DECEMBER 9, 2022
Kolom

Tafsir Humanis Ibadah Kurban: Respon atas Esai Denny JA soal Kurban Hewan di Era Animal Right

image
Pendiri Muslimah Reformis Foundation Musdah Mulia.

Oleh: Musdah Mulia

ORBITINDONESIA.COM - Denny JA telah menyatakan kegalauannya dalam tulisan renungan Idul Adha berjudul “Akan Menguatkah: Tafsir yang Tak Lagi Harus Hewan Dijadikan Kurban Ritus Agama". 

Sejujurnya, kegalauan serupa sudah sejak lama saya rasakan. Itulah mengapa saya begitu antusias merespons gagasan Denny JA untuk mengubah tafsir terkait wujud kurban. Artinya, tak lagi harus hewan dijadikan kurban ritus agama. Sejumlah alasan dapat disebutkan, baik teologis, sosiologis, maupun psikologis.

Baca Juga: OPINI: Kerja Kerakyatan Kementeriam Hukum dan Hak Asasi Manusia Layak Ditiru Kementerian dan Lembaga Lain

Setiap menjelang Idul Adha, batin saya tersiksa melihat kerumunan hewan yang siap dipotong. Kerumunan itu baunya menyengat dan bunyi suaranya terdengar menakutkan. 

Beberapa kali saya mengalami mimpi buruk membayangkan sadisnya penyembelihan hewan tersebut meskipun tidak pernah menyaksikannya secara langsung. 

Saya mendengar cerita-cerita horor terkait hewan yang disembelih. Misalnya, pernah kejadian di kampung, seekor sapi kurban masih bisa berlari dan menabrak rumah setelah disembelih.

Baca Juga: Opini Denny JA: JAKARTA MENANGIS

Dulu saya mengira perasaan galau dan takut itu muncul hanya karena saya tidak mengonsumsi daging hewan, kecuali seafood. Belakangan baru sadar, jika perasaan serupa juga dialami banyak orang, termasuk mereka yang senang mengonsumsi kuliner daging. 

Hanya saja, umumnya mereka yang galau belum berani bersuara karena takut dianggap berdosa. Takut dituduh melanggar ketentuan agama dan seterusnya. Apalagi, masyarakat agama belum terbiasa menerima pendapat atau tafsir berbeda dari suara mayoritas, khususnya dalam masalah keagamaan. 

Bahkan, ada kecenderungan memutlakkan suatu pendapat atau tafsir mainstream dalam masyarakat sehingga sangat tidak mudah menawarkan tafsir baru.

Baca Juga: OPINI Denny JA: Mengapa Membatasi Usia Capres dan Cawapres Maksimal 65 Tahun adalah Kesalahan Fatal?

Tahun 2004 melalui buku Muslimah Reformis, saya menawarkan pandangan alternatif dalam pelaksanaan kurban, yaitu menggantinya dengan uang seharga hewan kurban. 

Uang itulah yang dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan sesuai aturan syariat. Saya tidak sendirian dalam pandangan ini. Bersyukur kemudian, muncul gagasan Denny JA. 

Saya percaya akan bermunculan pendapat lain yang sejalan. Karena itu, perlu kolaborasi di antara sejumlah elemen masyarakat agar tafsir baru ini digaungkan lebih nyaring sehingga masyarakat memiliki pilihan alternatif dalam menjalankan ibadah kurban. 

Baca Juga: OPINI Denny JA: Kemarahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jebakan Batman untuk Anies-Cak Imin?

Namun, sebelum itu agaknya penting menjelaskan terlebih dahulu hal-hal berikut agar tafsir baru yang saya sebut dengan tafsir humanis dapat diterima secara luas. Bagaimana memahami Islam? Apa visi dan misi penciptaan kita sebagai manusia? Dan bagaimana menyelami hakikat ibadah kurban?

Bagaimana memahami Islam?

Islam adalah agama yang diharapkan menjadi rahmatan li al-‘âlamîn, membawa rahmat dan kemaslahatan bukan hanya bagi semua manusia, tetapi juga bagi semua makhluk di alam semesta (QS. al-Anbiyâ:107). 

