Inilah Pengantar dari Denny JA Untuk Buku Culture and Politics in Sumatra and Beyond
- Penulis : Krista Riyanto
- Jumat, 28 Februari 2025 08:03 WIB

Antropologi mereka bukan sekadar pencatatan budaya, tetapi rekayasa sosial yang mengukuhkan kekuasaan kolonial di atas realitas masyarakat India. Kolonialisme tidak hanya menaklukkan tanah, tetapi juga narasi.
Inggris menggunakan penelitian ini untuk mengukuhkan stratifikasi sosial. Mereka memperkuat batas-batas kasta, menetapkan aturan yang membatasi mobilitas sosial, dan mendukung elite tertentu yang mau bekerja sama dengan mereka.
Sistem ini memastikan yang berada di lapisan bawah tetap di sana, sementara penguasa kolonial terus memegang kendali.
Ironinya, kasta yang sebelumnya lentur dalam realitas sosial menjadi lebih kaku di bawah sistem kolonial. Inggris tidak sekadar mencatat sistem kasta, tetapi membekukannya dalam kategori yang mereka ciptakan sendiri, mengunci identitas individu dalam batasan yang sulit ditembus.
Yang terjadi bukan sekadar eksplorasi budaya, melainkan rekayasa sosial yang mendukung kolonialisme.
Namun, dari ketidakadilan ini lahirlah perlawanan. Gandhi, Ambedkar, dan gerakan anti-kasta membalikkan ilmu yang menindas menjadi ilmu yang membebaskan.
Jika kolonialisme ingin menjadikan ilmu sebagai alat pengendalian, rakyat akan menjadikannya alat pembebasan.
Kasus lain adalah Studi tentang Suku Aborigin di Australia (Abad ke-19-20). Di bawah langit merah Australia, anak-anak Aborigin dibawa pergi.
Mereka diambil dari rumah mereka, dari keluarga mereka, dari bahasa dan budaya yang mengalir dalam darah mereka.
Para ilmuwan kolonial menyebutnya sebagai proyek “peradaban.” Studi-studi akademik mereka menyatakan bahwa anak-anak ini akan memiliki masa depan lebih baik jika dibesarkan oleh keluarga kulit putih.