Pengantar Denny JA Untuk Buku 10 Prinsip Spiritual yang Universal dari Agama Sebagai Warisan Kultural Milik Kita Bersama
- Penulis : Krista Riyanto
- Sabtu, 05 April 2025 18:30 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Elise Bertrand belum pernah menangis dalam keheningan. Mahasiswi filsafat dari Prancis itu lahir di tengah keluarga sekuler yang menjunjung akal, sastra, dan hak asasi manusia.
Ia tumbuh dengan Descartes dan Simone Weil di rak bukunya. Gereja hanyalah bangunan tua yang dilewati di jalan pulang. Tuhan adalah kata yang penuh beban.
Namun pada suatu musim semi di Universitas Michigan, Élise duduk bersila dalam ruangan klub meditasi. Ia datang bukan karena keinginan spiritual. Ia datang karena lelah.
Ibunya baru saja divonis kanker stadium akhir. Hidup tiba-tiba tak bisa dikendalikan. Buku-buku yang dulu memberinya keteguhan kini menjadi suara tanpa gema.
“Aku datang hanya untuk duduk,” katanya pelan kepada mentor klub. “Aku tidak ingin dijelaskan. Aku ingin merasa.”
Malam itu, tak ada ceramah. Tak ada dogma. Hanya diam.
Dan dalam diam itu, Élise menangis. Tanpa tahu kenapa.
Baca Juga: Inilah Pengantar dari Denny JA Untuk Buku Culture and Politics in Sumatra and Beyond
Tapi air mata itu menjadi awal dari sesuatu.
Bukan pertobatan. Bukan konversi. Tapi sebuah keterbukaan.
Jendela yang dibuka dari dalam.
Esai ini lahir dari ruang seperti itu.
Bukan ruang gereja, masjid, atau vihara.
Tapi ruang dalam jiwa di mana semua manusia bertemu sebagai manusia.
Buku ini bukan tentang satu agama. Ia adalah samudra.
Tempat semua sungai bermuara.
-000-
Mengapa Kita Menyelam ke Samudra Ini?
Karena di zaman ini, manusia tak lagi hanya bertanya:
“Siapa Tuhan?”
Tapi:
“Bagaimana aku tetap utuh dan bermakna di dunia yang pecah?”
Di sinilah kita mengerti bahwa spiritualitas tak bisa lagi hanya dilihat dari batas agama formal.
Kita tetap perlu menarik dari agama-agama besar—yang membawa kearifan ribuan tahun. Tapi juga dari filsafat Stoisisme, yang membentuk keteguhan batin para pemimpin kuno dan modern.
Dari psikologi positif, yang mengukur kebahagiaan dengan data dan pengalaman manusia.
Dan dari neuroscience, yang melihat spiritualitas bukan sekadar mistik, tapi denyut nyata di dalam otak dan tubuh kita.
Agama menawarkan peta menuju makna.
Filsafat Stoisisme memberi fondasi etika dan ketangguhan.
Psikologi positif menyusun langkah-langkah kebahagiaan yang bisa dilatih.
Neuroscience membuktikan bahwa semua ini bekerja—secara biologis dan eksistensial.
Itulah mengapa dalam buku ini,
kita menyelam bukan hanya di satu kedalaman.
Tapi ke dalam samudra spiritualitas
yang luas, jujur, dan terbuka untuk siapa saja yang haus akan kebenaran dan keutuhan diri.
-000-
Tentang 10 Berlian Biru Itu…
Berlian biru adalah satu harta sangat berharga yang tersimpan dalam samudra. Kata ini, berlian biru, juga bisa digunakan untuk harta tak ternilai dari samudra spiritual.
Saya menyebutnya demikian karena mereka bukan ajaran baru.
Mereka bukan rumus.
Mereka adalah kristalisasi pengalaman manusia, dari zaman ke zaman, dari timur ke barat, dari bait suci ke laboratorium.
Mereka bersinar bukan karena dogma,
tapi karena mereka benar, indah, dan mengubah hidup.
Mari kita menyelam bersama ke dalamnya—perlahan, satu demi satu dari 10 prinsip spiritual yang universal dari agama, filsafat stoicism dan positive psychology.
1. Realitas itu Bersifat Spiritual
Spiritualitas adalah kesadaran bahwa realitas bersifat ilahi. Ia melampaui agama formal, menjembatani sains dan mistik, menyatukan keragaman dalam cinta, dan mengajarkan kerendahan hati di tengah misteri.
Di balik semua nama—Allah, Brahman, Tian, Logos—hanya ada satu sumber.
Bukan untuk disepakati, tapi untuk dirasakan.
Ia bukan konsep. Ia adalah getaran batin ketika kita benar-benar diam.
