DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Bumi yang Terluka

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Mereka yang tinggal di bawah pipa, di tepi sumur, di ujung dunia yang tak pernah diundang ke meja rapat.

-000-

Minyak selalu tampil glamor di panggung geopolitik—simbol kekuasaan, kemakmuran, dan dominasi. Tapi di balik gemerlapnya, terbentang sejarah kelam yang ditulis dengan tumpahan, ledakan, dan darah ekologis.

Baca Juga: Sebulan Menuju Kemenangan Prabowo-Gibran Terbuka Lebar, Inilah Analisis Denny JA   

Pada 24 Maret 1989, kapal tanker Exxon Valdez menabrak batu karang di Prince William Sound, Alaska. 

Lebih dari 40 juta liter minyak tumpah, menghancurkan ekosistem yang tak ternilai. Elang laut, anjing laut, beruang, dan ribuan spesies lainnya lenyap dalam senyap.

Dua dekade kemudian, ledakan rig Deepwater Horizon milik BP di Teluk Meksiko menyulut bencana yang lebih besar. Laut menjadi sumur maut, dan langit dipenuhi api selama berhari-hari.

Baca Juga: Seberapa Besar Efek Elektoral dari Aksi Protes di Kampus Terhadap Calon Presiden? Inilah Analisis Denny JA

Di Nigeria, Shell telah lama dituduh mencemari tanah Ogoni, meracuni air, dan menyebabkan ribuan kematian dini. 

Bahkan di hutan Amazon, perusahaan Texaco (kini Chevron) meninggalkan jejak ribuan kolam limbah beracun di Ecuador. Hutan hujan berubah menjadi kuburan ekologis.

Korban dari industri energi bukan hanya makhluk hidup—tapi juga ekosistem, nilai tradisional, dan hubungan spiritual manusia dengan alam.

Baca Juga: Akankah Pilpres 2024 Berlangsung Satu Putaran? Inilah Analisis Denny JA

-000-

Halaman:

Berita Terkait