DECEMBER 9, 2022
Kolom

Irsyad Mohammad: SATUPENA, Satu AI, dan Beberapa Visi dan Mimpi

image
Irsyad Mohammad (kiri). (Foto: Koleksi pribadi)

Oleh: Irsyad Mohammad*

Tuhan adalah penulis, aku hanyalah penanya” – Jalaluddin Rumi

ORBITINDONESIA.COM - Kutipan Maulana Jalaluddin Rumi ini seringkali dikutip berulang kali dalam berbagai kesempatan di acara Perkumpulan Penulis Indonesia (SATUPENA) oleh Ketua Umum Denny JA, Ph.D. Di sini Ketum SATUPENA hendak menegaskan bahwa para penulis memiliki peranan sangat besar bukan hanya dalam sejarah dunia, namun juga dalam perkembangan spiritual umat manusia.

Baca Juga: Diskusi SATUPENA, Achmad Fachrodji: Balai Pustaka Kini Menjadi IP Licensing Company dan Bagian Industri Kreatif

Bahkan tidak jarang Ketum Denny JA mengulang tentang fakta hadirnya kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dapat menjadi ancaman bagi profesi kepenulisan.

Meski punya peranan besar dalam sejarah peradaban manusia, kini dunia kepenulisan terancam eksistensinya karena adanya AI. Bahkan menurut data yang dipaparkan oleh Denny JA hanya 1-2 persen penulis yang bisa hidup dari honor kepenulisannya.

Situasi yang teramat sangat berbeda bila dibandingkan dengan di masa silam. Bahkan AI saja sudah mulai bisa menulis artikel, bahkan bisa menulis buku yang menjadi best-seller di Amazon yakni buku The Aum Golly Series – Poems on Humanity (2021, 2023). 

Baca Juga: Tafsir Humanis Ibadah Kurban: Respon atas Esai Denny JA soal Kurban Hewan di Era Animal Right

Hal ini tentunya harus menjadi perhatian bersama, terutama SATUPENA sebagai asosiasi nasional resmi untuk profesi penulis di Indonesia. Bila kita melihat dalam sejarahnya peranan penulis dalam sejarah dunia memang sangat besar, bahkan bisa kita katakan tidak akan ada sejarah di dunia ini tanpa hadirnya penulis.

Pernyataan ini mungkin terkesan berlebihan bila sekilas kita membacanya, namun nyatanya kita bisa lihat sendiri faktanya dalam sejarah dunia. Di dunia ini kita mengenal era pra-sejarah dan era sejarah.

Hal yang membedakan dua hal tersebut bila kita membaca buku-buku terkait pengantar ilmu sejarah, definisi sejarah, dan bahkan buku sejarah di sekolah maka definisinya sudah jelas yakni era “pra-sejarah” ialah era ketika manusia belum mengenal tulisan dan era sejarah adalah masa ketika manusia sudah mengenal tulisan.

Baca Juga: SATUPENA Akan Diskusikan Topik Bagaimana Menjalani Hari Tua dengan Narasumber Psikolog Tika Bisono

Era sejarah dan pra-sejarah setiap bangsa tentunya berbeda-beda, sebab ada peradaban yang terlebih dahulu mengenal sistem aksara serta penulisannya dan ada yang belum. Contoh saja di Indonesia kita baru mencatat Indonesia resmi masuk era sejarah dengan adanya Prasasti Yupa di Kutai pada abad ke-4 M.

Sedangkan sebelum masehi beberapa peradaban sudah memiliki catatan sejarahnya sendiri jauh lebih dahulu daripada Indonesia seperti Peradaban Mesopotamia, Mesir, Persia, Yunani, India, Tiongkok, dan Romawi.

Maka dunia penulisan dan literasi, tentunya menjadi tolak ukur dalam menentukan maju tidaknya suatu peradaban. Dalam hal ini penulis dan sistem aksara serta dunia tulis menulis dengan sejarah merupakan suatu paket tidak terpisahkan, penulis adalah raison d’etre sejarah. 

Baca Juga: ORASI DENNY JA: Berakhirnya Era Kreator yang Tak Gunakan Artificial Intelligence

Sesuai uraian yang saya jabarkan sebelumnya, maka tidak ada sejarah tanpa para penulis. Sebab para penulis menuliskan berbagai fenomena yang terjadi mulai dari sejarah, politik, sastra, kebudayaan, fiksi, resep makanan, musik, teknologi, kesehatan, dll.

Tidak sedikit tokoh-tokoh besar dalam sejarah dunia adalah para penulis dan mereka menuliskan gagasannya yang kemudian turut merubah dunia hingga hari ini.

