Catatan Denny JA: Kampanye Negatif untuk Terpilih Menjadi Pemimpin
- Penulis : Krista Riyanto
- Jumat, 23 Mei 2025 19:44 WIB

Iklan Willie Horton tidak berbohong. Ia tidak memfitnah. Ia hanya memilih satu fragmen kebenaran yang paling menyentuh ketakutan kolektif, dan membingkainya dengan keahlian tinggi.
Apakah itu adil? Mungkin tidak seluruhnya. Tapi dalam politik, kecepatan membingkai sering kali lebih menentukan daripada isi kebenarannya sendiri.
Dan George H. W. Bush menjadi Presiden Amerika Serikat ke-41 bukan karena ia memikat rakyat dengan pesona. Tapi itu karena ia memahami satu hal mendasar: politik adalah perebutan memori kolektif, bukan sekadar pertukaran gagasan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Penentu Utama Meraih Mimpi
-000-
Buku Ikrama Masloma ini bukan hanya buku akademik pertama di Indonesia yang menulis detil soal kampanye negatif. Buku ini juga memaparkan secara lengkap soal kampanye negatif itu, mulai dari perspektif teoritis hingga panduan detil dalam politik praktis kampanye.
Buku ini meletakkan lima fondasi utama yang menjadikan kampanye negatif bukan sekadar taktik, tapi juga filsafat demokrasi:
Baca Juga: Catatan Denny JA: Papua yang Luka dan Melahirkan Puisi
Pertama, kampanye negatif bukan fitnah, tapi kritik berdasarkan fakta.
Penulis membedakan dengan jelas antara kampanye negatif dan kampanye hitam. Di dalam kampanye negatif, hanya ada dua senjata: data dan akal sehat.
Di sinilah letak keberanian moralnya. Ia tidak bermain di ruang gelap desas-desus. Ia menerangi bagian gelap dari riwayat sang calon, agar pemilih tidak terbuai oleh sinar palsu.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengapa Bank Dunia Tempatkan Indonesia Negara Berpenduduk Miskin Keempat?
Kedua, efektivitas serangan tergantung pada psikologi dan timing.