DECEMBER 9, 2022
Kolom

Tumbangnya Rezim Presidential Threshold dan Pilpres 2029

image
KH. DR. Amidhan Shaberah, Komisioner Komnas HAM 2002-2027/LEMKAJI MPR RI 2014-2019 (Foto: Youtube)

Lebih lanjut, mendominasinya partai politik tertentu selama ini  berdampak pada terbatasnya hak konstitusional partai politik lain untuk mengusulkan pasangan capres  dan cawapres. Dampaknya penyelenggaraan Pilpres cenderung hanya diikuti pasangan calon tertentu yang jumlahnya terbatas. 

Istilah Betawinya, lu lagi lu lagi. Bosan. Fenomena itu tak hanya membosankan. Tapi juga mencemaskan. Kenapa? Setiap pemilu masyarakat terbelah. Muncul polarisasi. Inilah yang terjadi dalam pilpres langsung di era rezim PT. 

Sebelum putusan 2 Januari 2025, MK selalu berpegang pada argumen bahwa PT adalah bagian dari open legal policy. Biarkan Parlemen yang mengurusnya. Tapi kali ini pendapat MK berubah. 

Baca Juga: Yusril Ihza Mahendra: Putusan MK tentang Presidential Threshold adalah Tragedi Demokrasi

Kini MK melihat PT ternyata memasung demokrasi dan menjadi "mainan" partai politik di parlemen. Yang lebih merisaukan, akibat PT, soliditas sosial retak. Masyarakat terbelah. Terpolarisasi oleh pilihan capres cawapres. 

PT --  sebagaimana tercantum di Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017  tentang Pemilu -- menurut MK tak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat. Tapi juga melanggar moralitas dan rasionalitas. Bahkan, PT oleh MK dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. 

Alasan di atas itulah yang menjadi dasar  MK untuk bergeser dari pendirian sebelumnya. PT lama, yang 20 persen, merusak demokrasi dan menghilangkan hak rakyat untuk memilih pemimpin negara yang sesuai kriterianya. 

Baca Juga: Anthony Budiawan: Melanggengkan Presidential Threshold, Putusan Mahkamah Konstitusi Melanggar Konstitusi

"Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas. Tapi lebih  mendasar lagi, MK berpendapat rezim presidential threshold berapa pun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," kata Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024.

Pada pertimbangan hukumnya, MK  telah mencermati beberapa pilpres yang selama ini -- dalam pengusulan capres dan cawapresnya -- didominasi partai politik tertentu yang suaranya besar di parlemen. Dan PT menjadi instrumen partai besar untuk menghilangkan hak pilih rakyat dalam partai kecil pada konstatasi  pilpres. Ini sama saja dengan membatasi hak konstitusional pemilih (rakyat) mendapatkan capres dan cawapres alternatif yang sesuai pilihannya. 

Selain itu, Mahkamah juga menilai bahwa dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas PT berpersentase tertentu, terdapat kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pilpres hanya diikuti 2 (dua) pasangan calon. Padahal, lanjut Mahkamah, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilihan langsung menunjukkan, dengan hanya 2 (dua) pasangan capres dan cawapres, masyarakat mudah terpolarisasi. 

Baca Juga: Survei EPI Center: Gerindra Menyalip PDIP, PSI Berpeluang Lolos Threshold ke Senayan

Jika hal itu tidak diantisipasi, jelas akan mengancam kebhinnekaan dan persatuan Indonesia. Bahkan jika kondisi tersebut dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pilpres hanya menyuguhkan calon tunggal. Bila ini terjadi, demokrasi mati. 

Halaman:

Berita Terkait