Bahkan pun banyak para pendiri bangsa (founding fathers) seperti para Bapak Bangsa Indonesia mereka adalah para penulis yang menuliskan banyak buku yang mengangkat tentang permasalahan yang ada di zamannya dengan kritis dan mendalam. Buku-buku yang mereka tuliskan turut membentuk Indonesia hingga hari ini. 

Baca Juga: Diskusi SATUPENA, Satrio Arismunandar: Orang yang Berumur Panjang Biasanya Memiliki Jaringan Sosial yang Kuat

Namun pada era media sosial, internet of things (IoT) & kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) kita melihat suatu dunia yang jauh berubah. Dulu relatif lebih banyak penulis yang dapat hidup hanya dengan menulis, tanpa memiliki pekerjaan sampingan; namun kini hal tersebut semakin sulit.

Banyak media massa terutama media cetak yang tutup, baik itu dari majalah dan koran yang tutup, semuanya digantikan oleh media digital atau media online. Bahkan tidak sedikit kemudian penerbit buku yang tutup, kemudian juga toko buku yang tutup semuanya mulai tergantikan oleh buku digital dan toko buku digital.

Namun lebih miris lagi banyak buku-buku yang diterbitkan oleh para penerbit ataupun yang diterbitkan dalam bentuk digital, kemudian dibajak dan disebarkan e-book-nya secara cuma-cuma. Orang bisa dengan mudahnya mendapatkan buku yang mereka ingin baca cukup diklik, tanpa mereka keluar uang sepeserpun.

Baca Juga: Diskusi SATUPENA, Tika Bisono: Orang Usia Tua Masih Sangat Membutuhkan Keterlibatan, Interaksi dan Komunikasi

Hal yang sangat miris sebenarnya, banyak para penulis yang capek-capek bikin karya kemudian karyanya mereka disebar, tanpa mereka dapat sepeserpun keuntungan. Begitu juga dengan penerbit yang turut mengedit, juga mempromosikan buku tersebut tidak mendapatkan keuntungan signifikan akibat pembajakan.

Begitu pun toko buku, mengalami hal yang sama, kemudian hal ini diikuti oleh usaha percetakan yang menjadi sepi pesanan akibat menurunnya permintaan akan buku cetak. Walhasil ekosistem dunia kepenulisan kemudian turut hancur, akibat perubahan yang terlalu cepat dan tidak diikuti oleh adaptasi para penulis hingga dunia penerbitan akan perubahan zaman. 

Di masa silam ketika era media cetak sedang jaya-jayanya, banyak para penulis bisa menuliskan opini hingga para penyair bisa mengirimkan cerpen dan puisinya ke media cetak kemudian mereka mendapatkan honor. Bahkan para pembaca yang membeli media cetak, misalkan membeli koran kemudian mereka bisa mengenal nama-nama para penyair dan cerpenis, bahkan turut bisa mengenal nama pengamat politik hingga kritikus kebudayaan di koran.

Baca Juga: Denny JA Diundang Presiden Jokowi Berdiskusi Empat Mata di Istana Negara: Inilah yang Dibahas

Secara positif peran media cetak pun turut membesarkan dan memberi panggung kepada mereka yang menulis, sebab untuk suatu tulisan bisa naik ke media cetak terdapat seleksi yang lebih ketat ketimbang di media online.

Berbeda dengan media online yang pembaca bisa memilih sendiri berita dan tema apa yang hendak mereka baca di media online, sedangkan apabila pembaca membeli koran cetak atau majalah maka mereka akan cenderung membaca semua tulisan yang terpapar di media tersebut meski hal tersebut bukan minat utama mereka. 

Bahkan di era media online, siapa pun bisa menulis apa pun yang dikehendakinya terlepas dari kualitasnya. Misalkan tulisannya tidak dimuat di media online mainstream, ia bisa menulis di media sosial ataupun di platform lainnya dengan cuma-cuma.

Baca Juga: Temui Presiden di Istana Negara, Denny JA Sebut Publik Bakal Sibuk Bahas 10 Tahun Pemerintahan Jokowi

Walhasil legitimasi akan validitas informasi pun berkurang. Sebab siapa pun bisa memuat pendapatnya tanpa diseleksi oleh redaksi. Di satu sisi untuk kebebasan berpendapat hal ini mungkin baik, namun untuk legitimasi dunia kepenulisan tidak selalu baik.