Baca Juga: Forum Guru Besar Indonesia Imbau Akademisi Hindari Penggiringan Opini Elektoral

Pesan kerahmatan ini tersebar dalam banyak teks-teks suci, baik al-Qur’an maupun hadis. Kata rahmah, rahmân, rahim, dan derivasinya disebut berulang-ulang dalam jumlah yang begitu besar. Jumlahnya lebih dari 90 ayat. 

Makna genuine kata itu adalah kasih sayang atau cinta kasih. Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah menyatakan: “Anâ ar-rahmân. Anâ ar-rahîm” (Akulah Sang Maha Penyayang. Akulah Sang Maha Pengasih). Ungkapan itu menunjukkan betapa Tuhan menginginkan manusia mengikuti sifatnya yang paling mengemuka, yakni pengasih dan penyayang.

Fungsi kerahmatan ini dielaborasi oleh Nabi Muhammad Saw dengan pernyataannya yang terang benderang: innama bu’itstu li utammima makârim al-akhlâq (Aku diutus Tuhan semata untuk membentuk moralitas kemanusiaan yang luhur). 

Baca Juga: Jami'yah Batak Muslim Indonesia Salurkan Hewan Kurban ke Pelosok Sumatra Utara Pada Iduladha 1445 H

Salah satu bentuk rahmat itu adalah tidak menyiksa hewan dan menjadikannya kurban ritus agama.

Memang betul terdapat sejumlah teks suci berupa ayat dan hadis yang memerintahkan berkurban dengan penyembelihan hewan. Namun, sudah waktunya bagi umat Islam tidak lagi membaca teks-teks suci itu secara harfiah, melainkan membacanya secara lebih kritis dengan menggali pesan moral yang terkandung di balik teks-teks tersebut. 

Bukankah dalam beragama kita hanya diperintahkan menyembah kepada Allah Swt? Kita tidak diperintahkan menyembah teks-teks suci agama, sesuci apa pun teks tersebut.

Baca Juga: Polisi Bersihkan Rumah Ibadah di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur Sambut Hari Bhayangkara ke-78

Visi dan misi penciptaan manusia

Untuk memahami makna hakiki ibadah kurban, penting terlebih dahulu menghayati visi dan misi penciptaan manusia. Untuk tujuan apa manusia diciptakan dan apa misi utamanya? 

Al-Qur’an mengajarkan, visi penciptaan manusia adalah menjadi khalifah fil ardh atau pengelola di bumi (QS. al-Baqarah: 30; Shad: 26). Sebagai khalifah manusia bertanggung jawab mengelola, menata, memperbaiki dan memimpin--paling tidak bagi dirinya sendiri--demi hidup bermakna bagi semesta. 

Baca Juga: Sekjen PBB Antonio Guterres Akan Serahkan Opini Hukum Mahkamah Internasional ke Majelis Umum

Adapun misi penciptaan manusia adalah melaksanakan amar makruf nahi munkar, saya mengartikannya dengan upaya-upaya transformasi dan humanisasi (QS. al-Tawbah: 71).

Sebagai khalîfah di bumi, tugas manusia sangat jelas, yakni mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian, dan kemaslahatan bagi sesama manusia, bahkan semua makhluk di alam semesta (rahmatan li al-‘âlamîn). 

Satu hal paling penting untuk menuju ke sana adalah adanya kesadaran menegakkan kebenaran, keindahan, dan keadilan. Kesadaran itulah yang mendorong manusia senantiasa melakukan upaya-upaya transformasi (amar ma’rûf), yakni meningkatkan kualitas diri, kualitas iman dan amal. Kesadaran itu pula yang mengingatkan manusia untuk selalu melakukan upaya humanisasi atau memanusiakan sesama (nahi munkar), di antaranya melalui kegiatan edukasi, publikasi, dan advokasi.

