DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Merekam Sejarah Melalui Puisi Esai

image
Ilustrasi (Istimewa)

yang menunduk diam,

seolah malu untuk menjawab.

Bait ini adalah refleksi dari kenyataan pahit. Seorang petani bekerja keras, tetapi ia tidak merasakan hasilnya. Padi yang ia tanam dijual ke negeri lain, sementara ia sendiri harus membeli beras dengan harga yang kian melambung.

Sudah lebih dari 79 tahun Indonesia merdeka. Gerakan Marhaen sudah didengungkan berulang-ulang. Tapi apa yang terjadi?

Di tahun 2025, negeri ini masih bergantung pada impor. Garam kita asin di laut, tetapi datang ke meja makan dengan bendera asing. Beras tumbuh di tanah ini, tetapi banyak beras negeri lain yang kita makan.

Marhaenisme pernah menjadi api yang membakar semangat rakyat. Tetapi kini, ia hanya menjadi kenangan yang samar, tertelan oleh sistem yang lebih besar dari para petani itu sendiri.

Jika Bung Karno berdiri di tengah pasar hari ini, melihat negeri ini yang kaya akan sawah, tapi tak kunjung swasembada beras, apa yang akan ia katakan?

Data menunjukkan dalam situasi sawah di Indonesia begitu luas, beras masih impor. Pada tahun 2024, Indonesia mengimpor 4,52 juta ton beras, meningkat 47,7 persen dari 2023 yang sebesar 3,06 juta ton, menunjukkan belum tercapainya swasembada beras.3

-000-

Tak hanya soal swasembada pangan, tapi juga ironi di dunia pendidikan. Kita bertemu dengan tokohnya: Ki Hajar Dewantara, yang diekspresikan dalam puisi esai berjudul: Tapi Kecerdasan Kami Tergolong Rendah, Pak Guru.

Halaman:

Berita Terkait