Tumbangnya Rezim Presidential Threshold dan Pilpres 2029
- Penulis : M. Imron Fauzi
- Minggu, 12 Januari 2025 07:10 WIB
Oleh Amidhan Shaberah*
ORBITINDONESIA.COM - Rezim presidential threshold (PT) 20 persen tumbang. Seluruh rakyat Indonesia tersenyum lebar. Bersamaan terbitnya sinar demokrasi yang makin cerah di pilpres mendatang.
Di Pilpres 2029 nanti, partai peserta pemilu -- meski baru terdaftar dan ikut kontestasi pertama kali -- berhak dan harus mengajukan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Jika tidak, partai tersebut dapat hukuman: Periode berikutnya, tidak boleh ikut pemilu. Luar biasa!
Baca Juga: Yusril Ihza Mahendra: Putusan MK tentang Presidential Threshold adalah Tragedi Demokrasi
Kenapa bisa terjadi? Ya. Semua itu berkat keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 2 Januari 2025 lalu. MK menghapus ketentuan PT dari 20 persen menjadi 0 (nol) persen. Ini artinya, setiap partai politik peserta Pemilu sekecil apa pun berhak menyodorkan capres dan cawapres pilihannya pada Pilpres 2029.
Seperti kita ketahui, dalam sidangnya 2 Januari 2025 lalu, MK mengabulkan penghapusan PT atau ambang batas minimal suara hasil Pemilu untuk pencalonan presiden dan wapres yang tertuang pada Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017.
Penghapusan tersebut merujuk amar Putusan MK No 62/PUU-XXII/2024 yang dibacakan hakim di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025. Ini mengejutkan banyak pihak. Sebab sebelumnya, gugatan terhadap PT kandas lebih dari 30 kali di tangan MK.
PT adalah ambang batas minimal perolehan suara yang harus dipenuhi oleh partai politik atau koalisi partai politik di parlemen untuk bisa mencalonkan kandidat presiden dan wakil presiden. Dalam aturan PT lama, partai atau koalisi harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu legislatif.
Jelas, ambang batas PT tersebut terlalu berat bagi parpol. Tak hanya itu, PT di atas mereduksi demokrasi yang real. Itulah sebabnya, PT harus direvisi. Dan revisinya oleh MK cukup mengejutkan. Ambang batasnya dijadikan nol persen.
PT dihapus bukan tanpa alasan, kata MK. Merujuk laporan situs Katadata, MK mempertimbangkan bahwa ambang batas PT 20 persen ternyata menyempitkan ruang gerak demokrasi sehingga bertentangan dengan UUD 1945.
Baca Juga: Survei EPI Center: Gerindra Menyalip PDIP, PSI Berpeluang Lolos Threshold ke Senayan
Pertimbangan berikutnya, pengusungan pasangan capres dan cawapres berdasarkan ambang batas tidak cukup efektif menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu. Itulah yang terlihat dari satu periode ke periode pemilu/pilpres di masa lalu.
Lebih lanjut, mendominasinya partai politik tertentu selama ini berdampak pada terbatasnya hak konstitusional partai politik lain untuk mengusulkan pasangan capres dan cawapres. Dampaknya penyelenggaraan Pilpres cenderung hanya diikuti pasangan calon tertentu yang jumlahnya terbatas.
Istilah Betawinya, lu lagi lu lagi. Bosan. Fenomena itu tak hanya membosankan. Tapi juga mencemaskan. Kenapa? Setiap pemilu masyarakat terbelah. Muncul polarisasi. Inilah yang terjadi dalam pilpres langsung di era rezim PT.
Baca Juga: Tim Hukum Partai Gerindra Ajukan Gugatan ke Mahkamah Konstitusi
Sebelum putusan 2 Januari 2025, MK selalu berpegang pada argumen bahwa PT adalah bagian dari open legal policy. Biarkan Parlemen yang mengurusnya. Tapi kali ini pendapat MK berubah.
Kini MK melihat PT ternyata memasung demokrasi dan menjadi "mainan" partai politik di parlemen. Yang lebih merisaukan, akibat PT, soliditas sosial retak. Masyarakat terbelah. Terpolarisasi oleh pilihan capres cawapres.