Baca Juga: Syaefudin Simon: Amidhan dan Islamic Center Jonggol

Agar manusia dapat mewujudkan visi dan misi tersebut, Tuhan menganugerahkan akal budi sehingga mampu berpikir kritis, memilih dan memilah mana yang baik, benar, dan bermanfaat. Akal inilah yang membedakan manusia dari semua makhluk Tuhan lainnya, dan itu juga yang membuat manusia istimewa sehingga menerima mandat sebagai khalifah fil ardh. 

Itulah sebabnya mengapa kerja-kerja akal budi manusia mendapatkan apresiasi yang tinggi, seperti dinyatakan dalam al-Qur’an.

Bahkan, ayat al-Qur’an yang pertama turun adalah iqra’. Sayangnya kebanyakan umat Islam hanya memahami kata itu sebatas membaca. Menurut saya, kata iqra’ mengandung pengertian luas. 

Baca Juga: Samsung Electronics Indonesia Rilis Gaming Package Galaxy M15 5G, Berkolaborasi dengan Garena Indonesia

Itu adalah perintah bagi manusia untuk membangun peradaban melalui penguatan literasi, termasuk literasi keagamaan. Manusia harus menggunakan seoptimal mungkin seluruh daya pikirnya secara kritis dengan tetap mengacu kepada tuntunan kitab suci. Karena itulah fondasi utama untuk memajukan kebudayaan dan peradaban.

Begitu pentingnya nalar kritis dalam beragama sehingga Rasulullah menjanjikan pahala bagi mereka yang melakukan ijtihad. Ijtihad adalah memikirkan secara kritis dan sungguh-sungguh terhadap suatu problema dengan tujuan mencari solusi terbaik bagi kemaslahatan umat manusia. 

Jika hasil ijtihad itu benar, maka pelaku ijtihad dijanjikan dua pahala, namun jika hasilnya keliru pelaku ijtihad tetap mendapatkan satu pahala. Sebab, dia telah menggunakan nalar kritisnya secara optimal. Tidak heran jika dijumpai sejumlah ayat dalam al-Qur’an yang mendorong penggunaan akal budi dan nalar kritis serta apresiasi terhadap ilmuwan dan mereka yang menekuni kerja-kerja penelitian dan penguatan literasi (QS. al-Mujadalah: 11).

Makna Hakiki Kurban

Al-Qur’an menginformasikan bahwa ibadah kurban bukanlah monopoli Islam, melainkan sudah menjadi tradisi dari berbagai agama sebelumnya (QS. al-Hajj: 34). 

Kata kurban berasal dari bahasa Arab qurban dari akar kata qaraba-yuqaribu-qurbanan-qaribun, artinya dekat. Ibadah kurban bermakna upaya pendekatan diri kepada Allah swt dengan menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi kedekatan kepada-Nya. 

Penghalang untuk mendekatkan diri itulah yang disebut berhala dalam berbagai bentuknya, seperti ego, nafsu, cinta kekuasaan, cinta harta-benda dan lain-lainnya secara berlebihan. 

Manusia hendaknya selalu menjalin kedekatan dengan Allah Swt dan merasakan kebersamaan dengan-Nya setiap saat. Karena manusia mudah sekali teperdaya oleh kenikmatan sesaat yang dijumpai dalam perjalanan hidupnya, Tuhan Yang Maha Penyayang memberikan hidayah berupa ajaran agama agar manusia tidak salah arah.

Secara bahasa kata adlha, udlhiyah atau jamaknya dlahaya bermakna hewan sembelihan atau menyembelih binatang pada pagi hari. Jadi definisi kurban adalah hewan yang disembelih pada hari raya kurban (Idul Adha). Dalam ilmu fikih, kurban berarti penyembelihan hewan tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Swt, dilakukan setelah shalat Idul Adha dan tiga hari tasyriq berikutnya.

Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber pokok hukum Islam banyak sekali menyebutkan perintah ibadah kurban, di antaranya QS. al-Hajj: 34. Tujuan berkurban sangat jelas, untuk mendekatkan diri kepada Allah swt sebagai tanda syukur atas segala nikmat dan karunia-Nya. 

