Sembilan Pemikiran Denny JA Tentang Agama di Era Google
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 24 Maret 2023 14:51 WIB
Mereka bisa semalam suntuk mendengar wayang yang berkisah tentang perang Baratayudha. Mereka ambil pelajaran moral kisah itu, walau tak percaya, dewa Ganesha itu makhluk sakti berwajah gajah.
Melampaui perdebatan yang tidak berujung tentang kebenaran atau ketidakbenaran kisah-kisah kenabian, Denny menyajikan sisi lain yang lebih positif terhadap narasi keagamaan.
Ia menuturkan bahwa kini banyak orang yang dapat menikmati dengan rileks kisah Nabi Musa membelah laut. Walau mereka tak percaya ini benar benar terjadi dalam sejarah.
Mereka ambil hikmah kisah Nabi Nuh, walau tak meyakini ada banjir besar yang bisa menenggelamkan seluruh bumi.
Air yang ada di seluruh semesta tak cukup untuk bisa menenggelamkan puncak gunung Himalaya.
Begitu juga kisah Nabi Ibrahim yang mengurbankan anaknya, mereka ikut menyelami dan menikmati filosofinya. Dan mereka tak terlalu peduli siapakah anak yang dikurban Nabi Ibrahim itu?
Ishak kah seperti yang diyakini umat Kristen? Atau Ismail kah seperti yang diyakini umat Islam? Mereka juga tak peduli kok bisa penganut dua agama besar meyakini dua fakta yang berbeda, dan tetap diyakini lebih dari satu miliar manusia, dan lebih dari seribu tahun.
Ilustrasi di atas disodorkan oleh Denny untuk menunjukkan bahwa kini agama telah dipahami sebagai kekayaan kultural milik bersama. Agama tak lagi didekati sebagai doktrin benar dan salah. Tapi agama dihidupi sebagai dokumen peradaban.
Mereka yang meyakini agamanya sebagai satu-satunya kebenaran mutlak tetap hadir, keyakinan “hanya agama saya yang benar,” itu tetap tumbuh dan dihormati.
Tapi mereka yang tak lagi percaya pada agama itu, tetap menikmati agama itu sebagai kekayaan kultural belaka. Sama seperti mereka menikmati kekayaan adat istiadat.