Siapa pun pada akhirnya bisa menuliskan gagasannya ataupun menerbitkan buku mereka sendiri melalui e-book, namun royalti yang mereka dapat tidak akan sebesar di masa silam. Pada akhirnya para penulis harus siap bahwa mereka menulis bukan untuk mencari penghasilan, melainkan hanya untuk menyampaikan gagasannya ke dunia.

Singkatnya kalau menggunakan istilah Ketum Denny JA: “menulis hanya untuk kepuasan batin.” Pada akhirnya para penulis harus siap menerima kenyataan bila karya mereka dibajak baik secara cetak ataupun digital, ataupun dibagikan cuma-cuma sedangkan para penulis tidak mendapatkan nilai komersial darinya, para penulis hanya bisa mengelus dada sembari menghela napas sembari berkata: “yasudahlah, paling tidak karya saya ada yang baca dan hitung-hitung sedekah serta amal jariyah buat orang lain.”

Baca Juga: ORASI DENNY JA: Sisi Ekonomi Gerakan Lingkungan Hidup dan Green Religions

Hal ini tentunya sangat miris, sebab para penulis tidak lagi bisa hidup hanya dari menulis dan harus mencari pekerjaan lain. Celakanya bila hal ini menimpa kepada orang yang hanya punya kemampuan menulis, serta tidak punya keahlian lain. Walhasil mereka berakhir menjadi orang yang Yuval Noah Harari katakan sebagai useless class akibat pekerjaannya tergusur oleh AI.

Pun bila kita melihat para penulis yang masuk 5 besar penulis terkaya di dunia, ialah mereka para penulis yang sempat berkembang serta merasakan kejayaan media cetak. Mereka bisa kaya karena karya mereka pun kemudian difilmkan, diangkat dalam video game sehingga mereka dapat royalti.

Melihat semua perkembangan yang mengkhawatirkan ini, tentunya bukan tindakan yang bijak bila selalu menyalahkan perkembangan zaman. Pada dasarnya setiap zaman terdapat jiwa zamannya sendiri (zeitgeist), bila di masa silam dunia media cetak adalah zeitgeist maka para penulis harus dengan berat hati mengakui bahwa zeitgeist masa kini ialah media digital.

Baca Juga: Denny JA Berkarya di Era Financial Freedom

Maka para penulis mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan beradaptasi dengan IoT, media sosial, dan bahkan mencoba untuk menulis karyanya dengan bantuan AI. Bahkan tidak sedikit beberapa penulis yang mulai menyuarakan pikiran-pikiran serta tulisannya dengan membuat konten video di youtube ataupun tiktok, hal ini tentunya adalah keniscayaan mengingat dunia telah mulai berubah dari dunia tulisan menjadi dunia audio-visual.

Dalam hal ini Satupena telah mulai melakukan terobosan dengan membuat acara zoom bincang dengan penulis yang ahli di bidangnya dan melakukan bedah buku lewat webinar, konten-konten ini kemudian direkam dan diunggah ke youtube.

Meski penontonnya belum terlalu banyak, namun masih bisa dimassifkan lagi agar yang menontonnya lebih banyak untuk itu perlu juga adanya upaya ekstra untuk membuat konten-konten tersebut viral. 

Baca Juga: Syaefudin Simon: SATUPENA di Tangan Midas

Rapat Anggota Tahunan Satupena: Harapan & Tantangan.

Diadakannya Rapat Anggota Tahunan (RAT) Satupena 15 Agustus 2024 melalui zoom dengan seluruh anggota Satupena di tanah air merupakan satu terobosan, karena pada akhirnya organisasi penulis pun mulai beradaptasi sesuai dengan tuntutan zaman.

Banyak para penulis dan pengurus di daerah menyuarakan keresahannya, sekaligus menyampaikan masukan bagi kemajuan organisasi. Bahkan dalam sambutannya Ketum Denny JA turut menyampaikan tentang problematika yang akan dihadapi oleh dunia kepenulisan, khususnya di Indonesia.

Baca Juga: Jonminofri Nazir: Fungsi SATUPENA, Melayani Anggota

Denny JA turut menyoroti organisasi penulis lain di dunia seperti The Authors Guild (Amerika Serikat ), Society of Authors (Inggris), dan PEN International (multinasional). Organisasi-organisasi tersebut memiliki keanggotaan lebih banyak dari Satupena, paling tidak ada belasan ribu anggota hingga dua puluh ribuan anggota. Bahkan berdiri lebih lama dari Satupena. 

SATUPENA sendiri dalam sejarahnya baru memiliki 2 ketua umum yakni Nasir Tamara (2017 – 2020) sebagai pendiri dan kemudian dilanjutkan oleh Denny JA (2021 – sekarang). Kesadaran penulis sebagai sebuah profesi yang harus diperjuangkan dalam bentuk legal formal dalam satu organisasi profesi, baru belakangan muncul di Indonesia.