Adapun landasan hadisnya, antara lain hadis Nabi: “Hai manusia, sesungguhnya setiap tahun kalian semua disunahkan berkurban” (HR. Abu Dawud). Berdasarkan dalil-dalil teologis tersebut, jumhur ulama menetapkan hukum kurban adalah sunah muakkad, bukan wajib.

Al-Qur’an menjelaskan, ibadah kurban ini dilakukan demi meneladani sunnah Nabi Ibrahim as, dan mengenang peristiwa agung terkait perintah Tuhan kepada Ibrahim untuk menyembelih putranya sebagai bukti ketaatan dan keimanan beliau. 

Dan ketika Ibrahim hendak menyembelih putranya, Tuhan dengan sekejap menggantinya dengan seekor domba (QS. al-Shafaat: 102-107). Dari sinilah ibadah kurban dimulai. Ulama sepakat bahwa hewan kurban adalah hewan ternak berkaki empat dan halal dimakan, seperti unta, sapi, kerbau, kambing, domba atau biri-biri (QS. al-Hajj: 34). 

Hewan yang dijadikan kurban itu hendaknya sehat, bagus, bersih dan enak dipandang mata, mempunyai anggota tubuh yang lengkap, tidak cacat, seperti pincang, rusak kulit, dan sebagainya (HR. Abu Dawud dan Ibn Majah).

Peristiwa yang dialami Ibrahim itu mengajarkan manusia bahwa semua yang dia miliki hanyalah titipan Allah Swt. Manusia bukanlah pemilik absolut. Segala yang kita miliki berupa anak, harta benda dan sebagainya adalah amanah Allah yang harus dijaga dan dimanfaatkan seefektif mungkin bagi kemaslahatan bersama. 

Harta bukan untuk ditimbun seperti harta karun. Islam membolehkan manusia memiliki harta sebanyak mungkin, tapi untuk didistribusikan bagi kemaslahatan manusia dan alam semesta. 

Intinya, Islam melarang kemelekatan manusia dengan sesuatu yang bersifat material dan non-material. Manusia harus mampu memerdekakan diri dan jiwanya dari ikatan dan belenggu apa pun, hanya terikat pada Allah semata. Itulah pesan moral yang hakiki dari peristiwa awal kurban.

Pesan moral ibadah kurban adalah pentingnya berbagi dan berempati (caring and sharing) pada sesama, terutama mereka yang sangat membutuhkan. Dijumpai banyak ayat dan hadis Nabi mengingatkan manusia agar tidak egois dan serakah, jangan hanya memikirkan diri sendiri. 

Jangan membuang-buang makanan, jangan hidup mubazir dan menyia-nyiakan sumber daya alam. Islam amat sangat menekankan pentingnya hidup berhemat dan menjaga ekosistem agar lingkungan tetap asri dan terjaga sehingga dapat dinikmati generasi berikutnya.

Pertanyaan kritis muncul, mungkinkah pelaksanaan ritus kurban tanpa penyembelihan hewan? Apakah pelaksanaan ritus kurban yang nota bene hanya sunah muakkad, tetap didahulukan daripada menjaga kesehatan manusia dan lingkungan yang sudah jelas hukumnya adalah wajib? 

Bukankah dalam ushul fikih, kita mengenal kaidah berbunyi dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (menghindari keburukan penting didahulukan daripada meraih kemaslahatan)? 

Artinya, upaya-upaya preventif hendaknya menjadi pilihan prioritas. Hal itu terutama karena proses penyembelihan hewan kurban potensial menimbulkan beragam masalah, terutama masalah kesehatan lingkungan dan trauma psikologis, khususnya bagi anak-anak yang melihat aktivitas tersebut. 

Hewan pun memiliki kesadaran, mereka bisa stres, apalagi jika melihat sesamanya disembelih. Itulah sebabnya perlu menjaga agar hewan kurban terhindar dari stres sebelum disembelih. Di antaranya menyediakan tempat penyembelihan yang tenang, bersih, suci dari najis dan tidak gaduh, jauh dari pemukiman penduduk. 

Hewan kurban harus diistirahatkan setelah perjalanan jauh dan jangan sampai mereka melihat darah sesamanya yang telah disembelih.

