Sembilan Pemikiran Denny JA Tentang Agama di Era Google
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 24 Maret 2023 14:51 WIB
Para pendeta, ulama, biksu berbeda beda memahami dan beropini mulai dari hal yang esensial hingga hal teknis. Di agama Islam, misalnya, soal siapa pengganti Nabi Muhammad selaku pemimpin masyarakat? Haruskah pengganti itu keturunan nabi atau pemimpin yang dipilih?
Perbedaan itu bahkan terjadi di kalangan generasi pertama muslim. Beda sikap bahkan sudah ada pada mereka yang mengenal nabi. Perbedaan ini telah membelah agama Islam menjadi Sunni versus Syiah. Hingga masa kini, pembelahan itu terus hidup.
Bahkan soal teknis, kapan lebaran dimulai, Muhammadiyah dan NU memiliki metode yang berbeda. Hasilnya pun, kapan lebaran terjadi, juga acap berbeda. Hal yang serupa terjadi pada agama lain.
Kesepuluh, perayaan hari besar agama, seperti Natal, juga mulai dirayakan penganut agama lain. Bagi mereka, Natal adalah peristiwa kultural yang cukup syahdu untuk ikut dirayakan walau mereka tak meyakini agama Kristen.
Pew Research Center mencatat betapa banyak sekali penganut agama lain, juga yang tak beragama, di Amerika Serikat tak hanya hadir. Mereka juga menjadi tuan rumah perayaan Natal.
Kesebelas, hak asasi manusia menghargai kebebasan beragama ataupun tak beragama. Apapun tafsir, dan keyakinan soal Tuhan, agama, dan kebenaran, itu diserahkan kepada pilihan individu.
Keyakinan itu dilindungi sejauh tak ada pemaksaan dan kekerasan kepada pihak lain. Kini mereka yang tak meyakini agama apapun adalah segmen terbesar nomor tiga di dunia, setelah penganut Kristen dan Islam.
Sebelas Fakta di Era Google itu, menurut Denny JA, akan mendorong kita menghormati dunia agama sebagai kekayaan kultural milik bersama.
Ini merupakan temuan penting Denny JA, yang untuk ringkasnya saya ingin menyebutnya sebagai DJA’s Way of Religion.
Di hadapan fakta bahwa kini ada sebanyak 4.300 agama dan puluhan ribu kepercayaan, tidak bisa lain kita harus menerima dan mengakuinya sebagai milik kita juga.