DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Bumi yang Terluka

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Minyak, Politik, dan Bisnis (12)

ORBITINDONESIA.COM - Di sebuah desa kecil bernama Rumuekpe, Delta Niger, Nigeria, anak-anak belajar di bangku kayu tua. 

Atap seng sekolah itu berlubang-lubang, bukan karena waktu, melainkan karena hujan asam yang turun hampir setiap pekan. 

Baca Juga: Sebulan Menuju Kemenangan Prabowo-Gibran Terbuka Lebar, Inilah Analisis Denny JA   

Di belakang bangunan sekolah berdiri kilang minyak Shell, mengepul seperti cerobong neraka.

Seorang guru lokal, dengan suara parau karena infeksi saluran napas, berkata:

“Kami hidup di surga minyak, tapi neraka untuk manusia.”

Baca Juga: Seberapa Besar Efek Elektoral dari Aksi Protes di Kampus Terhadap Calon Presiden? Inilah Analisis Denny JA

Air sungai yang dulunya jernih kini hitam seperti tinta tua. Ikan tak lagi berenang. Tanah tak bisa ditanam. 

Anak-anak tumbuh dengan ruam kulit, batuk kronis, dan mimpi yang dihancurkan sebelum sempat mekar.

Siapa yang sebenarnya membayar harga murahnya bensin yang kita nikmati di kota?

Baca Juga: Akankah Pilpres 2024 Berlangsung Satu Putaran? Inilah Analisis Denny JA

Pertanyaan ini menggantung seperti kabut di atas cerobong asap. Dan dari Rumuekpe hingga Kalimantan, dari Texas hingga Siberia, jawabannya bergema dalam bisu.

Mereka yang tinggal di bawah pipa, di tepi sumur, di ujung dunia yang tak pernah diundang ke meja rapat.

-000-

Baca Juga: Inilah Analisis Denny JA Tentang Berubahnya Gibran dari Si Samsul Menjadi Game Changer Pilpres 2024

Minyak selalu tampil glamor di panggung geopolitik—simbol kekuasaan, kemakmuran, dan dominasi. Tapi di balik gemerlapnya, terbentang sejarah kelam yang ditulis dengan tumpahan, ledakan, dan darah ekologis.

Pada 24 Maret 1989, kapal tanker Exxon Valdez menabrak batu karang di Prince William Sound, Alaska. 

Lebih dari 40 juta liter minyak tumpah, menghancurkan ekosistem yang tak ternilai. Elang laut, anjing laut, beruang, dan ribuan spesies lainnya lenyap dalam senyap.

Baca Juga: Tentang Pemilu Curang, Efek Bansos, Sampai Hak Angket, Inilah Analisis Denny JA

Dua dekade kemudian, ledakan rig Deepwater Horizon milik BP di Teluk Meksiko menyulut bencana yang lebih besar. Laut menjadi sumur maut, dan langit dipenuhi api selama berhari-hari.

Di Nigeria, Shell telah lama dituduh mencemari tanah Ogoni, meracuni air, dan menyebabkan ribuan kematian dini. 

Bahkan di hutan Amazon, perusahaan Texaco (kini Chevron) meninggalkan jejak ribuan kolam limbah beracun di Ecuador. Hutan hujan berubah menjadi kuburan ekologis.

Baca Juga: Hilangnya Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024 dan Kisah 4 Presiden Menurut Analisis Denny JA

Korban dari industri energi bukan hanya makhluk hidup—tapi juga ekosistem, nilai tradisional, dan hubungan spiritual manusia dengan alam.

-000-

Jika bumi adalah tubuh, maka ladang minyak adalah lukanya. Luka yang digali setiap hari, tanpa pernah dijahit. 

Baca Juga: Inilah Skenario Terbaik yang Bisa Diharapkan Indonesia dari Presiden Prabowo Subianto Menurut Analisis Denny JA

Luka yang mengeluarkan darah berupa CO₂, dan napas berupa sulfur.

Menurut studi Harvard (2021), polusi udara dari bahan bakar fosil menjadi penyebab 1 dari 5 kematian dini di dunia. Sekitar 8,7 juta jiwa melayang setiap tahun—lebih dari gabungan semua korban konflik bersenjata abad ke-21.

