Catatan Denny JA: 10 Pesan Spiritual yang Universal Masuk Kampus
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 13 April 2025 19:06 WIB

Prinsip kedua menegaskan bahwa agama bertahan bukan karena kebenaran sejarahnya, melainkan karena ia memberi makna, seperti puisi yang tetap hidup.
Buku ini juga menunjukkan bagaimana kebahagiaan kini juga bisa dijelaskan dengan psikologi positif dan neurosains.
Artificial intelligence (AI) pun menjadi pilihan tambahan di luar peran ulama dan pendeta, untuk informasi tentang agama. Ia menjadi opsi digital: personal, cepat, dan tanpa dogma.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Indonesia Perlu Belajar Dari United Emirat Arab, Dari Gurun Pasir ke Pusat Dunia
Agama, kini mulai dilihat sebagai warisan kultural yang bisa dinikmati siapa saja, lintas iman, tanpa rasa bersalah. Bahkan tafsir agama yang akan bertahan di era ini, adalah yang selaras dengan hak asasi manusia.
Akhirnya, agama tak hilang, tapi berubah bentuk. Ia menjadi jendela yang terbuka, bukan pagar yang membatasi. Dan AI, meski tak bisa berdoa, bisa menjadi cermin: apakah iman kita masih hidup, atau hanya rutinitas tanpa ruh
-000-
3. Buku Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama
Dunis terbelah oleh kebenaran absolut dan tafsir yang saling meniadakan. Buku ini hadir sebagai jendela baru: agama tak harus selalu dilihat sebagai doktrin yang memisahkan. Tapi ia bisa dinikmati sebagai warisan kultural umat manusia.
Disusun sebagai modul kuliah Esoterika Fellowship Program, buku ini membawa satu tesis revolusioner: bahwa 4.300 agama yang kini hidup tak mesti bersaing dalam klaim kebenaran.
Berbagai agama bisa dirayakan dalam semangat kebersamaan. Ia mengajak kita melihat agama seperti puisi: tidak untuk diperdebatkan benar-salahnya, tetapi untuk direnungi, dihargai, dan dibagi.