Beberapa potensi bahaya dalam proses penyembelihan sering dialami petugas penyembelih hewan kurban, antara lain tertendang sapi saat mengikat atau handling sapi (hewan kurban), tersayat pisau, terhantam kepala saat sapi tiba-tiba bergerak hingga tertimpa hook/pisau yang jatuh dari atas. 

Potensi bahaya tersebut tidak akan terjadi jika petugas penyembelih sudah menggunakan alat pelindung diri (APD) yang lengkap. Tapi, umumnya mereka tidak menggunakan APD.

Mendapatkan tempat penyembelihan yang memenuhi syarat tidaklah mudah. Karena itu, jika penyembelihan hewan dianggap sebagai bentuk ibadah kurban maka sebaiknya hanya dilakukan di tempat penyembelihan hewan yang sudah diakui dan dilakukan oleh tenaga profesional dalam bidangnya. 

Dengan demikian tidak lagi dijumpai penyembelihan di berbagai lokasi yang ujungnya menghasilkan limbah kotoran hewan yang membuat bencana dalam masyarakat. Selain itu, juga menghindarkan anak-anak dari melihat proses penyembelihan yang dalam kajian psikologi anak, banyak menimbulkan trauma bagi kehidupan anak-anak.

Faktanya, penyembelihan dan pembagian hewan kurban umumnya digelar di sekitar halaman masjid, musalla, perkantoran atau area lain yang biasanya sempit, dekat dan bahkan menyatu dengan pemukiman warga yang sangat padat dengan anak-anak. 

Tidak jarang, bercak darah dan kotoran hewan kurban berceceran di tempat penyembelihan tersebut. Sebagian orang menganggap hal ini sepele, padahal ini masalah besar bagi lingkungan. 

Apalagi, limbah kotoran hewan dan darahnya itu malah banyak dibuang ke selokan atau dibersihkan di sungai. Tambahan pula penggunaan kantong-kantong plastik untuk wadah daging kurban sangat membahayakan kesehatan selain juga merusak ekosistem.

Penting diketahui, pembuangan limbah hewan kurban berdampak buruk bagi lingkungan. Salah satunya menyebabkan penyakit menular seperti Hepatitis, Tifus, dan Penyakit Mata dan Kuku (PMK). Bahkan, sangat potensial merusak ekosistem yang ada di sungai. 

Apalagi terjadi cukup masif sehingga mengakibatkan dampak yang sangat luas. Selain itu, sektor peternakan juga turut berkontribusi menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang cukup signifikan dan berdampak terhadap pemanasan global, yang pada gilirannya mendorong laju perubahan iklim lebih cepat. Salah satu material emisi GRK yang dihasilkan oleh ternak sapi yaitu gas metana (CH4).

Masalah lain terkait higienitas pengelolaan daging kurban. Petugas penyembelihan harus memastikan daging yang dibagikan itu aman dikonsumsi demi mencegah penularan penyakit. 

Perlu dipahami bahwa membekukan daging tidak membunuh bakteri tetapi hanya memperlambat pertumbuhannya saja. Oleh karena itu, menurut saya, sebaiknya melakukan penyembelihan di Rumah Potong Hewan (RPH). Lalu, menitipkan pembelian, penyembelihan, dan pendistribusian hewan kurban kepada lembaga yang dipercaya dan memenuhi syarat. 

Betul bahwa membagikan daging kurban menyenangkan dan menggembirakan sesama, paling tidak sekali setahun. Namun menurut saya, jika memang berniat berkurban untuk menyenangkan dan membantu sesama, sebaiknya ibadah kurban dikelola sedemikian rupa agar manfaatnya dirasakan lama dan lebih berdaya guna.

Menyadari betapa pelik dan rumit serta potensi risiko yang besar dalam proses penyembelihan hewan kurban, mungkin tidak terlalu salah jika saya menyimpulkan bahwa sudah waktunya umat Islam menawarkan tafsir baru yang lebih rasional dan lebih humanis. Bukankah agama diturunkan sepenuhnya untuk kemaslahatan manusia?

