DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Kampanye Negatif untuk Terpilih Menjadi Pemimpin

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Ikrama dengan piawai membedah psikologi pemilih: mereka yang sudah cinta akan menolak semua kritik (motivated reasoning), tapi yang masih bimbang akan bisa dipengaruhi jika waktu dan bukti dikemas dengan cermat. 

Serangan personal, misalnya, efektif jika dilempar di akhir masa kampanye, ketika lawan tak punya cukup waktu untuk membalas. Strategi ini bukan soal menunda kebenaran, tapi soal menyajikannya ketika telinga pemilih benar-benar terbuka.

Ketiga, framing adalah jantung dari serangan.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Penentu Utama Meraih Mimpi

Di sinilah seni bermain. Fakta bisa sama, tapi bingkai bisa mengubah persepsi. Dengan teori dari Entman, Tuchman, hingga Gamson, buku ini menunjukkan bagaimana kampanye negatif merancang narasi seperti seniman menggoreskan kuas.

Kadang ia tajam. Kadang lembut. Tapi ia dihadirkan selalu dengan satu tujuan. Is harus mempengaruhi cara pandang.

Keempat, opposition research: membangun serangan dari data.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Papua yang Luka dan Melahirkan Puisi

Penulis menganjurkan riset oposisi sebagai ritual wajib. Kampanye negatif bukan tentang spontanitas, tapi tentang arkeologi politik.

Kita perlu menggali dokumen lama, pidato terlupakan, laporan keuangan, hingga gerak-gerik keluarga. Bahkan komentar kecil yang dulu tak dianggap penting, bisa menjadi amunisi pemukul jika ditampilkan di waktu yang tepat.

Kelima, strategi dan ritme kampanye harus presisi.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengapa Bank Dunia Tempatkan Indonesia Negara Berpenduduk Miskin Keempat?

Seperti perang, kampanye memiliki tempo. Ada strategi kura-kura, blitzkrieg, hingga Pearl Harbor. 

Halaman:

Berita Terkait