
Oleh Gunawan Trihantoro, Ketua Satupena Kabupaten Blora dan Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jawa Tengah
ORBITINDONESIA.COM - Di tengah kecanggihan teknologi dan ledakan informasi, sastra sering dianggap usang. Padahal, ia bukan sekadar pelipur lara, melainkan detak nurani peradaban.
Ilmu pengetahuan mengajari kita cara menciptakan dan mengubah. Namun sastra mengajarkan kita untuk memahami dan merasa.
Jika sains bertanya bagaimana dunia bekerja, maka sastra bertanya untuk siapa dunia bekerja. Pertanyaan ini menuntun manusia menemukan makna, bukan sekadar hasil.
Kita bisa membangun gedung pencakar langit dan menciptakan robot cerdas. Tapi tanpa sastra, siapa yang akan mengingat perasaan dalam sunyi dan cinta yang tertinggal?
Sastra bukan hanya catatan kata, tapi percikan batin manusia yang paling jujur. Dalam setiap cerita, ia menyimpan luka sejarah dan harapan masa depan.
Puisi Sapardi mengajarkan keheningan yang bermakna. Cerpen Pramoedya menampar kesadaran bangsa yang terlena.
Ahmad Tohari dengan Lasi-nya menyuarakan hati kaum terpinggirkan. Sastra bukan hanya refleksi sosial, tapi juga protes halus yang elegan.
Orang sering menganggap sastra tak sepraktis matematika atau biologi. Namun sastra menawarkan yang tak dimiliki ilmu eksakta, yakni empati.
Ilmuwan mungkin menemukan vaksin, tapi sastrawan menciptakan kesadaran moral. Ketika data berhenti menjelaskan, sastra datang memeluk dan merangkul.