Sekali lagi, perlu saya tekankan, ibadah kurban sangat mulia karena dimaksudkan berbagi kepada mereka yang membutuhkan. Masalahnya, jika yang dibagikan itu berupa daging kurban, rasanya kurang bermanfaat. Sebab, hanya dapat dinikmati dalam waktu yang tidak lama. 

Lagi pula, tidak semua orang mengonsumsi daging, seperti bayi, lansia, kelompok vegan serta mereka yang mengidap penyakit tertentu. 

Bukankah lebih bermanfaat jika berkurban dalam wujud lain? Misalnya, dalam bentuk paket makanan bergizi, seperti lauk daging yang berkualitas untuk murid-murid sekolah, dana beasiswa pendidikan, biaya pengobatan atau perawatan kesehatan, biaya pelatihan kerja, biaya perawatan kelompok rentan: lansia, disabilitas dan anak-anak terlantar, serta untuk pemenuhan hak-hak kelompok tertindas, seperti pengungsi, korban gempa bumi, korban KDRT dan berbagai kekerasan lainnya.

Kesimpulan

Ritus kurban itu penting! Bahkan seharusnya menjadi bagian inti dalam kehidupan spiritual manusia. Sebab, ibadah kurban mengandung semangat pembebasan manusia dari kemelekatan terhadap apa pun selain Tuhan. 

Ritus kurban diharapkan mampu mengikis sifat-sifat anti sosial yang sangat berbahaya dan dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial, terutama dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Paling tidak ada tiga tujuan hakiki ibadah kurban. Pertama, sebagai bentuk ekspresi keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Pengamalan kurban ini bersifat ta’abbudi, namun tidak harus sesuai dengan petunjuk tekstual ayat dan hadis. Sebab, dalam berbagai teks tersebut juga dinyatakan bahwa memang secara fisik yang disembelih adalah hewan kurban, namun hakikat yang sampai pada Allah swt adalah wujud ketakwaan manusia. 

Tujuan kedua, sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat Allah swt atau semacam tahadduts bin ni’mah. Terakhir, tujuannya sebagai ungkapan rasa simpati dan empati kepada sesama manusia. Semacam solidaritas dan tanggung jawab kemanusiaan. 

Dengan begitu, tujuan ibadah kurban mempunyai dua dimensi pokok, yaitu dimensi vertikal atau hubungan dengan Allah Swt sebagai landasan iman dan takwa. Lalu, dimensi horizontal atau hubungan sosial dengan sesama manusia. Itulah yang dijelaskan dalam terma Islam hablun minallah wa hablun minannas. 

Ketiga tujuan tersebut dapat dicapai dengan lebih sempurna tanpa harus menjadikan hewan ternak sebagai kurban ritus agama.

Sudah tiba saatnya umat Islam mengedepankan makna hakiki Idul Adha dan semangat kurban, yakni penguatan kualitas spiritual masyarakat melalui upaya-upaya persatuan dan persaudaraan seiman dan solidaritas kemanusiaan. 

Idul Adha bukan lagi diramaikan dengan banyaknya kerumunan hewan kurban yang akan disembelih dan kemudian meninggalkan setumpuk masalah kemanusiaan dan lingkungan seperti diuraikan sebelumnya. 

Idul Adha dan ritus kurban penting dirayakan dengan penguatan komitmen untuk menyembelih sifat-sifat kebinatangan dalam diri manusia, terutama dalam diri para ulama, elite pemimpin dan penguasa. 

Dengan begitu akan terbentuk masyarakat yang bersih, sejahtera, maju dan berkeadaban (baldatun thayyibah wa rabun ghafur). 

Akhirnya, marilah kita berkurban dengan pendekatan Islam yang rahmatan lil alamin sebagai bagian integral dari misi menjalankan amar makruf nahi munkar demi terwujudnya visi kemanusiaan kita yaitu khalifah fil ardh.***

*Penulis adalah Penggiat Pemikiran Islam, pendiri Muslimah Reformis Foundation.

Berita Terkait