PT -- sebagaimana tercantum di Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu -- menurut MK tak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat. Tapi juga melanggar moralitas dan rasionalitas. Bahkan, PT oleh MK dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Baca Juga: Kubu Ridwan Kamil-Suswono dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana Tidak Menggugat ke Mahkamah Konstitusi
Alasan di atas itulah yang menjadi dasar MK untuk bergeser dari pendirian sebelumnya. PT lama, yang 20 persen, merusak demokrasi dan menghilangkan hak rakyat untuk memilih pemimpin negara yang sesuai kriterianya.
"Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas. Tapi lebih mendasar lagi, MK berpendapat rezim presidential threshold berapa pun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," kata Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024.
Pada pertimbangan hukumnya, MK telah mencermati beberapa pilpres yang selama ini -- dalam pengusulan capres dan cawapresnya -- didominasi partai politik tertentu yang suaranya besar di parlemen. Dan PT menjadi instrumen partai besar untuk menghilangkan hak pilih rakyat dalam partai kecil pada konstatasi pilpres. Ini sama saja dengan membatasi hak konstitusional pemilih (rakyat) mendapatkan capres dan cawapres alternatif yang sesuai pilihannya.
Baca Juga: BREAKING NEWS: Mahkamah Konstitusi Hapus Aturan Presidential Threshold dalam Pilpres
Selain itu, Mahkamah juga menilai bahwa dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas PT berpersentase tertentu, terdapat kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pilpres hanya diikuti 2 (dua) pasangan calon. Padahal, lanjut Mahkamah, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilihan langsung menunjukkan, dengan hanya 2 (dua) pasangan capres dan cawapres, masyarakat mudah terpolarisasi.
Jika hal itu tidak diantisipasi, jelas akan mengancam kebhinnekaan dan persatuan Indonesia. Bahkan jika kondisi tersebut dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pilpres hanya menyuguhkan calon tunggal. Bila ini terjadi, demokrasi mati.
Kecenderungan demikian, sudah terlihat dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Dari waktu ke waktu, proses pilkada mengarah pada munculnya calon tunggal. Citra demokrasinya dimanifestasikan dengan dua kandidat kepala daerah. Satu manusia, satu lagi kotak kosong.
Baca Juga: Mahkamah Konstitusi Izinkan Parpol Usung Capres dan Cawapres Sendiri
Dari gambaran tersebut, penghapusan rezim PT seharusnya tidak terbatas pada pilpres. Tapi juga pilkada. Hal yang sama seharusnya berlaku pula di parlemen. Ini artinya, parliamentary threshold harus diminimalisir, kalau tak bisa dinolkan.
Pada Pemilu Legislatif 2024, misalnya, parliamentary threshold 4 persen. Padahal pada Pemilu 2019, hanya 3,5 persen. Bahkan pada Pemilu sebelumnya hanya 3,0 persen. Parliamentary threshold yang besar, seperti 4 persen, ternyata berdampak luas. Banyak partai politik terlempar dari Senayan. Atau tidak bisa menempatkan wakilnya di DPR RI.
Partai tua yang punya sejarah panjang dalam dunia politik Indonesia seperti PPP (Partai Persatuan Pembangunan) tahun 2024-2029, misalnya, tidak punya wakil di Senayan.
Baca Juga: Partai Perindo: Putusan MK tentang Presidential Threshold Kemenangan Bagi Rakyat Indonesia
Begitu pula partai-partai kecil lain yang mewakili konstituen tertentu seperti Partai Bulan Bintang, Partai Buruh, dan Partai SoIidaritas Indonesia -- tidak punya wakil di parlemen pusat. Ini terjadi akibat besarnya parliamentary threshold tadi.
Dampaknya, demokrasi retak. Banyak aspirasi masyarakat yang tak tersalurkan ke pemerintah. Untuk mengatasi hal itu, UU Pemilu Legislatif pasca PT nol persen harus diperbaiki. Misal, parliamentary threshold harus diminimalisir agar banyak partai punya wakil di DPR Senayan. Dengan demikian, demokrasi makin bagus. Semoga!
*KH. DR. Amidhan Shaberah, Komisioner Komnas HAM 2002-2027/LEMKAJI MPR RI 2014-2019 ***