DECEMBER 9, 2022
Kolom

Perjuangan Sobat Togap Marpaung dan Korupsi yang Sudah Membudaya

image
Satrio Arismunandar (Foto: koleksi pribadi)

Oleh Satrio Arismunandar*

ORBITINDONESIA.COM - Tokoh proklamator kemerdekaan Indonesia, Bung Hatta, pada 1970-an pernah menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya. Bung Hatta mengungkap kenyataan pahit tapi sulit dibantah bahwa korupsi di Indonesia telah menjadi bagian dari budaya masyarakat.

Pernyataan Bung Hatta itu menjelaskan mengapa korupsi sulit sekali diberantas. Pendekatan hukum semata-mata, seperti memperberat hukuman bagi pelaku korupsi tidak selalu efektif.

Baca Juga: Kejaksaan Tinggi Sumatra Barat Selesaikan Berkas Tersangka Korupsi Jalan Tol Padang-Pekanbaru

Maka, untuk mengatasi masalah ini, dalam disertasi S3 Filsafat saya di Fakultas Ilmu-ilmu Pengetahuan Budaya UI yang bertopik “perilaku korupsi elite politik di Indonesia” (2014), saya menekankan pentingnya pendekatan budaya selain penegakan hukum.

Saya mengusulkan pemberdayaan budaya malu (shame culture) dan budaya kebersalahan (guilt culture) sebagai strategi efektif dalam memberantas korupsi.

Budaya malu, yang menonjol di negara-negara Asia seperti China, Jepang, dan Korea, dapat mendorong individu untuk menghindari perilaku tercela karena takut kehilangan kehormatan di mata masyarakat.

Baca Juga: Romli Atmasasmita, Perumus UU Tipikor dan KPK Dorong Transparansi Penggunaan Dana Hasil Sitaan Korupsi

Sementara itu, budaya kebersalahan membuat seseorang merasa bersalah secara internal ketika melakukan tindakan yang melanggar norma atau hukum. Budaya kebersalahan ini biasanya ada di Eropa dan Amerika.

Karena “korupsi yang sudah membudaya” tadi, kita perlu mengkritisi sikap masyarakat yang masih memberikan tempat terhormat kepada pelaku korupsi, seperti mengundang mereka dalam acara-acara sosial tanpa sanksi sosial yang tegas.

Perubahan budaya ini harus dimulai dari para elite politik yang memiliki tanggung jawab sosial atas perilaku mereka, serta peran aktif masyarakat dalam menegakkan norma antikorupsi.

Baca Juga: KPK Tangkap Buronan Tersangka Korupsi KTP Elektronik Paulus Tannos di Singapura

Korupsi bukanlah monopoli orang kaya atau pejabat. Warga biasa juga bisa “berpartisipasi” dalam perilaku korupsi.

Jujur saja, pernahkan Anda memberikan “uang kebijaksanaan” pada polisi ketika Anda tertangkap melanggar aturan lalu lintas? Mungkin Anda cuma memberi Rp50 ribu atau Rp100 ribu, jumlah uang yang kecil, tetapi itu juga sebuah bentuk suap. Polisi itu telah korupsi dan kita “berpartisipasi” di dalamnya.

Korupsi semacam itu memiliki “pembenaran rasional.” Jika kita mengurus denda untuk menebus SIM di pengadilan, mungkin akan keluar uang lebih banyak.

Baca Juga: Menko Budi Gunawan: Pemerintah Selamatkan Uang Negara Rp 6,7 Triliun dari Kasus Korupsi

Belum lagi menghitung kerugian waktu dan energi, karena kita masih punya banyak pekerjaan di kantor, yang akan jadi terganggu akibat urusan remeh temeh SIM itu. Tetapi suka atau tidak, tetap saja kita telah berpartisipasi dalam korupsi.

Dari sini saja kita melihat, untuk memberantas korupsi secara tuntas itu sebuah pekerjaan besar, sangat besar. Sebelum berjuang melawan korupsi, kita sendiri harus memiliki pemahaman yang benar tentang perilaku korupsi dan memiliki sikap mental yang gigih.

Dalam konteks inilah saya mengagumi sobat saya di UI, Togap Marpaung, yang selama bertahun-tahun berjuang melawan korupsi di lembaga tempat dia bekerja sebagai ahli tenaga nuklir. Dia sudah menulis sejumlah buku yang menjadi catatan perjuangannya itu.

Baca Juga: Menko Polkam Budi Gunawan: Kementerian, BUMN dan BUMD Dapat Pendampingan Hukum Demi Cegah Korupsi

Dalam perjuangan antikorupsi yang panjang itu, Togap telah banyak berkorban. Karir kepegawaiannya rusak. Tindakannya menggugat korupsi di lembaga pastinya mengusik sejumlah pejabat yang terlibat, yang lalu membalas dengan “menghukum” Togap. Gajinya sekian tahun tertahan.

Hal-hal semacam itu pasti juga berdampak pada hal-hal lain, terutama yang menyangkut urusan keluarga, yang tidak perlu saya uraikan panjang lebar di sini. Ini sudah pasti berat bagi Togap dan keluarga.