Kesatuan ini bukan ide metafisika belaka.
Ia adalah landasan etika.
Jika semua berasal dari satu, maka membenci yang lain adalah melukai dirimu sendiri.
2. Menyerukan Keadilan dan Kebenaran
Keadilan dan kebenaran adalah napas spiritual peradaban. Ia melampaui agama, menuntut keberanian, dan menjadi cahaya nurani di dunia yang retak—dari Madinah kuno hingga zaman digital.
Di dunia yang retak oleh kepentingan, keadilan bukan kemewahan.
Ia adalah tulang belakang semesta.
Tanpa keadilan, agama menjadi topeng.
Tanpa kebenaran, kasih menjadi manipulasi.
Agama-agama besar tidak hanya bicara surga.
Mereka bicara hak orang miskin, pembebasan tertindas, dan kejujuran yang tak bisa dibeli.
3. Tumbuhkan dan Sebarkan Kasih Sayang
Di tengah dunia yang retak dan digital, kasih sayang tetap cahaya abadi. Ia lintas iman, menyembuhkan tubuh dan jiwa, dan satu-satunya jalan pulang menuju kemanusiaan yang utuh.
Cinta yang tak bersyarat.
Bukan hanya untuk keluarga. Bukan hanya untuk bangsa. Tapi untuk semua makhluk.
Agama menyebutnya agape, karuna, metta.
Psikologi positif menyebutnya compassionate empathy.
Neuroscience menyebutnya pelepasan oksitosin.
Tapi pada dasarnya, cinta adalah bahasa asal jiwa.
4. Tumbuhkan dari Dalam Perbuatan Baik dan Amal
Iman sejati lahir dalam tindakan. Perbuatan baik dan amal menyucikan jiwa, menyembuhkan dunia, dan menjadi bisikan ilahi—mengubah kasih menjadi kerja nyata, cinta menjadi jalan pulang manusia.
Keyakinan tanpa tindakan hanyalah gema kosong.
Berbuat baik adalah cara roh mengekspresikan dirinya di dunia nyata.
Bukan hanya amal,
tapi sikap hidup.
Ketika kita membantu tanpa motif tersembunyi, kita sebenarnya menyembuhkan diri sendiri.
5. Pengendalian dan Pensucian Diri
Pengendalian diri adalah jalan menuju kesucian jiwa, membebaskan manusia dari belenggu nafsu dan membimbingnya menemukan kedamaian batin serta cahaya ilahi dalam dirinya.
Setiap agama besar mengajarkan latihan batin.
Bukan untuk menahan, tapi untuk menyucikan.
Dalam era instan, kemampuan menunda kenikmatan menjadi bentuk spiritualitas.
Dalam dunia gaduh, menjaga pikiran tetap jernih adalah bentuk doa dalam diam.
-000-
6. Tumbuhkan Harmoni Sosial, Rangkul Perbedaan
Bagian ini menyerukan harmoni sosial lintas iman dan identitas, menegaskan bahwa dalam merangkul perbedaan, manusia menemukan persaudaraan kosmis dan jalan menuju perdamaian yang adil dan penuh cinta.
Apa artinya menjadi manusia?
Bukan darah. Bukan bahasa.
Tapi rasa saling terhubung, meski tak saling mengenal.
Saat kita menolong tanpa perlu alasan.
Saat kita menangis untuk bencana di negeri yang bahkan tak bisa kita eja.
Di situ, jiwa kita tahu:
kita satu.
7. Hadirnya Misteri dan Hidup yang Fana
Isu ini mengajak kita menerima kefanaan dan misteri hidup sebagai sumber makna terdalam—bahwa dalam rapuhnya waktu, manusia justru menemukan kebijaksanaan, cinta, dan jejak keabadian.
Kita akan mati.
Dan kesadaran itu, jika diterima tanpa takut, adalah gerbang kebijaksanaan.
Buddha menyebutnya Anicca.
Stoik menyebutnya Memento Mori.
Agama-agama Ibrahim menyebutnya Hari Kiamat.
Tapi semua menyuruh kita:
hidup sepenuh-penuhnya hari ini.
8. Ilmu Pengetahuan Sebagai Elemen Penting Spiritualitas
Bagian ini menegaskan bahwa ilmu adalah jalan spiritual—membimbing jiwa menuju kebijaksanaan. Ia memperluas iman, dan menyatukan akal dengan cinta, agar manusia memahami Tuhan dengan hati yang jernih.
Ilmu bukan ancaman iman.
Ilmu adalah bentuk cinta yang lain: cinta akan realitas.
Saat ilmu dan iman bersatu, kita tak hanya cerdas—kita bijak.
Dan kebijaksanaan bukan hafalan kitab.
Ia adalah buah dari pengalaman, refleksi, dan keberanian untuk bertanya terus-menerus.
