DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Tumbuh Bersama Dongeng Walt Disney

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Menyambut Disney on Ice, Mei 2025 di Jakarta

ORBITINDONESIA.COM - “Negeri ini dulu bukan negeri Mickey Mouse,” ujar Jeffrey Sachs dalam forum diplomasi internasional di Antalya, Turki, April 2025.

Pernyataan itu dilontarkan sebagai kritik tajam terhadap kebijakan tarif Presiden Donald Trump yang, menurutnya, merusak tatanan ekonomi global.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Seorang LGBT Menjadi Mata-mata (Spionase) dan Lainnya

Ia menambahkan dengan satire halus, “Saya minta maaf kepada Mickey Mouse—dia tidak akan melakukan ini. Mickey Mouse lebih pintar dari ini.” (1)

Kalimat itu membuat hadirin tersenyum, tetapi juga merenung. Di balik senyum kartun dan telinga bundar yang sederhana, Mickey Mouse ternyata mampu menyusup ke jantung diskusi paling serius dunia.

Dari ruang keluarga hingga forum global, dari layar kaca hingga lembar sejarah ekonomi, Mickey Mouse hadir bukan hanya sebagai tokoh fiksi. Ia juga menjadi kritik terhadap pemimpin yang hidup dalam ilusi dan manipulatif, seperti Donald Trump.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mencari Panggilan Hidup Sejati

Mickey Mouse, dengan telinga bundarnya yang tak lekang zaman, adalah alegori kesabaran. Ia tetap tersenyum meski badai politik mengganas.

Donald Trump? la bagai badai itu sendiri— mengobarkan api kebencian dengan kicauan Twitter, memecah-belah dengan retorika “America First" yang sempit.

Mickey lahir dari tangan Walt Disney di era Depresi Besar 1928, ketika dunia butuh harapan sederhana.

Baca Juga: Catatan Denny JA: PHK Massal di Media Massa dan Lahirnya Angkatan Displaced Journalists

Trump lahir dari era post-truth 2016, di mana kebohongan bisa menjadi viral sebelum kebenaran sempat dicek dan re-check.

Mickey Mouse, lahir dari tangan Walt Disney. Ia telah menempuh perjalanan panjang dari celana pendek merahnya. Ia bukan sekadar karakter, tetapi saksi satu abad budaya pop dunia.

Dan kini, pada 2025, kita di Jakarta menyambutnya kembali. Bersama para sahabatnya, Mickey Mouse hadir dalam Disney On Ice: Find Your Hero.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Perkuat Budaya Lokal Melalui Festival Internasional

Ini pertunjukan yang merayakan 100 Tahun Keajaiban Disney.

Diselenggarakan di Istora Senayan, Jakarta, dari 2 sampai 11 Mei 2025, pertunjukan ini menyuguhkan tokoh-tokoh seperti Elsa dari Frozen, Moana, Ariel sang putri laut, hingga Rapunzel yang rambutnya melambangkan kebebasan dan petualangan.

Mereka hadir bukan hanya untuk menghibur, tetapi untuk membisikkan pesan lembut. Di dalam diri setiap anak—dan bahkan setiap orang dewasa—tersimpan seorang pahlawan yang sedang mencari jalan pulang ke jati dirinya.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Olahraga Padel Segera Naik Daun di Indonesia

-000-

Saya tumbuh bersama dongeng-dongeng Walt Disney.

Di masa kecil saya, ketika dunia nyata kerap terasa terlalu bising, rumit, atau bahkan membingungkan, dunia Disney hadir seperti ruang sunyi yang hangat.

Ia menawarkan keakraban di tengah kekacauan, makna di balik rasa kehilangan, dan keindahan dalam balutan warna-warna yang penuh harapan.

Dongeng-dongeng itu bukan sekadar hiburan. Mereka menjadi jangkar emosi, tempat saya berpegang ketika hidup belum bisa saya pahami.

Mereka tidak pernah menggurui, tetapi mengajari. Tidak pernah memaksa, tapi membisikkan pelajaran dengan kelembutan yang tak menghakimi.

Dan yang paling membekas, ada tiga kisah yang diam-diam menanamkan benih moralitas dalam batin saya. Itu benih yang tumbuh bersama usia, dan mekar menjadi karakter.

Pertama: Beauty and the Beast.

Saya masih ingat ekspresi mata Belle, saat ia untuk pertama kalinya menyadari bahwa sang monster, si Beast, memiliki luka lama yang tak pernah sembuh.

Bukan hanya luka fisik, tetapi luka batin—ditolak, dikutuk, dijauhi, disalahpahami.

Belle tidak gentar. Ia tidak menilai dari rupa. Ia tinggal, ia membaca buku bersama sang monster, ia berbagi makan malam, dan perlahan ia melihat: di balik wujud buas itu, ada hati yang hancur karena kesepian.

Dongeng ini mengajarkan saya sesuatu yang sangat manusiawi: bahwa cinta sejati bukan tentang menemukan seseorang yang sempurna.