Juga ada satu hal yang jarang orang menyadari, tetapi saya tahu karena pernah mengalaminya. Togap harus mengalami “kesepian” dalam perjuangan. Ketika Togap melakukan aksi demo seorang diri, tanpa kehadiran banyak teman, tanpa sorotan media yang meluas, itu adalah juga “perjuangan melawan sepi.”

Baca Juga: Prabowo Beri Ultimatum Kepada Oknum Korup yang Ganggu Program Kerakyatan

Ini juga tantangan mental lain yang harus dihadapi pejuang-pejuang idealis seperti Togap. Dibutuhkan keteguhan hati, kesabaran, kegigihan, keberanian, untuk berjuang seperti Togap. Dan yang juga patut digarisbawahi: kesediaan untuk berkorban.

Sambutan ini saya tulis sebagai dukungan moral buat sahabat saya, Togap Marpaung. Sebagai sahabat, saya mendoakan agar Togap berhasil memenangkan kasusnya. Tetapi jangan lupa, keberhasilan bukan cuma diukur dari sukses pribadi jangka pendek. Ada hitungan jangka panjang.

Seorang senator Amerika idealis yang sudah lama meninggal (saya lupa namanya) pernah mengatakan, kira-kira begini:

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Mohammad Hatta dan Korupsi yang Menggila

“Sesudah melihat ke tahun-tahun belakang, saya melihat bahwa kesuksesan perjuangan saya bukan terletak pada kasus-kasus atau hal-hal yang saya memenangkannya, tetapi pada kasus-kasus atau hal-hal yang saya belum berhasil memenangkannya, tetapi itu lalu menjadi inspirasi bagi orang lain untuk meneruskan dan berhasil memenangkannya.”

Pernyataan ini terdapat dalam buku John F. Kennedy, Profiles in Courage (1956).

Buku ini berisi biografi singkat delapan senator Amerika Serikat yang menunjukkan keberanian luar biasa dengan mengambil keputusan berdasarkan prinsip, meskipun menghadapi tekanan politik dan risiko kehilangan popularitas. Melalui kisah-kisah ini, Kennedy menyoroti pentingnya integritas dan keberanian moral dalam dunia politik.

Baca Juga: Perjuangan Gigih Togap Marpaung Melawan Korupsi Tampil di Buku Whistleblower & Agent of Change

Saya salut, Togap tetap bertahan setelah bertahun-tahun menghadapi berbagai ujian. Sekali lagi, selamat  berjuang untuk bro Togap!

Depok, 16 Februari 2025

Dr. Satrio Arismunandar, adalah Sekretaris Jenderal Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, penulis buku, dan wartawan senior. Saat ini menjabat Pemimpin Redaksi media online OrbitIndonesia.com dan majalah pertahanan/geopolitik/hubungan internasional ARMORY REBORN.

Baca Juga: Mahfud MD Duga Ada Praktik Korupsi Dalam Kasus Pagar Laut di Perairan Tangerang

Ia saat ini menjadi Staf Ahli di Biro Pemberitaan Parlemen, Sekretariat Jenderal DPR RI. Juga, Sekjen Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA (sejak Agustus 2021).

Ia pernah menjadi jurnalis di Harian Pelita (1986-1988), Harian Kompas (1988-1995), Majalah D&R (1997-2000), Harian Media Indonesia (2000-2001), Executive Producer di Trans TV (2002-2012), dan beberapa media lain.

Mantan aktivis mahasiswa 1980-an ini pernah menjadi salah satu pimpinan DPP SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) di era Orde Baru pada 1990-an. Ia ikut mendirikan dan lalu menjadi Sekjen AJI (Aliansi Jurnalis Independen) 1995-1997.

Baca Juga: Kejaksaan Tangkap Nader Taher Terpidana Korupsi Bank Mandiri di Bandung Setelah Buron 20 Tahun

Ia lulus S1 dari Jurusan Elektro Fakultas Teknik UI (1989), S2 Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional UI (2000), S2 Executive MBA dari Asian Institute of Management (AIM), Filipina (2009), dan S3 Filsafat dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI (2014). Disertasinya tentang perilaku korupsi elite politik di Indonesia dalam perspektif strategi kebudayaan.

Buku yang pernah ditulisnya, antara lain: Perilaku Korupsi Elite Politik di Indonesia: Perspektif Strategi Kebudayaan (2021); Lahirnya Angkatan Puisi Esai (2018); Hari-hari Rawan di Irak (2016); Mereka yang Takluk di Hadapan Korupsi (kumpulan puisi esai, 2015); Bergerak! Peran Pers Mahasiswa dalam Penggulingan Rezim Soeharto (2005); Megawati, Usaha Taklukkan Badai (co-writer, 1999); Di Bawah Langit Jerusalem (1995); Catatan Harian dari Baghdad (1991); Antologi 50 Opini Puisi Esai Indonesia (Antologi bersama, 2018); Kapan Nobel Sastra Mampir ke Indonesia? (2022); Direktori Penulis Indonesia 2023 (2023).

Kontak/WA: 0812 8629 9061. E-mail: sawitriarismunandar@gmail.com ***

Halaman:

Berita Terkait