DECEMBER 9, 2022
Kolom

Irsyad Mohammad: SATUPENA, Satu AI, dan Beberapa Visi dan Mimpi

image
Irsyad Mohammad (kiri). (Foto: Koleksi pribadi)

Di masa silam ketika era media cetak sedang jaya-jayanya, banyak para penulis bisa menuliskan opini hingga para penyair bisa mengirimkan cerpen dan puisinya ke media cetak kemudian mereka mendapatkan honor. Bahkan para pembaca yang membeli media cetak, misalkan membeli koran kemudian mereka bisa mengenal nama-nama para penyair dan cerpenis, bahkan turut bisa mengenal nama pengamat politik hingga kritikus kebudayaan di koran.

Secara positif peran media cetak pun turut membesarkan dan memberi panggung kepada mereka yang menulis, sebab untuk suatu tulisan bisa naik ke media cetak terdapat seleksi yang lebih ketat ketimbang di media online.

Berbeda dengan media online yang pembaca bisa memilih sendiri berita dan tema apa yang hendak mereka baca di media online, sedangkan apabila pembaca membeli koran cetak atau majalah maka mereka akan cenderung membaca semua tulisan yang terpapar di media tersebut meski hal tersebut bukan minat utama mereka. 

Baca Juga: Diskusi SATUPENA, Achmad Fachrodji: Balai Pustaka Kini Menjadi IP Licensing Company dan Bagian Industri Kreatif

Bahkan di era media online, siapa pun bisa menulis apa pun yang dikehendakinya terlepas dari kualitasnya. Misalkan tulisannya tidak dimuat di media online mainstream, ia bisa menulis di media sosial ataupun di platform lainnya dengan cuma-cuma.

Walhasil legitimasi akan validitas informasi pun berkurang. Sebab siapa pun bisa memuat pendapatnya tanpa diseleksi oleh redaksi. Di satu sisi untuk kebebasan berpendapat hal ini mungkin baik, namun untuk legitimasi dunia kepenulisan tidak selalu baik.

Siapa pun pada akhirnya bisa menuliskan gagasannya ataupun menerbitkan buku mereka sendiri melalui e-book, namun royalti yang mereka dapat tidak akan sebesar di masa silam. Pada akhirnya para penulis harus siap bahwa mereka menulis bukan untuk mencari penghasilan, melainkan hanya untuk menyampaikan gagasannya ke dunia.

Baca Juga: Tafsir Humanis Ibadah Kurban: Respon atas Esai Denny JA soal Kurban Hewan di Era Animal Right

Singkatnya kalau menggunakan istilah Ketum Denny JA: “menulis hanya untuk kepuasan batin.” Pada akhirnya para penulis harus siap menerima kenyataan bila karya mereka dibajak baik secara cetak ataupun digital, ataupun dibagikan cuma-cuma sedangkan para penulis tidak mendapatkan nilai komersial darinya, para penulis hanya bisa mengelus dada sembari menghela napas sembari berkata: “yasudahlah, paling tidak karya saya ada yang baca dan hitung-hitung sedekah serta amal jariyah buat orang lain.”

Hal ini tentunya sangat miris, sebab para penulis tidak lagi bisa hidup hanya dari menulis dan harus mencari pekerjaan lain. Celakanya bila hal ini menimpa kepada orang yang hanya punya kemampuan menulis, serta tidak punya keahlian lain. Walhasil mereka berakhir menjadi orang yang Yuval Noah Harari katakan sebagai useless class akibat pekerjaannya tergusur oleh AI.

Pun bila kita melihat para penulis yang masuk 5 besar penulis terkaya di dunia, ialah mereka para penulis yang sempat berkembang serta merasakan kejayaan media cetak. Mereka bisa kaya karena karya mereka pun kemudian difilmkan, diangkat dalam video game sehingga mereka dapat royalti.

Baca Juga: SATUPENA Akan Diskusikan Topik Bagaimana Menjalani Hari Tua dengan Narasumber Psikolog Tika Bisono

Melihat semua perkembangan yang mengkhawatirkan ini, tentunya bukan tindakan yang bijak bila selalu menyalahkan perkembangan zaman. Pada dasarnya setiap zaman terdapat jiwa zamannya sendiri (zeitgeist), bila di masa silam dunia media cetak adalah zeitgeist maka para penulis harus dengan berat hati mengakui bahwa zeitgeist masa kini ialah media digital.

Halaman:
1
2
3
4
5

Berita Terkait