9. Kesadaran dan Kesatuan Ekologis
Prinsip ini menyerukan kesadaran bahwa mencintai dan merawat bumi adalah bentuk tertinggi dari spiritualitas. Manusia dan alam terhubung dalam satu napas suci menuju Tuhan yang diam di semesta.
Spiritualitas yang tidak mencintai bumi adalah palsu.
Karena bumi adalah rumah pertama dan terakhir kita.
Bahkan doa pun, jika tak menyentuh tanah, hanya tinggal di udara.
Merawat bumi adalah ibadah bersama lintas iman.
10. Menuju Kesadaran Tertinggi
Pandangan ini mengajak kita menuju kesadaran tertinggi—melepaskan ego, menyelami keheningan, dan menemukan cahaya batin tempat Tuhan diam. Hidup tak hanya berjalan, tapi perlu terjaga sepenuhnya.
Tujuan akhir bukan surga jauh di sana.
Tapi kesadaran murni yang menjelma dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika ego padam,
dan kita tak lagi merasa harus menang,
saat itulah kita menyala.
Tenang. Terang. Terhubung.
-000-
Bayangkan seorang pemuda Hindu dari Bali duduk bersila di ruang chat yang sama dengan seorang Sufi dari Maroko.
Mereka tidak pernah bertemu. Mereka berasal dari budaya yang jauh berbeda. Tapi malam itu, mereka berbicara tentang Tuhan. Tentang cinta. Tentang keheningan.
Percakapan seperti itu kini terjadi setiap hari. Bukan di kuil, bukan di masjid. Tapi di ruang digital. Di balik layar ponsel yang kita genggam saat menunggu lampu merah atau menunggu kopi diseduh.
Inilah dunia kita hari ini: terhubung terus-menerus. Kita hidup dalam hiperkoneksi—keadaan ketika kita selalu online, menerima pesan, notifikasi, dan informasi tanpa henti.
Namun, justru di tengah keramaian digital itu, ada yang hilang: keheningan.
Dan spiritualitas di zaman sekarang bukan tentang menjauh dari teknologi.
Bukan tentang membuang ponsel dan kembali ke hutan.
Tapi tentang mengolah koneksi menjadi kesadaran.
Artinya begini: setiap kali kita membuka media sosial, setiap kali kita melakukan scroll (mengusap layar ke atas untuk melihat lebih banyak konten), kita bisa bertanya dalam hati:
“Apakah ini membuat jiwaku lebih tenang? Atau justru menambah kecemasanku?”
Pertanyaan ini bukan sekadar puisi. Ilmu pengetahuan pun mengiyakannya.
Di bidang neurosains—ilmu yang mempelajari otak dan sistem saraf—penelitian menunjukkan bahwa ketika kita mengetik pesan dukungan untuk orang asing, seperti “tetap semangat ya,” atau “aku mendoakanmu,” otak kita melepaskan serotonin.
Itu zat kimia alami yang membuat kita merasa tenang dan bahagia.
Efeknya mirip dengan saat kita berdoa di tempat ibadah.
Itulah yang disebut para peneliti sebagai “doa jari.”
Sebuah bentuk ibadah baru yang lahir dari era digital.
Layar gadget, seperti sungai dalam mitos Polynesia. Ia bisa menjadi pembawa kehidupan sebagaimana sungai pada ummnya. Atau ia membawa banjir, air bah yang menghancurkan.
Pilihannya ada pada kesadaran kita setiap kali membuka notifikasi.
-000-
Elise tak menjadi religius. Ia tidak berpindah iman.
Tapi ia berkata setelah enam bulan mengikuti klub meditasi:
“Aku tak tahu apakah aku menemukan Tuhan.
Tapi aku menemukan diriku sendiri,
dan itu rasanya seperti pulang.”
Buku ini ditulis untuk siapa pun yang merasa tersesat—
atau hanya ingin istirahat dari dunia yang riuh.
Ia bukan jawaban. Tapi teman perjalanan.
Yang berjalan bersama dalam senyap.
Dan mungkin, ketika malam sunyi,
dan membaca halaman-halaman ini perlahan,
kita juga akan merasa, seperti Élise:
bahwa ada sesuatu yang menemani.
Tak bisa dijelaskan,
tapi sangat nyata.
“Ketika kita mengenal diri,
kita mengenal secara tak langsung apa itu Tuhan, Brahman, Tao, Logos. Realitas yang spiritual itu satu tapi hadir dalam banyak wajah.***
Medinah, 5 April 2025
*Serial esai soal 10 Pesan Spiritual Yang Universal dari “Agama Warisan Kultural Milik Kita Bersama” bisa dibaca di FaceBook Denny JA’s World