Dan data IPCC menunjukkan: 89% emisi karbon berasal dari pembakaran minyak, gas, dan batu bara. Di seluruh dunia, ladang minyak tua mengkontaminasi tanah. 

Baca Juga: Analisis Denny JA: Setelah Amerika Serikat Menjatuhkan Bom ke Iran

Kilang lepas pantai mencemari laut. Kota pesisir terancam naiknya permukaan air.

Kalimantan Timur, misalnya, menyimpan cerita muram tentang tanah yang dulunya subur berubah menjadi lumpur toksik setelah eksploitasi minyak dan gas.

Dunia ini terbakar. Dan kita menyiramnya dengan bensin.

Baca Juga: Analisis Denny JA: Indonesia Jadi Tempat Paling Aman Jika Pecah Perang Dunia Ketiga

Suku Ogoni di Nigeria. Suku Shuar di Amazon. Suku Dayak di Kalimantan. Komunitas First Nations di Kanada. Semua memiliki satu cerita yang mirip: tanah dirampas, air tercemar, dan suara mereka dibungkam.

Di Indonesia, blok Mahakam di Kalimantan Timur telah lama menjadi ladang emas hitam bagi negara, tapi bagi warga sekitarnya, ia adalah ladang polusi. 

Di Papua, eksplorasi migas mengancam hutan adat yang menjadi nadi kehidupan spiritual masyarakat lokal.

Baca Juga: Analisis Denny JA: Dari Gencatan Senjata Iran-Israel Menuju Masa Depan Palestina Merdeka?

“Kalian bilang ini tanah kaya, tapi kami miskin dan tersingkir,” ujar seorang tetua adat Dayak.

Sementara kontrak-kontrak ditandatangani di ruang AC bertingkat, suara rakyat lokal tak pernah masuk dalam daftar klausul.

Sering kali, yang disebut sebagai “daerah kaya sumber daya” adalah tempat di mana penduduknya tidak punya daya.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Pertamina, dari Sumur Minyak Rakyat ke Rantai Global

-000-

Fakta tak bisa disangkal: pembakaran bahan bakar fosil adalah penyebab utama pemanasan global. 

Laporan IPCC secara eksplisit menyatakan bahwa untuk menjaga suhu bumi di bawah 1,5°C, dunia harus segera menghentikan eksplorasi baru.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Pertamina di Simpang Jalan, Antara Aramco dan Petrobras

Namun, 100 perusahaan bertanggung jawab atas 71% emisi karbon global. Dan banyak dari mereka justru terus menggali, terus menjual, dan terus memproduksi. Karena keuntungan lebih cepat datang daripada kesadaran.

Kebakaran hutan di Australia, banjir ekstrem di Pakistan, gelombang panas di Eropa, dan krisis pangan di Afrika Timur—semua adalah bayangan dari api yang kita nyalakan.

Peradaban ini dibangun di atas bara yang kita sangka cahaya.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Apakah Pertamina Bisa Selamat di Era Tanpa Minyak?

Dalam ekonomi klasik, ada istilah yang jarang dibahas di halaman depan: eksternalitas negatif. 

Ia adalah biaya yang tidak tercermin dalam harga jual, tapi ditanggung oleh pihak lain—oleh manusia, alam, dan generasi masa depan.

Minyak disebut murah, tapi tak dihitung:

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mantra Dunia Minyak, Ketahanan dan Kemandirian Energi

• Biaya kanker akibat polusi udara.

• Biaya banjir akibat naiknya muka air laut.

• Biaya migrasi iklim dan konflik sosial.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Bangkitnya Negara Minyak Melawan Super Power Dunia

• Biaya kehilangan keanekaragaman hayati.

Laporan IMF (2020) menyebut, subsidi langsung dan tidak langsung pada energi fosil mencapai $5,9 triliun/tahun. 

Sebuah ironi: dunia justru membayar untuk mempercepat kehancurannya sendiri.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengapa Saya Menerima Jabatan Komisaris Utama PT Pertamina Hulu Energi?

