Tumbangnya Rezim Presidential Threshold dan Pilpres 2029
- Penulis : M. Imron Fauzi
- Minggu, 12 Januari 2025 07:10 WIB
Kecenderungan demikian, sudah terlihat dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Dari waktu ke waktu, proses pilkada mengarah pada munculnya calon tunggal. Citra demokrasinya dimanifestasikan dengan dua kandidat kepala daerah. Satu manusia, satu lagi kotak kosong.
Dari gambaran tersebut, penghapusan rezim PT seharusnya tidak terbatas pada pilpres. Tapi juga pilkada. Hal yang sama seharusnya berlaku pula di parlemen. Ini artinya, parliamentary threshold harus diminimalisir, kalau tak bisa dinolkan.
Pada Pemilu Legislatif 2024, misalnya, parliamentary threshold 4 persen. Padahal pada Pemilu 2019, hanya 3,5 persen. Bahkan pada Pemilu sebelumnya hanya 3,0 persen. Parliamentary threshold yang besar, seperti 4 persen, ternyata berdampak luas. Banyak partai politik terlempar dari Senayan. Atau tidak bisa menempatkan wakilnya di DPR RI.
Baca Juga: Yusril Ihza Mahendra: Putusan MK tentang Presidential Threshold adalah Tragedi Demokrasi
Partai tua yang punya sejarah panjang dalam dunia politik Indonesia seperti PPP (Partai Persatuan Pembangunan) tahun 2024-2029, misalnya, tidak punya wakil di Senayan.
Begitu pula partai-partai kecil lain yang mewakili konstituen tertentu seperti Partai Bulan Bintang, Partai Buruh, dan Partai SoIidaritas Indonesia -- tidak punya wakil di parlemen pusat. Ini terjadi akibat besarnya parliamentary threshold tadi.
Dampaknya, demokrasi retak. Banyak aspirasi masyarakat yang tak tersalurkan ke pemerintah. Untuk mengatasi hal itu, UU Pemilu Legislatif pasca PT nol persen harus diperbaiki. Misal, parliamentary threshold harus diminimalisir agar banyak partai punya wakil di DPR Senayan. Dengan demikian, demokrasi makin bagus. Semoga!
*KH. DR. Amidhan Shaberah, Komisioner Komnas HAM 2002-2027/LEMKAJI MPR RI 2014-2019 ***