luka.

-000-

Buku Ikrama Masloman menjadi lebih gurih, karena basis teorinya kuat juga dilezatkan oleh pengalaman Ikrama sendiri sebagai konsultan politik di LSI Denny JA.

In Negative We Trust bukan sekadar buku strategi. Ia adalah elegi agar pemilih diberi tahu kebenaran, meski pahit. Buku ini menolak politik yang manis tapi palsu. Ia memilih jalan yang getir, namun jujur.

Di dunia yang makin gaduh oleh polesan, kita justru butuh kampanye yang memudar warna palsu dan memperlihatkan garis retak di dinding kekuasaan. 

Di sanalah, kampanye negatif bekerja. Bukan untuk menghancurkan, tapi untuk membersihkan. Bukan untuk menyesatkan, tapi untuk memperingatkan.

Dan karena itulah, kita percaya pada judulnya: In Negative We Trust.*

Jakarta, 23 Mei 2025

CATATAN

(1) The New York Times

Artikel: Bush and Dukakis: Campaign Strategy and the Willie Horton Case

Tanggal: 3 Oktober 1988

Tautan arsip: https://www.nytimes.com/1988/10/03/us/bush-and-dukakis-campaign-strategy-and-the-willie-horton-case.html

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/16D52u7hUd/?mibextid=wwXIfr

Halaman:

Berita Terkait