Catatan Denny JA: Kampanye Negatif untuk Terpilih Menjadi Pemimpin
- Penulis : Krista Riyanto
- Jumat, 23 Mei 2025 19:44 WIB

Buku ini membedakan antara kampanye untuk menguatkan basis, membujuk pemilih mengambang, atau bahkan membalik pendukung lawan. Masing-masing membutuhkan ritme dan pesan yang berbeda.
-000-
Tapi apakah ada sisi negatif dari kampanye negatif? Di balik kegunaannya sebagai alat kritik, kampanye negatif menyimpan paradoks berbahaya: ia bisa menjadi pisau bermata dua.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Penentu Utama Meraih Mimpi
Pertama, efek psikologis jangka panjang.!Studi Cassese & Holman (2023) dalam Journal of Political Psychology, menunjukkan bahwa paparan berlebihan terhadap narasi negatif meningkatkan sinisme politik. Pemilih bukan semakin kritis, melainkan apatis—"semua politisi sama buruknya."
Kedua, amplifikasi bias struktural. Kasus Willie Horton, misalnya, tak hanya menyerang Dukakis, tetapi juga memperkuat stereotip rasis tentang pria kulit hitam sebagai "kriminal bawaan."
Di Indonesia, kampanye negatif sering dimanfaatkan untuk mengkambinghitamkan minoritas atau mengaitkan lawan dengan gerakan separatis palsu.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Papua yang Luka dan Melahirkan Puisi
Ketiga, distorsi ruang demokrasi. Ketika kampanye negatif mendominasi, debat kebijakan (seperti reformasi kesehatan atau transisi energi) terpinggirkan.
Publik teralihkan oleh skandal seks atau isu primordial, sementara isu sistemik seperti ketimpangan sosial luput dari sorotan.
Maka, perlu ditegaskan. Kampanye negatif hanya etis jika 1) berbasis bukti, 2) proporsional dan 3) disertai mekanisme koreksi (seperti fact-checking independen).
Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengapa Bank Dunia Tempatkan Indonesia Negara Berpenduduk Miskin Keempat?
Kita hidup di zaman di mana demokrasi dibajak oleh pencitraan. Kandidat dibentuk bukan oleh rekam jejak, tapi oleh algoritma; bukan oleh integritas, tapi oleh suara yang paling nyaring di media sosial.