Berbeda dengan orang-orang yang menekuni profesi lain selain penulis seperti profesi kedokteran, advokat, dll – mereka sudah terlebih dahulu untuk membentuk organisasi profesi. Sebut saja Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), dll.

Baca Juga: ORASI DENNY JA: Tanah Airku dalam Lagu, Puisi, dan Lukisan

Organisasi-organisasi profesi tersebut berjuang dalam bentuk legal formal untuk mengadvokasi kepentingan anggota-anggotanya yang bergerak dalam bidang profesi yang mereka perjuangkan, secara tidak langsung mereka telah menjadi interest group sekaligus kelompok lobbi untuk melobbi kepentingan mereka. Kesadaran semacam ini untuk dunia kepenulisan masih terbilang baru dengan berdirinya Satupena pada tahun 2017. 

Munculnya kesadaran para penulis untuk berkumpul dan berhimpun dalam Perkumpulan Satupena memang baru belakangan terjadi. Memang yang dilakukan para penulis di Indonesia terbilang terlambat bila dibandingkan penulis di negara lain, namun lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Mulai lah para penulis memperjuangkan eksistensinya, bahwa penulis juga profesi dan punya hak yang sama dengan profesi lain yakni diakui keberadaannya. Belakangan perjuangan ini berhasil membuahkan hasil dengan berdirinya Satupena. Namun langkah selanjutnya, what next?

Baca Juga: Denny JA, Monumen Dedikasi di Tengah Tsunami Artificial Intelligence

Tentu harus ada langkah progresif dan lebih pasti tentang apa yang perlu dilakukan untuk menghadapi gempuran AI. Terlebih lagi para penulis naskah di Holywood sendiri mulai memprotes keberadaan AI, kita lihat Hollywood serta ekosistem bisnisnya yang stabil dan bertahan 100 tahun lebih saja tidak berdaya menghadapi guncangan AI. 

Tentu besar harapan saya SATUPENA ke depannya bisa lebih hadir bukan saja dalam melayani kepentingan penulis dan sekadar menunjukkan eksistensi bahwa penulis merupakan suatu profesi yang harus diakui di Indonesia. Namun juga bisa menuntun para penulis dan mengadvokasi kesejahteraan para penulis.

Tentu mengadvokasi kesejahteraan para penulis tidak bisa hanya mengandalkan SATUPENA, namun harus ada kerjasama lintas sektor antara berbagai stakeholder oleh karenanya bila SATUPENA bisa memberikan pelatihan kepada para penulis-penulis di daerah yang terhimpun dalam pengurus daerah agar mereka tahu bagaimana cara melobbi stakeholder di daerah mereka.

Baca Juga: 5 Lukisan Denny JA Spesial HUT ke-79 RI: Tegakkan Merah Putih Itu

Juga agar korporasi swasta ataupun BUMN, hingga pemda turut berpartisipasi aktif dalam membantu kegiatan SATUPENA di daerah, maka ini bukan saja keberhasilan SATUPENA daerah. Namun juga membantu pemda setempat bukan untuk meningkatkan literasi serta kebudayaan di daerah tersebut, melainkan membantu peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pemerataan pembangunan.

Langkah progresi sudah banyak dilakukan oleh SATUPENA di daerah terutama SATUPENA Sumbar & SATUPENA DKI. SATUPENA Sumbar sudah berhasil mengadakan International Minang Literacy Festival.  Tentunya kita berharap SATUPENA pusat dapat mendorong agar terciptanya terjadi sinergi antara SATUPENA daerah dengan stakeholder di daerah.

Pada akhirnya tidak ada gading yang tak retak, tidak ada kesempurnaan mutlak dan semuanya harus dicoba dengan trial & error. Berhubung hari ini pun adalah Hari Kemerdekaan Indonesia ke-79, penulis pun sekaligus mengucapkan selamat Hari Kemerdekaan Indonesia ke-79.

Baca Juga: Denny JA Melayani Anggota SATUPENA dengan Biaya Rp3,2 Miliar

Sembari penulis ingin mengingatkan sekali lagi, bahwa kemerdekaan Indonesia tidak akan bisa dicapai tanpa jasa para penulis yang turut melawan penjajah dengan pena mereka. Sekaligus penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada para Pahlawan Nasional dan semua pihak yang turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

*Irsyad Mohammad adalah penulis SATUPENA. ***

Berita Terkait