-000-

Di tengah gelap, selalu ada nyala. Greta Thunberg dan gerakan Fridays for Future telah menginspirasi jutaan anak muda. 

Extinction Rebellion mengguncang kota-kota besar. Tapi yang lebih heroik adalah petani lokal yang menolak tambang, ibu-ibu yang memblokir jalan sumur bor, dan komunitas adat yang menggugat negara.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Donald Trump, Tarif 32 Persen dan Kisah Sepatu Cibaduyut

Pada 2021, pengadilan Belanda memerintahkan Shell untuk mengurangi emisinya sebesar 45% pada 2030—kemenangan hukum bersejarah.

Di Kanada, suku Wet’suwet’en menggugat eksplorasi minyak tanpa izin di tanah leluhur mereka. Di Indonesia, gugatan hukum warga atas polusi udara di Jakarta membuka jalan bagi akuntabilitas baru.

Bumi tak butuh penyelamat. Tapi manusia perlu menyadari: kita tengah menumpuk utang ekologis yang harus dibayar.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Matahari Terbit di Ladang Minyak, Transisi Energi dan Ketakutan Oligarki Lama

-000-

Jalan Indonesia: Kemandirian Energi Tanpa Mengorbankan Alam

Indonesia tengah melangkah menuju kemandirian energi—sebuah cita-cita mulia agar negeri ini tak lagi tergantung pada impor BBM atau fluktuasi pasar global. 

Baca Juga: Catatan Denny JA: Petrodollar, Uang Kertas, Minyak, dan Tahta Amerika

Namun, kemandirian sejati tak cukup hanya berarti “mandiri secara kuantitas”; ia juga harus berdaulat secara moral dan ekologis.

Apa artinya mandiri jika energi itu merusak hutan Papua, mencemari sungai Kalimantan, atau menggusur masyarakat adat?

Indonesia harus belajar dari luka-luka dunia: dari Amazon yang tercemar, dari Delta Niger yang tercabik, dari Teluk Meksiko yang terbakar.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Wonderland, Dunia Kanak-kanan dalam Lukisan Genre Imajinasi Nusantara

Langkah ke depan harus berpijak pada tiga poros:

1. Energi bersih berbasis lokal: surya, angin, panas bumi, dan bioenergi komunitas.

2. Transparansi dalam kontrak eksplorasi dan izin lingkungan.

3. Keadilan ekologis untuk masyarakat terdampak, termasuk hak veto atas proyek yang mengancam tanah adat.

Kemandirian energi bukan semata soal “apa yang kita gali,” tapi “bagaimana kita memilih hidup.” 

Dan Indonesia bisa menjadi contoh dunia: bangsa yang berdaulat, tapi juga berbelas kasih pada bumi.

-000-

Apa arti kemajuan jika ia dibangun di atas kehancuran bumi? Apakah peradaban bisa disebut beradab jika dibayar dengan air beracun dan udara berjelaga?

Seorang anak di Rumuekpe, Nigeria, pernah menulis dalam puisi:

“Aku tak pernah lihat salju,

Tapi aku tahu seperti apa langit yang mati.”

Itu bukan metafora. Itu kenyataan.

Dan kini, saat dunia berlari mengejar energi transisi dan net-zero, pertanyaan besar bagi Indonesia adalah:

Apa yang bisa kita pelajari dari luka global ini sebelum kita mengulangnya di rumah kita sendiri?

Mereka bilang minyak adalah sumber daya. Tapi bagi yang hidup di bawah pipa dan di tepi sumur, ia bukan sumber daya, tapi sumber duka.

Mungkin yang perlu kita ganti bukan hanya energinya—tapi juga cara kita memahami apa itu harga, dan apa itu hidup.***

Jakarta 17 Juli 2025

REFERENSI

1. Naomi Klein – This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate

(Simon & Schuster, 2014)

2. Andreas Malm – Fossil Capital: The Rise of Steam Power and the Roots of Global Warming

(Verso Books, 2016)

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, bisnis dan marketing, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/1Ai4eCmnvt/?mibextid=wwXIfr

Halaman:

Berita Terkait