Cinta sejati itu memilih untuk melihat jiwa di balik luka. Lalu memeluk ketidaksempurnaan sebagai bagian dari keindahan itu sendiri.

Kedua: The Lion King.

Simba anak singa yang kehilangan segalanya—ayahnya, arah hidupnya, bahkan dirinya sendiri.

Ia melarikan diri ke hutan bersama Timon dan Pumbaa, mencoba menghapus masa lalu dengan hidup santai dan menari di bawah bintang.

Namun bintang yang sama itulah yang mengingatkan dia pada ayahnya, Mufasa. Suatu malam, Mufasa muncul dalam bayangan langit dan berkata:

“Ingat siapa dirimu sebenarnya.”

Simba akhirnya kembali ke tanah kelahirannya, menghadapi pamannya yang jahat, dan membebaskan negerinya.

Itu bukan kisah tentang balas dendam. Itu adalah kisah tentang pertumbuhan, tentang tanggung jawab, tentang pulang ke akar.

Ia lakukan itu meski berat, meski menyakitkan.

Simba mengajarkan saya bahwa menjadi pemimpin bukan hanya soal berani menghadapi dunia, tetapi juga berani menghadapi luka dalam diri sendiri.

Ketiga: Pinocchio.

Dibuat dari kayu oleh tangan Gepetto yang sepi, Pinocchio hanya punya satu impian: menjadi anak manusia sungguhan.

Tapi dunia menipunya, menyeretnya ke sirkus, membuatnya berbohong, membuatnya kehilangan arah.

Setiap kali ia berbohong, hidungnya memanjang. Itu simbol bahwa kebenaran, betapa pun menyakitkan, tetap lebih indah daripada kebohongan yang tampak nyaman.

Di tengah petualangannya yang kelam, Pinocchio belajar tentang arti kemanusiaan.

Ia mengajarkan saya bahwa menjadi manusia bukan soal tubuh berdaging.

Melainkan soal memiliki hati nurani, dan mendengar suara kecil dalam diri yang tahu apa yang benar—meski seluruh dunia berseru sebaliknya.

Ketiga dongeng ini tidak pernah saya lupakan.

Karena lebih dari sekadar kisah, mereka adalah cermin jiwa.

Mereka membantu saya menemukan bagian terdalam dalam diri—yang rapuh, yang kuat, yang mencari makna.

-000-

Mengapa kisah-kisah ini penting?

Karena mereka menyuburkan moral imajinatif. Di dunia yang semakin logis dan transaksional, dongeng tetap dibutuhkan. Ia taman tempat nilai-nilai luhur tumbuh dengan kelembutan.

Anak-anak lebih mudah menyerap kebaikan ketika ia dikisahkan, bukan diajarkan.

Karena dongeng membentuk emosi kolektif lintas budaya.

Disney berhasil menyatukan anak-anak dari berbagai bangsa dalam tawa, tangis, dan harapan yang serupa.

Seorang anak di Jakarta menangis saat Simba kehilangan ayahnya.

Remaja di London tersenyum saat Pinocchio jujur untuk pertama kalinya.

Di sanalah kemanusiaan menemukan cermin yang sama, dalam bahasa yang berbeda.

Karena dongeng menjadi oase di tengah dunia yang keras.

Dalam pertunjukan Disney On Ice, kita bukan hanya melihat Elsa berjalan di atas es.

Kita melihat anak-anak percaya bahwa kekuatan diri bisa mengalahkan rasa takut.

Di balik kostum dan cahaya, tersembunyi pelajaran yang lembut: bahwa keajaiban bisa menjadi nyata—jika kita percaya dan berani mencoba.

-000-

Disney On Ice bukan sekadar hiburan. Ia adalah napas yang menghidupkan kembali bagian diri kita yang mungkin telah lama tertidur.

Bagian yang masih percaya pada cinta tanpa syarat, pada keberanian yang lahir dari kehilangan, dan pada suara hati kecil yang menuntun jalan.

Di tengah Jakarta yang bising dan sibuk, Disney On Ice datang membawa dongeng.

Dan seperti yang kita tahu, dongeng dari Walt Disney tak pernah sekadar dongeng.

Ia adalah pelajaran hidup, yang ditulis dengan salju dan cahaya.

Sebab di negeri mana pun, pahlawan sejati selalu lahir dari hati anak kecil—yang tumbuh bersama dongeng.

Ketika membaca dan menonton dongeng itu, renungkanlah suara kecil itu. Yang berkata:

Find Your Hero. Temukan spirit pahlawan di dalam dirimu sendiri.***

Jakarta, 8 Mei 2025

CATATAN

(1) Micky Mouse dijadikan simbol dari kritik keras  ekonom terkenal dari Harvard University, Jeffrey Sachs,  kepada Presiden Donald Trump

https://www.arise.tv/jeffrey-sachs-brands-trumps-trade-policies-childish-and-dangerous-warns-of-10-trillion-loss-in-global-wealth/?utm_source=chatgpt.com

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/1DQJge5fnd/?mibextid=wwXIfr

Halaman:

Berita Terkait